Mohon tunggu...
Danang Satria Nugraha
Danang Satria Nugraha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Universitas Sanata Dharma

Selain mengajarkan ilmu bahasa dan meneliti fenomenanya di ruang publik, penulis gemar mengamati pendidikan dan dinamikanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selain Literal, "Nebeng" Punya Makna Metaforis Lho!

26 September 2024   04:03 Diperbarui: 26 September 2024   06:46 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bangsa yang suka bohong demi menutupi malu atau menyelamatkan gengsi bukan tanah-tumbuh yang baik untuk sains dan teknlogi karena dunia pembohongan langsung frontal melawan rasionalitas yang menjadi modal dan dasar utama bagi pengembangan sains dan teknologi."____Y.B. Mangunwijaya, dalam Pasca-Indonesia Pasca-Einstein

Bahasa politik, dengan segala kerumitan dan nuansanya, sering kali menjadi medan pertempuran kata-kata yang sarat makna tersembunyi. Di tengah hiruk-pikuk retorika politik yang kerap kali membingungkan, kata "nebeng" muncul sebagai salah satu contoh menarik bagaimana bahasa bisa digunakan untuk menyampaikan pesan yang melampaui makna literalnya.

Secara harfiah, "nebeng" berarti menumpang atau ikut serta dalam perjalanan orang lain. Namun, dalam konteks politik, kata ini memperoleh dimensi metaforis yang kaya dan beragam. "Nebeng" bisa menggambarkan tindakan oportunis seorang politisi yang mencoba meraih keuntungan dengan menempel pada popularitas atau keberhasilan orang lain. Dalam hal ini, "nebeng" berkonotasi negatif, menyiratkan kurangnya integritas dan kemandirian.

Di sisi lain, "nebeng" juga bisa bermakna positif, menggambarkan kolaborasi dan sinergi antar berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama. Misalnya, sebuah partai politik kecil mungkin "nebeng" pada partai yang lebih besar untuk mendapatkan akses ke sumber daya dan pengaruh yang lebih luas. Dalam hal ini, "nebeng" menjadi strategi pragmatis yang memungkinkan pihak yang lebih lemah untuk ikut berperan dalam panggung politik.

Namun, "nebeng" juga bisa menimbulkan ambiguitas dan perdebatan. Batasan antara kolaborasi yang sah dan oportunisme yang merugikan sering kali kabur. Seorang politisi yang awalnya "nebeng" pada gerakan sosial tertentu mungkin kemudian dituduh memanfaatkan gerakan tersebut untuk kepentingan pribadi. Dalam situasi seperti ini, interpretasi terhadap kata "nebeng" menjadi sangat subjektif dan bergantung pada perspektif masing-masing pihak.

Fenomena "nebeng" dalam politik menyoroti pentingnya kepekaan terhadap nuansa bahasa. Kata-kata yang tampaknya sederhana bisa mengandung makna yang kompleks dan multitafsir. Sebagai masyarakat yang kritis, kita perlu belajar membaca di antara baris-baris retorika politik, memahami konteks dan motif di balik setiap kata yang diucapkan. Hanya dengan demikian kita bisa membedakan antara "nebeng" yang membangun dan "nebeng" yang merusak, serta membuat keputusan politik yang tepat berdasarkan informasi yang jernih dan objektif.

Dalam esai sederhana ini, kita akan mengeksplorasi lebih jauh makna metaforis "nebeng" dalam berbagai konteks politik, menganalisis dampaknya terhadap dinamika kekuasaan, dan membahas bagaimana kita bisa menavigasi labirin bahasa politik dengan lebih bijaksana.

Cermin Dinamika Kekuasaan
Penggunaan kata "nebeng" dalam politik secara gamblang mencerminkan adanya ketimpangan kekuasaan antara pihak-pihak yang terlibat. Kata ini sering kali digunakan untuk menggambarkan situasi di mana satu pihak, yang biasanya lebih kecil atau kurang berpengaruh, mencoba memanfaatkan sumber daya, popularitas, atau legitimasi pihak lain yang lebih besar atau lebih mapan.

Dalam konteks ini, "nebeng" dapat diartikan sebagai strategi yang digunakan oleh pihak yang lebih lemah untuk mendapatkan akses ke arena politik, memperoleh dukungan publik, atau mencapai tujuan tertentu. Namun, strategi ini juga menyiratkan ketergantungan dan kerentanan pihak yang "nebeng" terhadap pihak yang "ditumpangi".

Pihak yang lebih kuat, di sisi lain, dapat menggunakan "nebeng" sebagai alat untuk memperluas pengaruhnya, mengonsolidasikan dukungan, atau bahkan mengendalikan pihak yang lebih lemah. Mereka dapat memberikan atau menahan akses ke sumber daya dan kesempatan, tergantung pada sejauh mana pihak yang "nebeng" memenuhi kepentingan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun