Lirik ini justru menggambarkan saling mengorbankan diri untuk teman ketimbang mengorbankan teman. Sekalipun terluka karena perjuangan ini, dia akan berpartisipasi. Selain itu, pertemanan semacam ini menurut Trio Lamtama berasaskan harga diri sehingga mencuri pun tidak bakal mau. Simak saja lirik ini:
"378 (Pasal KUHP: mencuri) Sattabi majo disi (maaf kalau untuk itu),
Ada harga diri, mengantisipasi"
Sebagai orang Belitung yang sarat dengan gaya Melayu, ternyata lirik lagu ini sedikit banyak bercerita tentang Ahok sebagai perantau. Bertolak dari pantut Melayu, lirik ini bercerita:
"Horas, pohon pinang tumbuh sendiri.
Horas, tumbuhlah menantang awan.
Horas, biar kambing di kampung sendiri.
Horas, tapi banteng di perantauan."
Di Belitung mungkin Ahok belum apa-apa namun di perantauan Jakarta tiba-tiba berubah menjadi Banteng, kata Trio Lamtama lagi.
Ulasan diatas mungkin terlalu lebay dan menggembar-gemborkan kelebihan ‘Medan-Ahok-Teman Ahok’. Baik saya akan bongkar kelemahan “Anak Medan’. Masih ingat cerita film “Naga Bonar”? versi pertama ya bukan yang kedua. Film ini juga memotret ke-khas-an komunitas Medan berikut dengan kelemahannya. Pertama, betapa garang dan kesatrianya Bang Naga Bonar. Tapi dibalik keperkasaannya itu ternyata bang Naga takut sama Emaknya. Sulit sekali diterima akal bagaimana mungkin si Pemberani ini pada saat bersamaan menjadi penakut dan takutnya sama si Emak yang menyimbolkan ketidakberdayaan. Anak Mamak adalah julukan yang menakutkan bagi Anak Medan. Kedua, bang Naga itu sangat ‘kampungan’ jauh dari kesan modernitas. Tutur katanya jauh dari kesan intelektual, bandingkan dengan bang Pohan.
Tapi tunggu dulu. Ahok juga ‘penakut’. Konon dia takut sama Tuhan-nya dan tentu saja Ahok harus takut sama konstituen-nya. Tapi Ahok bersikeras sekalipun takut sama konstituen-nya dia hanya tunduk pada Konstitusi bukan Konstituen. Oke lah lae. Omongan Ahok juga ‘kampungan’ tapi tahukah anda bahwa dibalik ‘kampungan’-nya bang Naga Bonar tersebunyi ‘ketulusannya”?