Mohon tunggu...
Damri Hasibuan
Damri Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Yang haus akan ilmu itu adalah para penuntut ilmu itu sendiri

Tulislah, maka kamu akan mengabadi!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Belajar Ikhlas dari Siti Hajar

7 Juli 2022   08:13 Diperbarui: 7 Juli 2022   08:15 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Kali ini Siti Hajar protes, tatkala suaminya meninggalkan dia dan Ismail anaknya yang masih kecil di padang pasir yang tak bertuan.

Seperti biasanya Ibarahim hanya bisa menduga bahwa ini akibat kecemburuan Sarah, istri pertamanya yang belum juga bisa memberinya keturunan.

Hajar mengejar Ibrahim, suaminya
dan berteriak,


 "Mengapa engkau tega meninggalkan kami disini, bagaimana kami bisa bertahan hidup?!" Keluh Siti Hajar

Ibrahim terus melangkah meninggalkan kekasih dan buah hatinya, tanpa menoleh, tanpa memperlihatkan air matanya yang meleleh.  

Remuk redam perasaan sang sandaran hati belahan jiwa. Terjepit antara pengabdian dan pembiaran.

Hajar masih terus mengejar sembari menggendong Ismail, Kali ini dia setengah berteriak, dan teriakannya menembus dinding langit, "Bang, Apakah ini Perintah Tuhanmu?"

Kali ini Ibrahim, sang Khalilullah, berhenti melangkah tatkala mendengar pertanyaan menohok itu.

Dunia seolah berhenti berputar, Malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam menanti jawaban Ibrahim.

Butir pasir seolah terpaku kaku, angin seolah berhenti mendesah, pertanyaan atau lebih tepatnya gugatan Hajar membuat semuanya terkesima. Tak terkecuali Ismail yang lugu. Terdiam dari tangisnya seolah ia mengerti perasaan sedih hati sang ibunda.

Ibrahim pun membalik arah ke belakang. Dari tempatnya berpijak, ia melihat sang istri yang hendak meraih tangannya agar jangan sampai ditinggal tanpa penjelasan.

Seketika keadaan berdua saling memandang.  Dalam hati Ibrahim muncul rasa sedih yang tak terhingga. Namun sejenak setelah itu, Ibrahim pun tersadar bahwa ia ingin menyambut perintah Tuhan. 

 "Iya!" Ucapnya dari kejauhan dengan suara yang lumayan kencang.

Yang tadinya Hajar mengejar, sekarang iapun terhenti dan terdiam, lantas meluncurlah kata-kata dari bibirnya yang mengagetkan semua Malaikat, butir pasir, angin dan alam semesta.

"Jikalau ini perintah Tuhanmu, pergilah! Tinggalkan kami di sini." Dengan nada sedikit tinggi, takut suami tak mendengarnya.


 Jangan khawatir! Allah akan menjaga kami." Pungkasnya lagi

Sang suami tidak pernah mengira akan jawaban istrinya yang ternyata mendukungnya. Makanya dia memilih diam. Ketika mendengarkan jawaban itu, dia pun beranjak pergi dari tempat yang sepi dan tandus itu. Meskipun hatinya bercampur sedih.

Satu sisi Ibrahim tak tega meninggalkan sang buah hati yang baru beberapa hari ia lahir. Ia merasa tidak pantas membiarkan istrinya yang butuh pendampingan dirinya karena merawat sang buah hati yang masih merah itu. Di tambah lagi tidak ada siapa-siapa yang bisa ia andalkan ketika pergi jauh.

Akhirnya, dilema itu punah dan berakhir. Persis setelah tuturan lisan Hajar yang dapat meneguhkan dan menentramkan jiwa Ibrahim. Betapapun Ibrahim sedih meninggalkan keluarga kecilnya, Ia berpikir toh ini sebuah pengabdian atas nama perintah Allah, bukan  semata pembiaran apalagi keinginan nafsu belaka.

Peristiwa Hajar dan Ibrahim adalah romantisme kehidupan yang sarat dengan nilai sejarah dan keberkahan yang terus mengabadi hingga anak cucu-cicit dan seterusnya, hingga sekarang.

Itulah Ikhlas yang sesungguhnya.
Dimana, ikhlas adalah wujud sebuah Keyakinan mutlak pada sang Maha Segalanya.

Ikhlas adalah kepasrahan, bukan mengalah, apalagi menyerah kalah tak berkutik.

Ikhlas itu adalah ketika engkau sanggup berlari melawan dan mengejar, namun engkau memilih patuh dan tunduk.

Ikhlas adalah sebuah kekuatan menundukkan diri sendiri, dan semua yang engkau cintai.

Ikhlas adalah memilih jalan-Nya, bukan karena engkau terpojok tak punya jalan lain.

Ikhlas bukan lari dari kenyataan. Ikhlas bukan karena terpaksa. Ikhlas bukan merasionalisasi tindakan, bukan juga mengkalkulasi hasil akhir.

Ikhlas tak pernah berhitung, tak pernah pula menepuk dada.

Ikhlas itu tangga menuju-Nya, trik mendengar perintah-Nya, cara mentaati-Nya. Ikhlas adalah Ikhlas itu sendiri.

Apakah belum cukup memahami apa itu ikhlas dari perginya Ibrahim dan kerelaan Hajar?

Sekarang saatnya, aku, kamu, serta kita semua tertunduk pasrah dengan Ikhlas menuju ridha Allah agar mencapai surga sebagai tujuan akhir.

Semoga kita menjadi lebih baik dan bermanfaat, penuh keikhlasan dan hanya berharap ridha dan rahmat Allah Swt.

Robbana Taqobbal Minnal Ikhlas wa kullal 'amaal)
(Ya Allah terimalah keikhlasan dan seluruh amalan kami...) Aamiin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun