Rangga memberanikan diri menatap ayah dan ibunya yang ternyata menteskan air mata tak kuasa menahan kepiluan.
"Maaf..." Rangga berucap lirih.
Tidak dalam hitungan menit, ayah Rangga berdiri dan mendekati anaknya itu. Rangga memahami kalau saja ayahnya akan murka dan memukulnya. Butuh waktu bagi Rangga menyadari untuk segera berdiri, setelah ayahnya terdiam dalam saat yang cukup disebelahnya.
"Percayalah, ayah tidak menangis karena siapa kau. Ayah menangis karena ayah tahu apa yang orang -- orang akan lakukan dan katakana terhadapmu..."
Sebuah kejutan luar biasa, Rangga tidak pernah akan menyangka akan mendapat pelukan hangat dari sang ayah alih -- alih sebuah tamparan kemarahan.
Malam hadir begitu cepat, percakapan keluarga itu lebih banyak mengenai hal -- hal kecil yang mengundang gelak canda dan tawa. Kedua saudara Rangga sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari desa, sehingga Rangga dapat untuk kesekian kalinya menikmati diri untuk menjadi anak satu -- satunya didalam rumah.
Setelah malam makan selesai, ayah dan ibu Rangga keluar dari rumah dengan alasan sudah punya janji dengan salah satu paman Rangga.
Rangga diminta untuk segera masuk kedalam kamarnya, karena didalam rumah itu tidak ada apapun yang tersisa yang bisa digunakannya untuk bermain seperti saat masih remaja dulu. Tanpa perintah itu pun, Rangga tidak akan keluar dari kamarnya disana semua kebutuhannya sudah terpenuhi.
Lagi pula, dalam malam minggu seperti ini, dia ingin segera melakukan panggilan video dengan kekasihnya diseberang pulau. Memberi pengumuman mengenai pengakuannya hari ini.
Meski seringkali Rangga bertanya -- tanya, kenapa hanya seorang Gay yang diharuskan melakukan pengakuan. Kenapa kaum straight tidak melakukan hal sama. Kenapa harus ada sebuah perbedaan.
***