Kondisi ini jauh beda dengan presiden-presiden sebelum Jokowi, yang cenderung lebih formal saat hadir di tengah komunitas sarungan.
Dan memang sudah menjadi tradisi setiap kali muktamar NU, yang membuka adalah Presiden, dan menutup Wapres.
Sepertinya, NU mengajarkan politik kebangsaan yang santun kepada semua anak bangsa. Biduk lewat, kiambang bertaut betul-betul dinikmati dan diresapi oleh NU.
Ini tercermin ketika muktamar ke-31 di Solo, Jawa Tengah tahun 2004. Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang sempat maju jadi Cawapres mendampingi Megawati Soekarnoputri kalah oleh pasangan SBY-JK.
Presiden SBY dengan gagahnya datang ke arena muktamar, dan membuka secara resmi. Begitu juga Wapres JK juga datang untuk menutup helat NU.
Presiden Joko Widodo, tampak beda dari pemimpin sebelumnya. Mungkin karena dia dari sipil, sehingga lebih senang dengan tampilan yang menyesuaikan keadaan yang sedang dihadapinya.
Bagi ulama NU dan santrinya, sarung dan memakai sarung dalam helat besar seperti muktamar, Konbes misalnya, tidak asing dan tidak ganjil, karena memang pakaian keseharian ulama.
Secara tak langsung, agaknya Presiden Jokowi menyampaikan agar warga NU kembali membudayakan tradisinya sendiri.
Ya, tradisi sarung dalam setiap momen apapun juga. Apalagi momen itu NU sendiri yang membuat, tentu tak salah bila semua peserta memakai sarung.
Di balik sarung presiden, sebuah buku karya KH Lukman Hakim, saat menulis tentang Presiden Gus Dur dulu, mengingatkan saya akan fenomena Jokowi yang memakai sarung di Lampung.
Banyak cerita yang lahir dari balik sebuah sarung. Banyak hikmah yang keluar dari ulama yang senantiasa pakai sarung, dan tentu banyak canda dan tawa ketika mendiskusikan perjalan bangsa ini.