Sekapur Sirih
Seorang guru bercerita kepada muridnya, "Ada seorang penggembala yang ketakutan karena dikejar singa. Karenanya, ia lari mencari perlindungan. Dalam pelariannya, ia menemukan sebatang pohon besar dan memanjatnya. Singa tahu tempat persembunyiaan itu dan menggoyangkan pohon tersebut sekuat tenaga. Karena panik, si penggembala jatuh tepat di punggung singa. Dipegangilah leher singa itu dengan erat supaya ia tidak terjatuh dan dimakan singa. Karena tercekik, singa itu meronta dan lari sembari menggendong si penggembala. Ketika singa itu lari masuk ke desa, orang-orang terheran-heran. Seseorang mengatakan bahwa penggembala itu hebat karena mampu menjinakkan singa buas untuk dijadikan peliharaannya. Sementara orang yang lain menghardik kesombongan si penggembala karena tak mau menyapa warga." Sang guru menghela nafas dan bertanya, "Apakah kebenaran itu?"
Cerita sang guru hanyalah sebatas rangsangan supaya makna 'kebenaran' dapat ditelaah dengan tepat. Kebenaran dalam cerita tentunya menjadi sangat ambigu jika hal tersebut dipahami dari berbagai sudut pandang. Akan muncul pertentangan dari masing-masing tokoh mengenai benar salahnya sebuah perkara. Seseorang akan menafikkan yang lain dan menganggapnya sebagai kebohongan. 'Kebenaran' menurut seseorang akan menjadi kebohongan (hoax) pihak yang lain.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hoax adalah pemberitahuan palsu, yaitu informasi yang sesungguhnya tidak benar tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Setiap orang yang tidak memiliki data/informasi yang jelas dan akurat, biasanya akan berapriori. Kecenderungan yang terjadi, orang akan mudah terpengaruh oleh sesuatu yang 'benar' hanya menurut kaca matanya saja. Proses klarifiasi data untuk menemukan data yang valid tidak akan pernah terlaksana. 'Kebenaran' pun menjadi semu. Maka, pertanyaannya adalah "apakah kebenaran hakiki itu?"
Sang guru menjawabnya, "Kebenarannya adalah bahwa cerita itu hanyalah sepotong kebohongan saja!"
Berdasarkan analogi tersebut, artikel ini hendak memaparkan sebuah pemahaman tentang hoax atau ketidakbenaran dari sudut yang berbeda. Selama ini, hoaxatau tidaknya sesuatu sebatas dilihat dari perbandingan konten dengan nilai-nilai moralitas yang berlaku umum. Tetapi pada kesempatan ini, kebenaran dan ketidakbenaran (hoax) akan dicerna secara lain melalui pendekatan eksistensial[1] seorang 'Guru' dalam pendidikan formal. Secara eksplisit, perkembangan karakter kepribadian guru dan murid akan senantiasa terkait dengannya. Maka, mau dikatakan apakah nantinya keberadaan kepribadian guru itu menjadi hoax/ancaman bagi perkembangan karakter murid atau tidak.
Akar Permasalahan
Kebenaran yang diwartakan atau diajarkan dalam dunia pendidikan dapat diidentifikasi melalui dua hal. Yang pertama adalah konten pengajaran yang (harus) benar sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan dan yang kedua adalah pribadi (guru) yang membawakan kebenaran itu dalam proses pembelajaran. Kebenaran sebuah konten pembelajaran dapat secara langsung diverifikasi kesahihannya. Tetapi, soal karakter atau kepribadian guru, yang harus selalu 'dibawa' dalam proses pembelajaran, harus selalu diolah. Menjadi guru yang berkarakter-baik itu tidak semudah membuat hafalan. Maka, sepandai-pandainya guru dalam menguasai konten pembelajaran, jika tidak dibarengi dengan kemampuan mengolah karakter diri, guru itu menjadi hoax dalam dirinya sendiri.
Menjadi guru adalah sesuatu yang istimewa karena yang dihadapi setiap hari adalah manusia yang istimewa pula. Peserta didik bukanlah setumpukkertas putih[2] yang bisa dicorat-coret begitu saja. Mereka bukan data mati tetapi adalah pribadi-pribadi yang memiliki entitas dan cara pandang unik. Mereka mempunyai potensi menjadi seperti yang mereka mau. Mereka memiliki daya nalar untuk berpikir maju sekaligus daya refleksi untuk mengambil jarak dan makna dari suatu yang mereka lalukan.
Menjadi seorang guru yang istimewa tidaklah cukup hanya dengan menjadi profesional[3] di bidangnya. Seorang guru harus memiliki semangat magis, yaitu menjalankan sesuatu lebih dari sekedar menjalankan tupoksinya. Seluruh jati diri atau entitasnya pun turut serta menjadi satu bagian dalam proses pembelajaran tersebut. Seluruh harkat dan martabat pribadinya hadir bersama dalam proses pembelajaran bersama para murid. Itulah mengapa proses ini disebut 'mendidik' bukan sekedar transfer ilmu.
Dalam proses mendidik itulah, guru menghadirkan seluruh integritas, karakter, jati diri, kedewasaan, kebijaksanaan, dan nilai-nilai hidup yang telah dihayatinya. Â Maka, seorang guru akan menjadi hoax bagi murid jika tatanan moralitas hidupnya berkebalikan dengan konten moralitas yang sedang diajarkannya.