Mohon tunggu...
Damri Hasibuan
Damri Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Seseorang yang ingin meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gimana Rasanya Menjadi Imam di UEA?

28 April 2023   04:07 Diperbarui: 28 April 2023   04:14 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Gimana sih Rasanya Menjadi Imam di UEA?

Menjadi imam salat adalah bisa dikatakan pekerjaan yang sangat mulia dan yang paling utama di sisi Allah SWT setelah profesi muazzin. Hal tersebut sesuai dengan pendapat konsensus ulama. Karena selain bisa menjaga salat di awal waktu, dia juga memimpin keberlangsungan salat. 

Tanpa imam, salat berjamaah tidak akan terlaksana. Begitu juga dengan muazzin. Eksisnya muazzin dan imam dapat mempengaruhi eksistensi dan antusiasme jama'ah. 

Itu makanya ketika ditanya; siapa yang paling banyak mendapatkan pahala di antara para musallin? Jawabannya mesti yang pertama muazzin, yang kedua imam kemudian baru makmum, yang didasari dengan kadar keihklasan masing-masing.

Berbicara tentang jawaban dari pertanyaan yang ada pada judul tentunya setiap orang berbeda-beda, ya. Yang jelas, bagi saya sendiri pasti enak, nikmat sekaligus bangga bisa menjadi duta imam di negara orang lain yang penduduknya merupakan orang Arab yang sekaligus penutur bahasa Al-Qur'an, dan banyak juga jemaahnya dari kalangan ekspatriat. 

Tergantung masjid dan penempatannya juga sih. Kalau imamnya ditempatkan di lingkungan pribumi maka jama'ahnya sudah pasti orang pribumi pula. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan ada juga jama'ahnya yang berasal dari negara lain seperti ekspatriat dari India, Pakistan dan Bangladesh, yang biasa disingkat dengan istilah IPB.

Saya sangat bangga karena dapat mewakili negara sendiri. Secara strata sosial, pekerjaan imam di sini termasuk profesi yang istimewa, terhormat dan terpandang. 

Baik di kalangan pribumi maupun pendatang. Meskipun profesi imam kelihatan gampang, tetapi tidak banyak orang khususnya dari warga pribumi yang mampu ataupun terpilih menjadi mutawwa' (imam). Untuk bisa menjadi imam di negara anti-mainstream ini, kudu melewati beberapa tahapan seleksi dulu di Indonesia. 

Tanpa melewatinya, sepertinya bisa dibilang susah untuk menjadi imam di sini. Bahkan bisa dikatakan tidak pernah ada. Kalau pun ada sangat jarang, itu pun boleh jadi bukan status sebagai imam. 

Mengingat seluruh imam dari tanah air yang berada di UEA pasti sudah melewati proses seleksi yang panjang dan lulus. Bahkan, tampaknya setiap tahun skema tesnya itu semakin ketat dan selektif.

Kenapa nikmat? Selain alasan fundamental yang di atas, sang imam hanya bekerja sebagai imam saja. Dia juga tidak dibebani pekerjaan yang berhubungan dengan kebersihan masjid, toilet ataupun mengumandangkan azan. 

Bayangkan! Sang imam tidak perlu memeras keringat banting tulang seperti profesi lainnya. Guru, dokter, dosen, kuli bangunan, pengusaha, youTuber, influencer, dan lain sebagainya. Dia hanya duduk manis dan bebas mau ngapain saja di rumah sampai azan berkumandang. 

Pekerjaannya sangat santai, tetapi akhir bulan insyallah selalu mengalir dengan deras dan lancar. Menariknya, di sela-sela menunggu waktu salat, sang imam juga punya waktu yang luang untuk bermurajaah. 

Banyak di antara para penghafal Al-Qur'an yang tidak sempat muroja'ah karena sibuk dengan pekerjaan real life. Beda halnya dengan imam di UEA. Meskipun tidak diharuskan baca ini dan itu, tetapi si imam bisa meluangkan waktu kosongnya untuk lebih banyak muroja'ah. 

Bagi imam di sini, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam salat amat sangat mendukung. Tidak harus sih, cuma ini termasuk salah satu plus-nya lagi jika dibandingkan dengan perimaman di tanah air secara khusus. Kenapa? Lagi-lagi ini hipotesis saya ya. Kalau di sini bisa baca ayat dalam salatnya lebih panjang. Misal, dalam salat jahar atau Magrib, Isya' dan Subuh, bisa baca kurang lebih satu lembar atau dua halaman. Sehingga dalam jangka sepuluh hari, bisa selesai satu juz. 

Kalau dikalikan, dalam jangka sepuluh bulan sudah khatam. Itupun kalau konsisten. Kalau di tanah air masih jarang imam tetap yang bisa menerapkan seperti itu. Tentunya, bukan tanpa alasan. Selain karena kesiapan sang imam dan makmum, waktu juga kadang kurang mendukung. Karena buat suksesi itu, butuh persiapan yang tidak sedikit. 

Saya pribadi punya target dan cita-cita untuk bisa selalu mengkhatamkan hafalan Al-Qur'an dalam salat seumur hidup. Semoga tercapai dan langgeng ya. Karena Terhitung dari tahun 2010 hingga 2023 belum pernah mengkhatamkan hafalan saya dalam salat. Selalunya di luar salat. Mungkin di sini Allah memberikan kesempatan emas tersebut untuk saya.  Kenapa saya sejak lama mendambakan selalu mengkhatamkan Al-Qur'an dalam salat? Karena Nabi SAW pernah bersabda;

: . ( ).

Dari Abu Hurairah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bertanya kepada kami, "Inginkah salah seorang di antara kalian apabila kembali ke rumahnya mendapati tiga ekor unta betina yang hamil dan gemuk." Kami menjawab, "Tentu kami menyukainya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Tiga potong ayat yang kamu baca dalam salat adalah lebih utama daripada tiga ekor unta betina yang hamil dan gemuk." (HR. Muslim)

Kebayang kan betapa dahsyatnya keutamaan mengkhatamkan Al-Qur'an dalam salat?
Maulana Zakariyya Al Khandahlawi dalam kitabnya yang berjudul Fadhilah Amal menerangkan bahwa Al-Qur'an yang dibaca ketika salat adalah lebih baik daripada yang dibaca di luar salat, sehingga hal itu Nabi SAW bandingkan jauh lebih utama daripada unta betina yang hamil.

Kembali ke topik, awal-awal mengimami di sini, yang namanya masih baru, pasti ada rasa nerves ya. Setiap orang kudu mengalami itu kalau belum terbiasa apalagi di tempat baru dan di negara yang baru saja dikenali dan ditinggali. Takut saja karena yang di belakang kita salat adalah orang-orang Arab. 

Sang imam baru merasa kalau makmum Arab, hafalannya bagus-bagus sehingga dia takut salah ataupun lupa ayat yang dihafal. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, rasa grogi itu lambat laun hilang sendiri. 

Rasa deg-degan yang kerap muncul dulu ketika tampil di mihrab, sekarang tidak ada lagi karena sudah terbiasa. Anggapan imam terhadap makmumnya sudah lebih bersahabat dan rasa takut itu terkikis habis.

Satu bulan dua bulan kalau masih ada rasa nerves, itu masih lumrah. Asalkan jangan sampai terus-terusan rasa takutnya alias tidak kunjung hilang. Saya sendiri, hanya di awal-awal saja.

Sekitar tiga atau empat kali tampil salat. Setelah itu, aman-aman saja, karena saya menganggap orang yang di belakang alias makmumnya orang-orang biasa saja walaupun tidak menutup kemungkinan ada banyak di antara mereka yang hafalannya mutqin. 

Terkadang yang membuat rasa takut berlebihan itu karena muncul perasaan dalam hati; bahwa hafalan makmumnya lancar-lancar dan mutqin. Iya juga sih. Buktinya, pernah suatu ketika ada ustad kondang di Indonesia yang dia juga punya pondok tahfizh, beliau disuruh menjadi imam yang makmunya Syekh ternama dari Saudi. Saking gugupnya dengan perasaan yang tadi, akhirnya dia ada yang lupa dalam surat Al-Fatihahnya. 

Bayangkan! Kok bisa-bisanya lupa pada surat yang kerap dibaca tersebut? Maka dengan itu, saya selalu mengontrol perasaan karena hal tersebut sangat penting supaya tidak terjadi seperti kasus di atas. 

Sekian, semoga bermanfaat ya. Jangan lupa share agar manfaatnya lebih meluas. Oya, kira-kira pertanyaan apa lagi ya, yang membuat Anda penasaran seputar perimaman atau hal lain di Uni Emirate Arab? Silakan komen di bawah dan follow saya, ya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun