Sebelum kita lanjut ke pembahasan inti, ada baiknya kita mengetahui pengertian kata vulgar dan apakah sama dengan kata p*rn*? Sebagaimana dikutip dari KBBI, Wikipedia, dan Kamus Bahasa Inggris, vulgar adalah kata sifat yang berarti; cabul, carut, kasar, tidak sopan, tidak senonoh, dan yang mengarah pada seksual. Sedangkan dari segi linguistik vulgar dapat diartikan sebagai kesalahan dalam pengucapan, pengejaan, dan pembentukan kata. Sementara makna p*rn* juga sama, yaitu cabul.
Seiring dengan semakin majunya teknologi digital, maka perkembangan literasi juga semakin pesat. Sekilas itu dianggap sebagai prestasi yang cukup signifikan, tetapi siapa sangka jika kita telusuri secara mendalam ada satu fenomena yang sangat penting kita sadari untuk diperbaiki bersama-sama. Yaitu, literasi edukatif tetapi penuh dengan modus. Yakni, kerap kali kita menjumpai tulisan-tulisan yang bertengger di dunia maya bukan malah mencerdaskan anak bangsa melainkan sebaliknya.Â
Kenapa? Pesan yang disematkan dalam tulisan tidak mengandung nilai, norma, motivasi, melainkan penuh dengan cerita amoral yang mengundang anak-anak usia di bawah umur berpikiran jorok. Melihat cover yang terpampang, sudah tampak jelas kalau isinya jauh dari nilai-nilai konstruktif dan spritual. Banyak sekali penulis yang tidak menyadari dampak negatif yang dia tulis demi mendapatkan banyak readers dan meraup keuntungan yang besar. Sampai-sampai ada sebagian penulis yang memang hobinya menuliskan hal-hal yang berbasis vulgar hingga pada titik-titik terdalamnya. Transparan tanpa sensor.Â
Yang membuat guru dan orang tuanya malu besar ketika membaca tulisan anaknya yang banjir dengan kata-kata vulgar.Â
 Lantas, apa yang terjadi ketika tulisan-tulisan vulgar masih terus digencarkan? Berdasarkan survey yang dilaksanakan Kemenkes tahun 2017 ada sebanyak 94% siswa yang pernah mengakses konten p*rn* yang diakses melalui komik sebanyak 43%, internet sebanyak 57%, game sebanyak 4%, film/TV sebanyak 17%, Media sosial sebanyak 34%, Majalah sebanyak 19%, Buku sebanyak 26%, dan lain-lain 4%.Â
Bahkan yang lebih mencengangkan lagi ada 75 persen pelajar kita pernah melakukan suatu hubungan yang terlarang atau belum sepantasnya mereka lakukan dan semakin banyaknya kasus perselingkuhan dalam tubuh masyarakat serta masih banyak lagi dampak-dampak buruk yang diakibatkan dari mengkonsumsi cerita vulgar. Itu hasil penelitian pada tujuh tahun yang silam, lalu bagaimana dengan sekarang?
 Kebayang tidak jika ada sebuah buku, sekali lagi sebuah buku yang dibaca oleh jutaan penduduk Indonesia, tetapi isinya penuh dengan hal-hal yang berbau vulgar, kira-kira apa yang akan dihasilkan setelahnya? Apakah kemajuan atau malah kehancuran? Ironisnya, dewasa ini untuk menemukan tulisan-tulisan yang berbau vulgar semakin mudah mendapatinya di medsos.Â
Mirisnya lagi, tulisan-tulisan untuk usia dewasa banyak dikonsumsi oleh anak-anak dan remaja. Bukan tanpa alasan melainkan karena tulisan-tulisan yang beredar luas di internet atau PF online dipublis tanpa perifikasi oleh pihak yang berwenang. Justru, ada sebagian otoritas yang mensupport hal itu demi meraup keuntungan dan popularitas komunitasnya. Miris bukan?
 Jika masih terus dipertemukan dengan hal-hal tersebut, yang salah sebenarnya siapa? Apakah medianya atau konsumen alias pembaca dan penulisnya? Kedua mitra inilah yang perlu diberikan kesadaran dan kewarasan berpikir agar tidak melulu mencari kesenangan hawa nafsu semata melainkan kesenangan spiritual juga urgent dikedepankan. Kalau keduanya sudah memiliki kesadaran yang jernih, maka dia sebagai pembaca akan berpikir berkali-kali untuk mengkonsumsi tulisan yang hanya memuaskan hawa nafsunya sesaat, tetapi menyimpan duka spiritual yang sangat mendalam dan berkelanjutan.
Begitupun sebagai penulis, akan terus berpikir agar apa yang akan dia suguhkan kepada masyarakat luas dapat memberikan edukasi positif yang berkepanjangan.
Setiap konsumen sangat penting mengetahui apa dampak negatif dari tulisan vulgar ataupun p*rn#.
Terlepas dari kategori usia pembaca, jika tulisan vulgar dikonsumsi oleh anak bangsa maka akan menimbulkan dampak negatif yang besar, baik dari sisi kesehatan mental maupun spritual. Secara umum, tulisan vulgar tidak baik dikonsumsi karena dapat mengganggu kesehatan.Â
Sebagaimana sebuah studi ilmiah seorang peneliti Harold Leitenberg daru The Journal of Sex Research, menyatakan bahwa emak-emak yang membaca novel romantis atau erotis dapat meningkatkan hubungan seksnya secara berlebihan. Bagaimana jika hal yang demikian sampai mengurangi kualitas hidup yang bersangkutan? Makanya tidak jarang hal tersebut membuat hubungan pasangan suami istri semakin renggang bahkan berujung pada perceraian.
Dampak keseringan membaca cerita vulgar sudah pasti membuat mental, nilai moral, agama, dan etika bangsa semakin merosot. Apalagi kalau yang mengkonsumsinya masih usia anak-anak, SD, SMP, itu mutlak akan semakin membawa dampak negatif yang besar di seluruh tatanan masyarakat. Karena apa yang mereka baca itulah yang sebenarnya menjadi cerminan diri mereka dan cerminan bangsa, sehingga jangan heran kalau di kalangan anak-anak dan remaja, kata-kata vulgar sering terlontar dari lisan mereka sebagai bahan candaan ataupun olokan.
Selain itu, dampak yang didatangkan oleh tulisan vulgar adalah perilaku-perilaku yang menyimpang seperti p*rn# aksi dan p*orn#grafi semakin meraja Lela. Sebagaimana data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengungkapkan sebanyak 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan di Indonesia menyaksikan kegiatan seksual atau p*rn#grafi melalui media daring, baik melalui bacaan maupun tontonan.
Dampak yang lebih fatalnya lagi, jika kita telusuri secara medis, p*rn*grafi mengakibatkan kerusakan yang serius pada lima bagian otak terutama
pada pre frontal corteks, yakni bagian otak yang tepat berada
di belakang dahi dan otak logika. Lima bagian tersebut adalah otak yang berfungsi sebagai pusat pemikiran, perencanaan, pengambilan keputusan, emosi dan tanggung jawab. Itu makanya, orang yang sudah terlanjur suka pada bacaan-bacaan yang berbumbu vulgar, yang berdampak candu, otaknya cenderung bermasalah.
(Sukiman, 2017) mendefinisikan kecanduan p*rn*grafi sebagai perilaku yang berulang untuk melihat hal-hal yang merangsang nafsu seksual dan kehilangan kontrol diri untuk menghentikannya. Orang yang kecanduan terhadap dua hal negatif tersebut, menurut kebiasaan dapat diketahui ciri-cirinya sebagai berikut:
a. Sering tampak gugup apabila ada yang mengajak berkomunikasi.
b. Malas, enggan belajar, enggan bergaul.
c. Tidak punya gairah beraktivitas.
d. Susah lepas dari smartphone.
e. Senang menyendiri terutama di kamarnya.
f. Melupakan kebiasaan baiknya.
g. Sulit bersosialisasi, baik dengan keluarga maupun dengan teman-
temannya.
h. Mudah marah dan mudah tersinggung.
i. Pikirannya kacau karena selalu tertarik mencari materi pornografi.
j. Pelupa dan sulit berkonsentrasi.
Selanjutnya, semakin menipis nilai-nilai agama yang ada pada diri seseorang, dapat menjadikannya sepele terhadap suatu dosa dari akibat candu mengakses bacaan-bacaan vulgar. Tentunya kita sama-sama tahu bahwa baik membaca ataupun menulis hal-hal yang berbau vulgar dilarang dan dia termasuk perbuatan yang haram baik secara agama maupun undang-undang. Karena hal itu sama dengan membuka pintu-pintu perzinahan yang menyebabkan hancurnya peradaban manusia. Maka sebagai tindakan preventif, sebaiknya kita menutup pintu tersebut dengan kokoh agar tidak terjadi yang namanya perzinahan. Sebagai acuannya, Al-Qur'an menegaskan bahwa mendekati zina itu dilarang, terus bagaimana dengan melakukannya?Â
Artinya : "Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al Isra : 32)
Allah SWT. juga memerintahkan kepada setiap hamba-Nya untuk menjaga penglihatan dan memelihara pandangannya dari segala yang membuat kehancuran dan kebinasaan.
Artinya : "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS. An Nuur : 30 -- 31)
Kenapa begitu keras perhatian Al-Qur'an terhadap sesuatu yang mengundang dosa tersebut? Karena, bagi yang suka membaca dan menulis novel-novel yang penuh dengan konten vulgar sudah pasti dapat membangkitkan syahwatnya, menjadikan pikirannya melekat dengan pemeran utamanya serta membayangkan atau mengkhayalkan adegan-adegan haram yang diceritakan di dalamnya dan ini termasuk zina maknawi bagi akalnya sebagaimana zina mata yang memandang hal-hal yang diharamkan atau zina telinga yang mendengarkan hal-hal yang diharamkan.
Sementara itu, agama menuntun manusia agar waktu luang yang dimiliki hendaknya dipergunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Baik bagi agama maupun dunianya. Seperti, membaca al Qur'an, hadits-hadits Rasulullah, tafsir, sejarah hidup Rasulullah, buku-buku agama, novel religi, buku yang mengandung motivasi dan inspirasi, atau tulisan-tulisan yang berhubungan dengan dunia, tetapi bermanfaat untuk kehidupan.
Setiap penulis ataupun pembaca dituntut untuk senantiasa berhati-hati terhadap waktu luangnya agar tidak sampai tertipu oleh kenikmatan sementara yang akan menjerumuskan mereka kepada jurang kehancuran. Di dunia boleh senang karena memperturutkan hawa nafsu, sementara di akhirat akan jauh dari kesenangan. Kalau masih terbiasa untuk tidak mensyukuri waktunya, terlena dengan hal-hal yang membuat nafsu, lalai dengan membuang-buang waktu melalui perbuatan-perbuatan yang tidak membawa manfaat bahkan merusak, maka akhirnya akan mendapatkan kerugian yang tidak dapat disesali ketika sudah berada pada Hari Pertanggungjawaban yang dimulai dari alam barzakh.
Meskipun masih banyak penulis ataupun pembaca yang suka dengan konten yang berbau vulgar  di atas, setidaknya kamu dan keluargamu tidak termasuk bagian dari mereka lagi. Setiap penulis sudah semestinya memerhatikan kebermanfaatan yang dia tulis. Tentunya dengan menjadi diri sendiri tanpa terpengaruh dengan penulis lain yang masih dikuasai oleh hawa nafsunya. Begitupun dengan sang pembaca, sudah seharusnya sadar dan memikirkan dampak positif atau negatif yang dia baca terhadap diri dan lingkungannya.
Sungguh ide cemerlang itu banyak sekali kita dapatkan jika semua panca indra yang kita miliki kita maksimalkan. Tidak ada alasan karena tidak ada ide maka larinya ke konten vulgar. Kalau penyebabnya biar ramai pembaca, sekali lagi penulis harus berpikir berkali-kali apakah dengan ramainya pembaca meniscayakan kebermanfaatan terhadap tulisan kamu? Lalu bukankah tujuannya menulis untuk mengais rezki yang halal untuk diri kita dan keluarga kita? Benar, tetapi kalau masih saja dengan cara mengumbar kata-kata vulgar di dalam karya kamu, jangan harapkan halal dan berkah dari Rezki yang kamu dapatkan, melainkan sebaliknya atau setidaknya keberkahannya berkurang jauh.
Mari kita senantiasa belajar bagaimana cara menyuguhkan narasi yang mengedukasi, yang bermanfaat, dan bernilai jariah alias manfaatnya berkesinambungan. Mengajari tidak berarti harus menyebutkan semua yang ingin kita sampaikan dari A sampai Z. Pikirkan --diksi dewasa-- yang membuat pembaca paham tapi dia tidak sampai menyentuh titik-titik sentralnya vulgar. Apalagi tulisan tersebut akan dimuat di PF, atau media online lainnya yang besar kemungkinan akan dikonsumsi banyak orang secara random. Jika masih bingung untuk menuliskan konten dewasa, tetapi berbalutkan religi, perlu kiranya membaca novel religi yang banyak.Â
Tidak seorang pun yang membantah bahwa menulis itu menyehatkan otak dan aktivitas mulia. Kebermanfaatan yang ditanam lewat kegiatan yang mulia tersebut, dapat berkesinambungan bukan hanya seumur hidup, tetapi dia juga akan memberikan pertolongan kepada orang yang selalu menyebarkan kebaikan dan amal salih melalui jari jemarinya (literasi). Sebaliknya, apa yang disemai berupa keburukan termasuk tulisan yang berbau vulgar, selagi itu dibaca dan dikerjakan oleh konsumennya, selama itu pula penulisnya meraup kerugian yang akan mengantarkannya ke jurang siksaan yang tidak mengenal kata ampun.Â
Akal yang diberikan Allah kepada setiap orang, sudah lebih daripada cukup untuk setiap penulis sebagai modal utama dalam berdakwah, menyalurkan hobi, dan mencari kehidupan lewat tulisan. Jika masih saja lebih mementingkan keuntungan duniawi apa bedanya penulis tersebut dengan yang tidak berakal?Â
Justru akal diberikan kepada manusia supaya mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Apakah yang akan ditulis itu melahirkan manfaat atau malah mendatangkan risiko? Itu makanya jauh-jauh hari Nabi memberikan legitimasi keimanan itu dengan cara, kalau seseorang tidak berkata yang baik atau dalam konteks sekarang; tidak menuliskan hal-hal yang bermanfaat, maka hendaklah dia diam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H