Mempertahankan tradisi keagamaan, agar tidak punah disapu gelombang modernisasi, adalah cikal bakal yang mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama (NU).
Sekarang, NU sudah menuntaskan usia 1 Abad. Tentu dengan segala riak dan gelombang pasang, hantaman dan benturan dari dalam dan luar NU, mampu dilalui dengan baik.
Malah, berbeda pendapat sudah dianggap tradisi dalam organisasi ini. Namun, muru'ah, jadi faktor utama dalam membangun NU.
Kepemimpinan di jajaran ulama yang ditempatkan di Syuriyah, adalah bukti betapa fatwa ulama, kisah dan maunahnya masih menjadi energi kekuatan dalam organisasi.
Hanya pertimbangan moral yang mampu menempatkan seorang ulama itu di jajaran Syuriyah di tingkat PBNU, PWNU dan PCNU.
Tak ada perebutan kekuasaan di sini, selain dari pertimbangan keulamaan seseorang.
Beda dengan Tanfidziah yang sering terjadi konflik. Karena Tanfidziah adalah pelaksana dari kebijakan Syuriyah.
Para ulama mumpuni, alim di kajian berbagai hal, adalah tokoh yang bisa memimpin Syuriyah ini.
Tokoh yang komitmen dengan tradisi, selalu didatangi jamaah dan santri. Dia tak banyak keluar, kecuali untuk kepentingan umat dan organisasi.
Saking sakralnya kekuatan Syuriyah ini, pertama kali diberikan ke KH Hasyim Asy'ari. Dinobatkan sebagai Rais Akbar, bukan Rais A'am.
Kenapa, karena ketokohan KH Hasyim Asy'ari, faktor utama dalam kehadiran organisasi ini.
Dari kalwat yang panjang, datang bahasa isyarat dari gurunya, KH Cholil Bangkalan lewat untai tasbih dan sebuah tongkat.
Sprite kiai besar berdua ini jadi magnet luar biasa di kalangan NU. Hingga saat ini tiap harinya ratusan umat menziarahi makamnya di Jombang dan Bangkalan.
Begitu juga dengan KH Bisri Syamsuri, KH Wahab Hasbullah dan kiai besar lain, tetap menjadi sumber energi dalam membesarkan NU.
Di Sumbar terkenal dengan banyak Buya. Sayang, buya dulu hanya sebagian kecil yang terlibat dalam pengurus NU.
Momen 1 Abad NU, kondisi ini harus dijadikan pijakan oleh pengurus NU Sumbar. Menjadikan ulama mumpuni sebagai sumber kekuatan dan berkah dalam mengelola organisasi.
Ulama besar di Minangkabau dulunya, banyak ternama dan tersebut lewat banyak jemaah, dan sebagian lewat Perti.
Contoh, Syekh Muhammad Yatim yang terkenal dengan Tuanku Mudiak Padang, lama memimpin pesantren Luhur Kalampaian, Ampalu Tinggi.
Namanya harum, tanpa ada embel-embel di badannya. Dia tidak tersebut dalam NU, tidak pula di Perti.
Tapi jemaahnya banyak. Dan hingga kini tak pernah putus masyarakat menziarahi makamnya di Tandikek.
Begitu juga dengan Syekh Tuanku Sidi Telor. Terkenal jago debat, banyak ulama besar Padang Pariaman berada dalam kelompok diskusinya.
Lain pula Syekh Musa Tapakis. Dari trah ini lahir pesantren dan ulama besar di Pakandangan.
Tuanku Shaliah di Sungai Sariak lebih populer gelarnya ketimbang namanya. Begitu keramat dan "saktinya" ulama yang satu ini.
Nah, menyambut abad kedua NU, sudah saatnya sentral kepemimpinan itu dikembalikan kepada ulama yang punya pengaruh dan jemaah di tengah masyarakatnya.
Ulama yang selalu ikhlas dalam bersosial. Tak mengharap apa-apa dari dakwahnya, selain dari menyebar kaji dan ilmu pengetahuan dunia akhirat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H