Saya terlahir dari ayah dan ibu yang berprofesi petani. Dan sejak kecil, ketika usia sekolah SD, saya sering diangkut ke sawah dan ladang oleh ayah.
Meskipun petani penggarap sawah dan ladang, ayah saya terkenalnya sebagai seorang tukang bangunan. Artinya, dua profesi ini melekat dalam diri ayah. Bila tak ada kerajaan membuat bangunan, ayah menghabiskan waktunya di sawah atau di ladang.
Kepandaian tukang bangunan ini langsung didapatkan ayah dari ayahnya pula. Sampai ayah meninggal dunia 2014, profesi tukang ini tetap melekat dalam dirinya.
Sayang, kepandaian ayah itu tak mampu melekat ke saya. Padahal, ayah ingin sebenarnya saya pandai terhadap ilmu yang dia punyai itu.
Berkali-kali dan sering saya ikut ayah bekerja di rumah orang, ikut jadi kulinya, namun tak pernah bisa saya bertulang itu.
Begitu juga bertani. Sering saya ikut ke sawah dan ke ladang, ikut menyabit padi, bertanam, dan juga membajak sawah dengan kerbau, tapi setelah ayah pergi selamanya, profesi itu tak bisa melekat dalam diri saya.
Ke ladang, saya juga sering ikut dan membantu pekerjaan ayah yang sering bekerjasama dengan kawan berladang cabai.
Ladang cabai di Nagari Lurah Ampalu, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman ini panennya dua kali dalam sepekan, yakni Selasa dan Jumat.
Pulang sekolah, saya langsung ke ladang yang kala itu sawah yang dijadikan ladang oleh ayah bersama kawannya.
Cabai yang dipetik Jumat, Sabtunya diangkut ke Pasar Ampalu. Sedang yang dipetik Selasa untuk dijual ke Pasar Sungai Sariak Rabu, hari pekannya Sungai Sariak.
Habis masa cabai, biasanya ayah mengganti dengan Tananam lain. Ada jagung, sering juga tanaman kacang tanah, dan tanaman lain.
Dan bila air irigasi kembali normal, ayah memulai pula menanam padi. Sawah itu merupakan hak ayah untuk digarap sepanjang dia memangku jabatan "labai" di kaumnya, Koto Runciang.
Orang kampung menyebutnya dengan sawah wakaf. Hasilnya, sepertiga untuk surau, dua pertiga untuk ayah yang menggarap.
Begitu aturan tak tertulis dari penggarapan sawah wakaf, milik masyarakat. Baik ketika ditanami padi maupun ketika diolah jadi ladang.
Di usia anak-anak itu, kesenangan saat ke sawah dan ke ladang, adalah makan bersama di sawah dengan nasi bawaan amak dari rumah.
Begitu ayah dan amak mengajari saya untuk hidup mandiri di kemudian hari. Hanya saja, bertani dan bertulang itu tak pernah menyerap dalam karir saya selanjutnya.
Sekedar membangun kebersamaan dengan kawan wartawan, saya ikut mendirikan kelompok tani. Wartani namanya dua tahun yang lalu.
Di sebuah kampung di Kecamatan V Kampung Dalam, kami berladang jeruk lemon dan jeruk nipis. Belum menghasilkan, tapi kami ingin sebenarnya merasakan kehidupan petani itu sendiri.
Wartani, adalah gabungan sejumlah wartawan dan masyarakat kampung dalam bertani.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI