Praksis dalam Dunia Pendidikan
Suatu ketika seorang murid pernah bertanya kepada saya mengapa selama pelajaran tadi saya begitu gampang marah, tidak seperti biasanya. Saya terdiam sejenak; pikiran mengarah kepada kejadian di rumah, di pagi harinya. Saya berangkat kerja dengan penuh emosi karana ada permasalahan di keluarga. Emosi itu terbawa dari rumah sampai di kelas. Memang, mengajar dengan cara seperti ini sungguh tidak nyaman. Saya tak bisa menikmati hidup saya. Begitupun murid-murid saya. Dalam keadaan seperti itu, saya tak mampu mengaktualkan diri saya sepenuhnya. Itulah saat di mana kehadiran saya tak lagi menjadi berkah bagi mereka. Proses refleksilah yang akhirnya memurnikan motivasi saya menjadi seorang guru. Â
Guru memiliki cara dan media komunikasi tertentu pada saat berelasi. Mengajar dengan kedalaman pribadi berarti membagikan kepada para murid segala jerih payah hidupnya, nilai-nilai kebenaran iman, dan bagaimana ia memperjuangkannya. Dengan demikian, ajaran dan teladan hidup guru akan bisa menggugah motivasi perjuangan hidup para murid serta rekan-rekan seprofesi.
Sesungguhnya, tidak ada materi pembelajaran yang lebih dahsyat pengaruhnya kepada para murid dibandingkan teladan hidup dan perjuangan hidup guru sendiri. Pada hakikatnya, menjadi guru adalah mengajarkan tentang nilai hidup guru kepada para murid. Benarlah falsafah Jawa tentang Guru: Digugu lan Ditiru. Â Artinya, digugu pengajarannya; ditiru keteladanan hidupnya. We teach who we are, and we teach from within(Palmer, 1998:1). Tanpa itu, semua hal yang guru lakukan hanyalah hoax belaka.
Daftar Pustaka:
Dister, Nico Syukur, Dr. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta:Kanisius, 1993
Palmer, Parker J.The Courage to Teach: Exploring the Inner Landscape of a Teacher's Life. San Francisco: Jossey-Bass Publisher, 1998
Sufiyanta, A.Mintara, SJ, dan Yulia Sri Pihartini, S.Pd. Sang Guru Sang Peziarah. Jakarta: Obor, 2011
https://kbbi.web.id/integritashttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Psikologi_kognitif
[1] Suatu cara kesadaran yang sedemikian rupa sehingga manusia, untuk menyadari dirinya sendiri, harus keluar dari dirinya sendiri dan mengarahkan diri kepada yang berlainan dengan kesadaran. Demi hakikatnya, manusia bersifat terbuka untuk yang lain: sesama ataupun dunia. Lihat: Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Filsafat Kebebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1993) hal.151.