Seketika keadaan berdua saling memandang. Â Dalam hati Ibrahim muncul rasa sedih yang tak terhingga. Namun sejenak setelah itu, Ibrahim pun tersadar bahwa ia ingin menyambut perintah Tuhan.Â
 "Iya!" Ucapnya dari kejauhan dengan suara yang lumayan kencang.
Yang tadinya Hajar mengejar, sekarang iapun terhenti dan terdiam, lantas meluncurlah kata-kata dari bibirnya yang mengagetkan semua Malaikat, butir pasir, angin dan alam semesta.
"Jikalau ini perintah Tuhanmu, pergilah! Tinggalkan kami di sini." Dengan nada sedikit tinggi, takut suami tak mendengarnya.
 Jangan khawatir! Allah akan menjaga kami." Pungkasnya lagi
Sang suami tidak pernah mengira akan jawaban istrinya yang ternyata mendukungnya. Makanya dia memilih diam. Ketika mendengarkan jawaban itu, dia pun beranjak pergi dari tempat yang sepi dan tandus itu. Meskipun hatinya bercampur sedih.
Satu sisi Ibrahim tak tega meninggalkan sang buah hati yang baru beberapa hari ia lahir. Ia merasa tidak pantas membiarkan istrinya yang butuh pendampingan dirinya karena merawat sang buah hati yang masih merah itu. Di tambah lagi tidak ada siapa-siapa yang bisa ia andalkan ketika pergi jauh.
Akhirnya, dilema itu punah dan berakhir. Persis setelah tuturan lisan Hajar yang dapat meneguhkan dan menentramkan jiwa Ibrahim. Betapapun Ibrahim sedih meninggalkan keluarga kecilnya, Ia berpikir toh ini sebuah pengabdian atas nama perintah Allah, bukan  semata pembiaran apalagi keinginan nafsu belaka.
Peristiwa Hajar dan Ibrahim adalah romantisme kehidupan yang sarat dengan nilai sejarah dan keberkahan yang terus mengabadi hingga anak cucu-cicit dan seterusnya, hingga sekarang.
Itulah Ikhlas yang sesungguhnya.
Dimana, ikhlas adalah wujud sebuah Keyakinan mutlak pada sang Maha Segalanya.
Ikhlas adalah kepasrahan, bukan mengalah, apalagi menyerah kalah tak berkutik.