"Aku harus mengatakan ini Bim,,," ucap Ayudia di malam itu, ketika kami bertemu disebuah rumah makan. Dia mengatakan dengan suara yg bergetar, mata yang sayup sambil memegang es coffee latte. "orang tua ku mengajarkan ku menjadi seorang yang beragama, mereka menanamkan nilai nilainya sejak saat aku kecil. Dan saat ini aku harus taat," lanjutnya.
    "Sekalipun yang kamu korbankan ini cukup besar,,, kamu sudah mengorbankan cinta," sambungku.
    "Awalnya aku pun tak mampu memahaminya," lanjut Ayudia. "aku bahagia bersamamu Bim. Tapi,,,"
    "Lantas kenapa kamu harus membuang kebahagiaan itu?"
    "Karena kebahagiaan bukanlah satu satunya yang harus dicari dalam hidup ini."
    "Kamu terlalu klise yu,,,"
    "Kehidupan ini juga klise, kehidupan ini ambigu, sampai kita bertemu Tuhan. Yang saya tahu saat ini bagaimana nilai dalam keluarga dan agamaku tetap hidup dan aku yakini. Keluargaku memintaku untuk berpasangan hidup dengan pria yang satu keyakinan agama. Maafkan aku Bim,,," Ayudia menunduk sambil membendung air matanya.
"Setelah sebegini lama, setelah satu tahun hubungan kita. Kamu baru mengatakannya sekarang? Apa kah kamu sadar dari semua hal ini akan meyakiti hati ini, cinta kita terhianati."
"Mengertilah Bim,,, ketika kita terlalu fokus dalam keadaan yang membahagiakan. Kebahagiaan itu akan terus menerus menggerus kebenaran mengatasnamakannya."
"Bim,,," panggil Andhita, mengembalikan aku dari ingatanku tentang kejadian semalam. Aku kembali melanjutkan membaca e-mail. "Seorang penonton pertandingan terkadang mampu melihat sisi lain yang tak terlihat oleh pelaku tanding..." Andhita tiba-tiba berkata padaku.
"Maksudnya?" tanyaku.