"Cinta adalah anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada kita..." pendeta Jonas mulai kotbahnya dengan cara biasa, dan selalu saja dengan tujuan tertentu.
"Sebab oleh cinta, Tuhan menyelamatkan umat manusia dari dosa -- dosa, dengan mati di kayu salib, agar semua orang percaya dapat beroleh hidup kekal di dalam surga".
Perkataan itu terhenti sejenak, tampaknya pendeta Jonas sedang memikirkan ucapan berikutnya yang harus dia katakan. Rangga duduk dibaris ketiga bangku jemaat itu, sedang ayahnya yang berada dibangku pertama menoleh kebelakang dan memberi senyuman saat melihat Rangga menuruti permintaannya. Bagi Rangga, tidak ada balasan lain selain tersenyum pada pria itu.
"Namun, seringkali manusia salah menterjemahkan sebuah cinta. Terkadang mereka memilih cinta yang salah, sehingga tak jarang kita mendengar pasangan yang berakhir karena sebuah perselingkuhan atau ketidak cocokan" pendeta Jonas melanjutkan kotbahnya kali ini "Ehm, kemudian pula ada yang berpikir bahwa mencintai sesama jenisnya juga adalah cinta, padahal itu hanyalah nafsu belaka"
Kalau saja tidak mendengar dengan telinganya sendiri, Rangga tidak akan percaya seorang pendeta mengucapkan kata -- kata itu pada sebuah sidang jemaat mingguan. Dalam sebuah keputus asaan, dia kecewa pada ayah dan ibunya yang ternyata menggiringnya masuk kedalam gereja untuk mendengarkan ceramah mengenai kehidupannya. Perkataan yang tentu saja adalah permintaan orang tua Rangga kepada pendeta itu.
"Dalam kitab..." Pendeta Jonas akan segera merujuk ayat ketika Rangga memutuskan berdiri untuk meninggalkan ibadah itu.
"Rangga..." kata Pendeta itu mencoba menghentikan salah satu pendengarnya yang nota bene adalah alasan dia membawakan kotbah ini hari ini.
"Anda tahu kenapa kaum LGBT banyak yang tidak percaya pada Tuhan... pendeta?" Rangga tidak dapat menahan dirinya untuk segera bereaksi.
Ayah dan ibu Rangga menoleh, menatap putra mereka. Dibalas dengan tatapan tajam dari anak itu.
""Karena para pengikut Tuhan mengatakan bahwa LGBT adalah sebuah pilihan. Seolah -- olah kaum LGBT..." Rangga terdiam sejenak "seolah -- olah saya dan kaum saya memilih untuk dihina dan diejek seumur hidup kami." Katanya memperbaiki ucapannya.
Rangga tidak menghiraukan orang tuanya lagi. Kali ini dia berbalik dan berjalan keluar dari ruang ibadah, meninggalkan jemaat lain yang terpaku akan pengakuannya. Tentu saja tidak semua orang mengerti bahkan mendengarkan apa yang dikatannya. Kebanyakan diantara mereka hadir disana hanya sekedar tubuhnya saja, sedang jiwa dan pikirannya berada entah di semesta mana.