Kedua, Koalisi Lawan Disinformasi, yang dipimpin oleh Perludem, sebuah LSM yang fokus pada pemilu bersama MAFINDO dan Cekfakta.com --- garda terdepan pemeriksa fakta Indonesia.
Dan beberapa organisasi yang berfokus pada integritas informasi selama pemilu.
Namun, hubungan antara masyarakat sipil dan platform teknologi harus lebih kolaboratif. Platform harus terlibat secara bermakna dengan kelompok masyarakat sipil lokal, bukan hanya cuma sekedar prasyarat, tetapi sebagai mitra dalam menjaga proses demokrasi. Komitmen itu harus ditunjukkan bukan hanya dengan menandatangani kesepakatan, tetapi memastikan terlaksana di lapangan. Ini berarti bersama-sama menciptakan strategi untuk mengatasi misinformasi, berinvestasi dalam inisiatif pengecekan fakta lokal, dan memastikan bahwa kebijakan platform diinformasikan oleh realitas di lapangan.
Mengukur Respons Platform
Untuk membangun akuntabilitas, kita harus dapat mengukurnya. Pengembangan metrik yang jelas untuk menilai respons platform terhadap tantangan terkait pemilu sangat penting. Metrik ini dapat mencakup kecepatan dan transparansi penghapusan konten, keakuratan upaya pengecekan fakta, dan respons terhadap laporan misinformasi pengguna.
Pada tahun 2024, SAFEnet merilis laporan berjudul "Kebebasan atau Kebencian? Akuntabilitas Platform Media Sosial dalam Penyebaran Ujaran Kebencian terhadap Kelompok Rentan pada Pemilu 2024"
Temuan:
* Sebanyak 30 konten mengandung ujaran kebencian terhadap kelompok rentan dan 35 konten mengandung kata-kata kasar terhadap kelompok tersebut. Total terdapat 65 konten yang mengandung ujaran kebencian dan kata-kata kasar terhadap kelompok rentan pada Pemilu 2024.
* Sebanyak 66,7% konten ujaran kebencian yang ditemukan adalah konten stigmatisasi, 30% konten advokasi kekerasan, dan 3,3% konten mengandung stigmatisasi dan advokasi kekerasan.
* Perempuan tercatat sebagai kelompok yang paling sering menjadi sasaran ujaran kebencian dan kata-kata kasar, dengan persentase mencapai 48,3%. Disusul oleh LGBTIQ+ (29%), Syiah dan Ahmadiyah (13,8%), Tionghoa (12,9%), dan Rohingya (9,6%).
* Ujaran kebencian paling banyak diutarakan oleh pelaku nonpolitik dengan persentase 89,2% dari total konten yang dianalisis. Berikutnya adalah akun anonim (6,2%) dan pelaku politik (4,6%).