"Sarju, hatimu penuh kebencian. Martabat orang kau nistakan!"
Aroma dupa semakin menyengat pekat. Kepulan asap itu seakan membuat suasana beranda penuh dengan duka. Semakin lama mereka menghirup aroma dupa itu, semakin mereka melihat kesalahan yang pernah ada. Dupa itu, mengacaukan logika  dan semakin memperlihatkan ketertelanjangan hidup mereka. Mereka telah memakan buah yang tak seharusnya mereka makan, buah yang telah dinafikkan terlarang bagi mereka.
"Aku hanyalah seujung kuku saja. Aku bukan junjungan. Aku bukan penentu segalanya. Aku hanya sepotong cara supaya kalian mendapatkan selembar cahaya yang tentu saja harus tetap kalian cerana. Cahaya itu seharunya menghangatkan kalian. Tetapi apa yang terjadi? Kalian terlampau serakah mengambil cahaya yang akhirnya menjadi bara yang membakar keilahian jiwa kalian," suara itu semakin meluluhkan suasana, seram.
"Aku harus menjaga semua ini? Menjaga itu semua untuk kemunafikan kalian? Dupa-dupa, sesajian, dan riual-ritual kalian sama tak berharganya kalian dihadapan Sang Khalik. Memang, kalian telah berkhianat. Bukan kepadaku, tetapi kepada diri kalian sendiri. Kalian memintaku menjaga. Kalian sendiri yang merusaknya. Kalian memintaku untuk menghidupi tapi kalian malah membunuhnya. Kalian meyakini keberadaaku sekaligus juga mengusirku perlahan, menganggapku seakan tak ada. Kalian menantiku tak lama pula kalian meninggalkanku." Kegentingan hati semakin menghantui. Rasa pasrah bersalah seakan tak berguna seandainya bencana tiba-tiba ada.
"Kalian telah membuat bencana itu sendiri hidup di tengah-tengah kalian! Bukan aku!. Apakah aku harus menuai bencana yang kalian tanam sendiri? Lalu, kalian menyalahkan aku? Hah....!," suara geraman itu semakin menakutkan. Mbah Atmo masih dalam posisi duduknya. Matanya masih terpejam dengan kaki yang terlipat rapi dalam posisi semadhi. Tak akan orang yang berani menyela dengan sebuah katapun. Terdiam masih dalam ketakutan.
"Adilkah untuk aku? Jika pun aku tetap kalian anggap salah, lemparkanlah batu itu kepadaku. Tapi kalian sendiri yang akan terluka oleh nafsu itu,"
Semenjak kalimat itu, Danyang tak pernah bersuara lagi. Mbah Atmo beranjak sadar dari posisi semadhi-nya. Membuka mata perlahan, menghela nafas panjang. Semua orang hanya bisa saling memandang. Tetap tak ada kata-kata yang bisa menghakiri kesunyian itu. Tetapi akhirnya seseorang berani bersuara sekalipun lirih. Getar suaranya terasa.
"Mbah, kami harus bagaimana?"
"Gamelan masih bisa dimainkan, Jathilan juga! Pada saatnya berhenti, gamelanpun tak akan bersuara. Tetapi sebelum saatnya tiba, berilah tempat dan biarkan Sang Khalik merasuki kalian. Dia sendiri yang akan memainkan gamelan-Nya dan membuatmu njathil. Jika saatnya tiba, gamelan itu akan berhenti. Saat itu juga kalian akan sadar, waktumu telah usai. Pertunjukkanmu telah sirna."
Mbah Atmo pun berdiri, merapikan sejenak setelan surjan yang lusuh penuh lipatan. Tanpa ragu lagi, Mbah Atmo memandang mereka satu per satu.
"Pulanglah!"
"Kedamaian telah menunggumu!"
Pekalongan, Oktober 2017
Ketika jiwa ini terus bertanya.