Lecut tangan membuat bejibun kader wartawan yang lahir dari gemblengannya. Dia juga salah seorang pencetus lahirnya PWI di Kota Bukittinggi.
Saya sering membuat berita di redaksi. Datang dari daerah, tentu sekalian belajar banyak dari seorang wartawan hebat dan idealis.
Sementara, Yusfik Helmi Datuk Yang Sati, Ali Nurdin, disapa buya oleh senior dan yunior di redaksi.
Ada Pak Bagindo, seorang tukang foto yang masuk redaksi. Hasil bidikannya tak kalah dengan wartawan muda. Pak Bagindo sudah tua, tapi masih eksis naik Vespa dari Pariaman ke Padang.
Sayang, Media Sumbar nasibnya hampir sama dengan media yang didirikan Infai sebelumnya.
Orang Minang bilang, hidup segan mati tak pula mau. Artinya, sesuai situasi keuangan koran, semakin lama semakin tak sanggup membiayai operasionalnya.
Dengan kondisi itu, saya pun ditawari sebuah Tabloid Mingguan. Publik namanya. Pemiliknya juga wartawan senior, yang sempat jadi anggota dewan Sumbar.
AA Datuk Rajo Djohan namanya. Ketika datang ke redaksi sambil membawa surat lamaran, Pak Datuk ini langsung menerima saya, lantaran dia tahu kalau saya hasil didikan Infai.
Sempat dua tahun jadi perwakilan Publik di Pariaman, 2005-2007, akhirnya seorang kawan yang saya kenal di Padang Pos, Gusnaldi Saman mengajak saya masuk Singgalang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI