"Mungkin....," jawab mbah Atmo dengan pasrah.
Mereka menyebut dirinya kesurupanatau ndadi dalam bahasa Jawa, yaitu membiarkan dirinya atau tubuhnya dikendalikan oleh sesuatu yang tak kelihatan. Inilah yang menjadi kekhasan. Pengalaman trans inilah yang tentunya dianggap sebagai patokan sebuah relasi antara yang kelihatan dan yang tak kelihatan. Dan mbah Atmolah sang pengadil kehidupan jathilanini. Ialah yang akan menetukan saat dan dimana orang harus kembali kepada kenyataan atau membiarkannya terhanyut dalam keadaan trans.
"Jathilan-nya tidak bisa makan beling (pecahan kaca)!,"
"Wah si Karjo juga takut menghancurkan tempurung kelapa dengan kepalanya!," seru penonton yang sampai ke telinga mbah Atmo siang itu. Memang, ketika mereka sampai pada keadaan transitu, orang Jawa menyebutnya ndadi, segala kelemahan manusiawi seakan hilang. Pecahan kaca, besi yang membara, dan yang lainnya seakan tak berdaya apa-apa pada tubuh manusia. Seringkali orang bertanya-tanya kemana larinya percahan kaca itu setelah masuk ke raga. Tapi jujur saja, jawaban logis tak akan pernah mampu memuaskan siapapun yang meminta kepastian.
Dalam keraguannya, mbah Atmo hanya mampu menerka mencari jawab apa sebenarnya yang Danyang mau atas hidup dusun itu. Danyang, seperti yang orang-orang katakan, adalah roh penunggu, penjaga, dan pelestari keharmonisan dusun itu. Dan tanpa keraguan, seluruh warga memang mempercayainya, sekalipun tak pernah melihatnya.
"Biarkan Danyang bicara! Biarkan dia bertuah!," suara lamat-lamat semakin mengeras menandakan sekelompok orang telah datang mendekat ke rumah mbah Atmo. Mbah Atmo beranjak dari duduknya, menunggu tepat di atas undakan tangga. Menanti meraka, mempersiapkan kata-kata untuk menenangkan keraguan dan kecemasan yang sama persis dia rasakan.
"Mbah, mengapa kami tidak ndadi?"
"Mbah, apa yang sedang terjadi pada kami, dusun ini, hidup kami?"
Mbah Atmo sadar betul, kata-kata yang terucap itu bukan karena sebuah amarah. Lebih tepatnya adalah ketakutan. Ketakutan itu seakan telah merangsup masuk ke seluruh warga dusun. Peristiwa tak wajar yang terjadi saat mereka njathil memaksa mereka membayangkan nasib buruk yang bisa jadi akan terjadi, menimpa dusun itu, menimpa seluruh keturunan, menghancurkan keharmonisan yang selama ini mereka rasakan.
Diamnya mbah Atmo membuat mereka semakin kalut-takut. Mereka tahu betul, mbah Atmo merasakan hal yang sama. Sebenarnya, ketakutan mbah Atmolah yang telah merasuki jiwa warga malam itu.
"Duduk!," pinta mbah Atmo lirih.