8 November 2018
Hari semakin menua, mentari sudah pergi meninggalkan singgasananya. Malam akan segera mengahdirkan kegelapan, kesunyian dan kesendirian. Aku masih saja menanti kereta yang akan mengantarkanku menuju Yogyakarta. Beberapa orang lainnya, duduk sambil bermain dengan ponsel mereka. Butuh waktu lima puluh menit lagi, sampai kereta akan tiba dan mengangkut kami yang tersisa.
18.00 WIB
Dari semua orang yang ada di stasiun, mataku tertuju pada seorang pria yang duduk menyendiri diluar ruang tunggu. Untuk kedua kalinya, pria itu mendekati seorang lain untuk sekedar dipinjami korek api membakar rokok yang menganggur ditangannya, membakar tubuhnya. Wajahnya pucat, menurutku pria itu belum makan seharian, atau bisa saja dia tidak cukup tidur semalaman. Tapi, aku tidak benar -- benar tertarik dengan apa yang baru saja dialaminya, aku hanya tertarik bahwa dari seluruh sudut stasiun hanya dia yang tidak bermain dengan ponselnya. Bukankah ponsel sudah menjadi kebutuhan yang candu bagi umat manusia? Tapi aku tidak akan kesana, aku tidak akan mendekatinya, aku tidak akan sekedar berbicara dengannya.
18.05 WIB
Kami sudah duduk berdua setelah aku tawarkan korek api, untuk sekali lagi membakar rokoknya, membakar tubuhnya. Tidak banyak yang bisa dibicarakan, dia hanyalah seorang asing, aku adalah seorang asing. Percakapan singkat itu hanya membawa pria itu dan aku menghabiskan rokok pertama bagiku dan ketiga baginya di sore ini.
Perjalanannya ke Yogyakarta untuk sebuah pekerjaan, disana beberapa timnya sudah menanti untuk menyelesaikan printah yang belum juga usai. Dan bagiku, cukup disana informasi itu. Aku tidak akan bertanya lebih jauh, aku tidak akan menjadi si asing yang terlalu banyak ingin tahu urusan orang lain.
Tapi toh akhirnya aku tanyakan juga menyoal pernikahannya, dan apakah dirinya adalah seorang ayah atau belum. Dan tampaknya, pria dengan tinggi seratus tujuh puluh enam centi itu tidak keberatan mengatakan bahwa dirinya adalah suami sekaligus ayah dari seorang anak. Sekali lagi, bagiku sudah cukup. Tidak perlu berpanjang -- panjang, pada akhirnya dia dan aku akan terpisah dalam persimpangan.
18.45 WIB
Kereta api sudah hadir, aku akan meninggalkannya disana kalau saja tidak berpikir dia dan aku sudah mengobrol cukup banyak. Akhirnya kami duduk dikursi yang sama. Dua pria lain dihadapan kami, salah satunya memperhatikan dia dan aku dari ujung rambut sampai ujung kuku. Mungkin karena pemandangan kami jauh berbeda dari orang itu. Aku hanya mengenakan kaos oblong dipadukan dengan celana training hitam ditambah sandal jepit seharga sepuluh ribuan. Dia dengan pemandangan yang tidak jauh berbeda, selain celana jeans yang aku duga sudah seminggu terakhir tidak menyentuh air atau sandal jepit yang tampaknya sedikit lebih mahal daripada yang aku pakai.
Tapi aku sadar satu hal, bahwa orang yang menatap kami itu merasa bahwa seharusnya aku mengenakan Dolce Gabbana atau sejenisnya saat akan berpergian. Bukankah tampilan menjadi sangat penting bagi manusia saat ini kebanyakan?