Mengelola organisasi tidak ada jam kerjanya. Nyaris siang malam dan 24 jam. Sangat jauh bedanya dengan mengelola pekerjaan lainnya yang punya jadwal masuk dan pulang kerja yang sudah dipatok dari awal.
Itu yang saya kembangkan di organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pariaman. Dipercaya memimpin organisasi wartawan tertua itu periode 2018-2021, membuat banyak dinamika yang saya kelola.
Konferensi V PWI 2018, saya tidak berpikir untuk maju jadi ketua. Karena memang kurang punya syahwat politik dalam setiap kali suksesi kepemimpinan dalam organisasi yang saya masuki.
Aklamasi yang membuat saya jadi tercatat sebagai orang yang pernah jadi ketua PWI di daerah yang terkenal dengan "cimeehnya" ini.
Dalam tafsiran saya, aklamasi ini terjadi, lantaran tak ada lagi kawan wartawan yang mau memimpin organisasi ini. Meskipun ada yang senior dari saya, tapi kemauannya untuk jadi ketua tak ada.
Sementara, konferensi menuntut harus ada ketua. Ikhlas Bakri yang sudah dua periode berturut-turut jadi ketua tak boleh lagi maju dan dijadikan ketua. Saya sedang menjabat sekretaris, tak ada lagi pilihan untuk mengelak dari jabatan ketua.
Makanya, tak ada visi misi yang saya sampaikan dalam konferensi itu, selain pidato singkat saat palu usai diketok oleh pimpinan sidang yang menyatakan ketua PWI itu saya.
Ya, pidato singkat ketika diminta sebelum rapat formatur. "Saya bukanlah orang hebat. Butuh bantuan dari seluruh wartawan senior untuk menjalankan organisasi ini," kata saya.
Pertama kali dalam penyusunan struktur pengurus masa bakti tiga tahun itu, saya merasa dikerjain oleh tim formatur lain. Dua wakil ketua diberikan ke Singgalang, Darmansyah dan Agus Suryadi.
Merasa dikerjain itu terasa, saat SK kepengurusan keluar. Sebab saya juga dari Singgalang. Lalu, SK pengurus ini pun lambat terbitnya dari PWI Sumatera Barat.