Habis masa cabai, biasanya ayah mengganti dengan Tananam lain. Ada jagung, sering juga tanaman kacang tanah, dan tanaman lain.
Dan bila air irigasi kembali normal, ayah memulai pula menanam padi. Sawah itu merupakan hak ayah untuk digarap sepanjang dia memangku jabatan "labai" di kaumnya, Koto Runciang.
Orang kampung menyebutnya dengan sawah wakaf. Hasilnya, sepertiga untuk surau, dua pertiga untuk ayah yang menggarap.
Begitu aturan tak tertulis dari penggarapan sawah wakaf, milik masyarakat. Baik ketika ditanami padi maupun ketika diolah jadi ladang.
Di usia anak-anak itu, kesenangan saat ke sawah dan ke ladang, adalah makan bersama di sawah dengan nasi bawaan amak dari rumah.
Begitu ayah dan amak mengajari saya untuk hidup mandiri di kemudian hari. Hanya saja, bertani dan bertulang itu tak pernah menyerap dalam karir saya selanjutnya.
Sekedar membangun kebersamaan dengan kawan wartawan, saya ikut mendirikan kelompok tani. Wartani namanya dua tahun yang lalu.
Di sebuah kampung di Kecamatan V Kampung Dalam, kami berladang jeruk lemon dan jeruk nipis. Belum menghasilkan, tapi kami ingin sebenarnya merasakan kehidupan petani itu sendiri.
Wartani, adalah gabungan sejumlah wartawan dan masyarakat kampung dalam bertani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H