Mohon tunggu...
Dan Jr
Dan Jr Mohon Tunggu... Lainnya - None

私の人生で虹にならないでください、私は黒が好きです

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pilihan

25 Mei 2022   20:46 Diperbarui: 25 Mei 2022   21:04 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
instagram : @_jpierce

Dia melangkah masuk ke dalam ruangan gereja dengan wajah tegak, mempertontonkan lekuk wajah sempurna dari seorang pria yang menjadi idaman banyak wanita melihatnya. Dalam langkah yang baginya cukup mengerikan itu, masih saja dia berusaha untuk melemparkan senyum pada beberapa orang yang dikenalnya meski hanya lewat cerita.

Sudah lima belas tahun pria itu tidak menginjakkan kaki di rumah ibadah ini. Pendeta mingguan yang memberikan khotbah sudah dua kali berganti. Namun, yang baru saja dia tahu kemarin. Bahwa setiap minggu, selama lima belas tahun tersebut, namanya selalu saja menjadi salah satu topik utama dalam doa syafaat mengakhiri ibadah. Dia menyadari, hal itu tidak akan terjadi kalu saja orang tuanya tidak menggelontorkan sejumlah uang sebagai persembahan mingguan kepada gereja dan tentu saja kepada pendeta. Kalau saja bukan karena permintaan ayahnya, dia tidak akan berada disini, hari ini.

Kemarin ketika baru saja berada dua jam didalam rumah, dia mengumumkan sesuatu. Sebuah pengumuman yang buatnya tidak seharusnya dilakukan. Tapi, disisi lain, dia juga bosan dengan pertanyaan sama yang dilontarkan kepadanya setiap kali dia pulang dari tanah rantau.

"Jadi kapan kau akan menikah, usiamu sudah tiga puluh dua tahun..." kata ayahnya, tidak jenuh dengan ucapan yang sama setidaknya lima tahun terakhir ini.

Bahkan saat dia dan ayahnya terpisah pada jarak yang begitu jauh, lewat sambungan telepon, ayahnya tidak lupa mengingatkan putra bungsunya itu untuk mencari wanita sebagai pendamping hidup.

"Seorang wanita..." katanya mulai ragu, padahal dia sudah siap dengan ucapan ini sejak masih berada di bandara tadi.

Ruangan keluarga itu menjadi senyap seketika, menanti seorang untuk berkata soal sebuah nyata yang mungkin saja akan melemparkannya dari silsilah keluarga agung yang terkenal taat agama.

"Aku tidak akan menikah dengan seorang wanita..." katanya berusaha tidak terdengar, atau justru sebaliknya. "Aku Gay..." katanya setengah berbisik.

Dengan wajah tertunduk, bisa dirasakannya kemarahan ayah yang tidak terungkap. Di dinding rumah itu sebuah photo keluarga yang cukup besar, menunjukkan dia dan abangnya mengapit kakak perempuannya bersama dengan kedua orang tua yang duduk bagaikan raja dan ratu dalam rumah tangga. Dirasakannya ada keretakan pada pigura photo itu.

"Rangga..." suara pria paruh baya dihadapannya parau, berusaha menahan sesuatu keluar dari dalam pikirannya.

Rangga memberanikan diri menatap ayah dan ibunya yang ternyata menteskan air mata tak kuasa menahan kepiluan.

"Maaf..." Rangga berucap lirih.

Tidak dalam hitungan menit, ayah Rangga berdiri dan mendekati anaknya itu. Rangga memahami kalau saja ayahnya akan murka dan memukulnya. Butuh waktu bagi Rangga menyadari untuk segera berdiri, setelah ayahnya terdiam dalam saat yang cukup disebelahnya.

"Percayalah, ayah tidak menangis karena siapa kau. Ayah menangis karena ayah tahu apa yang orang -- orang akan lakukan dan katakana terhadapmu..."

Sebuah kejutan luar biasa, Rangga tidak pernah akan menyangka akan mendapat pelukan hangat dari sang ayah alih -- alih sebuah tamparan kemarahan.

Malam hadir begitu cepat, percakapan keluarga itu lebih banyak mengenai hal -- hal kecil yang mengundang gelak canda dan tawa. Kedua saudara Rangga sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari desa, sehingga Rangga dapat untuk kesekian kalinya menikmati diri untuk menjadi anak satu -- satunya didalam rumah.

Setelah malam makan selesai, ayah dan ibu Rangga keluar dari rumah dengan alasan sudah punya janji dengan salah satu paman Rangga. 

Rangga diminta untuk segera masuk kedalam kamarnya, karena didalam rumah itu tidak ada apapun yang tersisa yang bisa digunakannya untuk bermain seperti saat masih remaja dulu. Tanpa perintah itu pun, Rangga tidak akan keluar dari kamarnya disana semua kebutuhannya sudah terpenuhi.

Lagi pula, dalam malam minggu seperti ini, dia ingin segera melakukan panggilan video dengan kekasihnya diseberang pulau. Memberi pengumuman mengenai pengakuannya hari ini.

Meski seringkali Rangga bertanya -- tanya, kenapa hanya seorang Gay yang diharuskan melakukan pengakuan. Kenapa kaum straight tidak melakukan hal sama. Kenapa harus ada sebuah perbedaan.

***

"Cinta adalah anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada kita..." pendeta Jonas mulai kotbahnya dengan cara biasa, dan selalu saja dengan tujuan tertentu.

"Sebab oleh cinta, Tuhan menyelamatkan umat manusia dari dosa -- dosa, dengan mati di kayu salib, agar semua orang percaya dapat beroleh hidup kekal di dalam surga".

Perkataan itu terhenti sejenak, tampaknya pendeta Jonas sedang memikirkan ucapan berikutnya yang harus dia katakan. Rangga duduk dibaris ketiga bangku jemaat itu, sedang ayahnya yang berada dibangku pertama menoleh kebelakang dan memberi senyuman saat melihat Rangga menuruti permintaannya. Bagi Rangga, tidak ada balasan lain selain tersenyum pada pria itu.

"Namun, seringkali manusia salah menterjemahkan sebuah cinta. Terkadang mereka memilih cinta yang salah, sehingga tak jarang kita mendengar pasangan yang berakhir karena sebuah perselingkuhan atau ketidak cocokan" pendeta Jonas melanjutkan kotbahnya kali ini "Ehm, kemudian pula ada yang berpikir bahwa mencintai sesama jenisnya juga adalah cinta, padahal itu hanyalah nafsu belaka"

Kalau saja tidak mendengar dengan telinganya sendiri, Rangga tidak akan percaya seorang pendeta mengucapkan kata -- kata itu pada sebuah sidang jemaat mingguan. Dalam sebuah keputus asaan, dia kecewa pada ayah dan ibunya yang ternyata menggiringnya masuk kedalam gereja untuk mendengarkan ceramah mengenai kehidupannya. Perkataan yang tentu saja adalah permintaan orang tua Rangga kepada pendeta itu.

"Dalam kitab..." Pendeta Jonas akan segera merujuk ayat ketika Rangga memutuskan berdiri untuk meninggalkan ibadah itu.

"Rangga..." kata Pendeta itu mencoba menghentikan salah satu pendengarnya yang nota bene adalah alasan dia membawakan kotbah ini hari ini.

"Anda tahu kenapa kaum LGBT banyak yang tidak percaya pada Tuhan... pendeta?" Rangga tidak dapat menahan dirinya untuk segera bereaksi.

Ayah dan ibu Rangga menoleh, menatap putra mereka. Dibalas dengan tatapan tajam dari anak itu.

""Karena para pengikut Tuhan mengatakan bahwa LGBT adalah sebuah pilihan. Seolah -- olah kaum LGBT..." Rangga terdiam sejenak "seolah -- olah saya dan kaum saya memilih untuk dihina dan diejek seumur hidup kami." Katanya memperbaiki ucapannya.

Rangga tidak menghiraukan orang tuanya lagi. Kali ini dia berbalik dan berjalan keluar dari ruang ibadah, meninggalkan jemaat lain yang terpaku akan pengakuannya. Tentu saja tidak semua orang mengerti bahkan mendengarkan apa yang dikatannya. Kebanyakan diantara mereka hadir disana hanya sekedar tubuhnya saja, sedang jiwa dan pikirannya berada entah di semesta mana.

Pintu terbuka, Rangga keluar tanpa sebuah penyesalan dengan ucapannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun