Sekejap suana riuh menjadi sunyi. Mbah Atmo mulai membakar dupa. Entah apa yang sedang diucapakan oleh mulut mbah Atmo. Bisa jadi doa. Mungkin juga rapalan. Dalam keheningan itu, tak satupun yang berani bergumam, dan tentunya mereka seakan membiarkan ketakutan itu semakin menyebar masuk ke pembuluh darah mereka.
"Mengapa kamu mencari aku?" Suara itu serta merta memecah kesunyian. Jelas sekali itu bukan suara mbah Atmo yang tak terbiasa dengan aksen berat-serak.
"Masih pentingkah aku?"
"Siapakah aku di hatimu?"
Mereka semua semakin gelisah. Tak satupun berani menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mucul bersamaan dengan suara yang semakin meninggi penuh amarah. Mereka tentunya sadar betul bahwa itu bukan suara mbah Atmo. Itu adalah suara Danyang yang berbicara melalui raga mbah Atmo.
"Karyoto...!," seseorang terperanjak kaget karena namanya disebut.
"Karyoto, si Ngatini tetanggamu memang lebih cantik. Tetapi apa salah istrimu?" perkataan itu tak berlanjut tetapi semua orang memahami maksudnya. Karyoto si pemain butho terlucuti nafsunya. Keringat mengucur di tengah kesunyian dinginnya malam.
"Mardi...!," setengah mati orang yang mengalungkan sarung di lehernya itu menjadi panik.
"Patok yang kau tancapkan itu bukan hakmu. Keuntungan atas kebohongan itu menancap perih di batinku." Â Mardi yang terlucuti itu teringat kebodohannya: melebarkan sisi sawahnya dengan menyempitkan parit.
"Sunu, pantaskah kamu meminta bunga atas sesuatu yang telah dihapuskan dari padamu?"
"Samidi, kau paksakan borok pada orang lain. Tapi kau tak sadar, borok itupun ada di tubumu!"