Kenapa begitu keras perhatian Al-Qur'an terhadap sesuatu yang mengundang dosa tersebut? Karena, bagi yang suka membaca dan menulis novel-novel yang penuh dengan konten vulgar sudah pasti dapat membangkitkan syahwatnya, menjadikan pikirannya melekat dengan pemeran utamanya serta membayangkan atau mengkhayalkan adegan-adegan haram yang diceritakan di dalamnya dan ini termasuk zina maknawi bagi akalnya sebagaimana zina mata yang memandang hal-hal yang diharamkan atau zina telinga yang mendengarkan hal-hal yang diharamkan.
Sementara itu, agama menuntun manusia agar waktu luang yang dimiliki hendaknya dipergunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Baik bagi agama maupun dunianya. Seperti, membaca al Qur'an, hadits-hadits Rasulullah, tafsir, sejarah hidup Rasulullah, buku-buku agama, novel religi, buku yang mengandung motivasi dan inspirasi, atau tulisan-tulisan yang berhubungan dengan dunia, tetapi bermanfaat untuk kehidupan.
Setiap penulis ataupun pembaca dituntut untuk senantiasa berhati-hati terhadap waktu luangnya agar tidak sampai tertipu oleh kenikmatan sementara yang akan menjerumuskan mereka kepada jurang kehancuran. Di dunia boleh senang karena memperturutkan hawa nafsu, sementara di akhirat akan jauh dari kesenangan. Kalau masih terbiasa untuk tidak mensyukuri waktunya, terlena dengan hal-hal yang membuat nafsu, lalai dengan membuang-buang waktu melalui perbuatan-perbuatan yang tidak membawa manfaat bahkan merusak, maka akhirnya akan mendapatkan kerugian yang tidak dapat disesali ketika sudah berada pada Hari Pertanggungjawaban yang dimulai dari alam barzakh.
Meskipun masih banyak penulis ataupun pembaca yang suka dengan konten yang berbau vulgar  di atas, setidaknya kamu dan keluargamu tidak termasuk bagian dari mereka lagi. Setiap penulis sudah semestinya memerhatikan kebermanfaatan yang dia tulis. Tentunya dengan menjadi diri sendiri tanpa terpengaruh dengan penulis lain yang masih dikuasai oleh hawa nafsunya. Begitupun dengan sang pembaca, sudah seharusnya sadar dan memikirkan dampak positif atau negatif yang dia baca terhadap diri dan lingkungannya.
Sungguh ide cemerlang itu banyak sekali kita dapatkan jika semua panca indra yang kita miliki kita maksimalkan. Tidak ada alasan karena tidak ada ide maka larinya ke konten vulgar. Kalau penyebabnya biar ramai pembaca, sekali lagi penulis harus berpikir berkali-kali apakah dengan ramainya pembaca meniscayakan kebermanfaatan terhadap tulisan kamu? Lalu bukankah tujuannya menulis untuk mengais rezki yang halal untuk diri kita dan keluarga kita? Benar, tetapi kalau masih saja dengan cara mengumbar kata-kata vulgar di dalam karya kamu, jangan harapkan halal dan berkah dari Rezki yang kamu dapatkan, melainkan sebaliknya atau setidaknya keberkahannya berkurang jauh.
Mari kita senantiasa belajar bagaimana cara menyuguhkan narasi yang mengedukasi, yang bermanfaat, dan bernilai jariah alias manfaatnya berkesinambungan. Mengajari tidak berarti harus menyebutkan semua yang ingin kita sampaikan dari A sampai Z. Pikirkan --diksi dewasa-- yang membuat pembaca paham tapi dia tidak sampai menyentuh titik-titik sentralnya vulgar. Apalagi tulisan tersebut akan dimuat di PF, atau media online lainnya yang besar kemungkinan akan dikonsumsi banyak orang secara random. Jika masih bingung untuk menuliskan konten dewasa, tetapi berbalutkan religi, perlu kiranya membaca novel religi yang banyak.Â
Tidak seorang pun yang membantah bahwa menulis itu menyehatkan otak dan aktivitas mulia. Kebermanfaatan yang ditanam lewat kegiatan yang mulia tersebut, dapat berkesinambungan bukan hanya seumur hidup, tetapi dia juga akan memberikan pertolongan kepada orang yang selalu menyebarkan kebaikan dan amal salih melalui jari jemarinya (literasi). Sebaliknya, apa yang disemai berupa keburukan termasuk tulisan yang berbau vulgar, selagi itu dibaca dan dikerjakan oleh konsumennya, selama itu pula penulisnya meraup kerugian yang akan mengantarkannya ke jurang siksaan yang tidak mengenal kata ampun.Â
Akal yang diberikan Allah kepada setiap orang, sudah lebih daripada cukup untuk setiap penulis sebagai modal utama dalam berdakwah, menyalurkan hobi, dan mencari kehidupan lewat tulisan. Jika masih saja lebih mementingkan keuntungan duniawi apa bedanya penulis tersebut dengan yang tidak berakal?Â
Justru akal diberikan kepada manusia supaya mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Apakah yang akan ditulis itu melahirkan manfaat atau malah mendatangkan risiko? Itu makanya jauh-jauh hari Nabi memberikan legitimasi keimanan itu dengan cara, kalau seseorang tidak berkata yang baik atau dalam konteks sekarang; tidak menuliskan hal-hal yang bermanfaat, maka hendaklah dia diam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H