Mohon tunggu...
Damae Wardani
Damae Wardani Mohon Tunggu... broadcaster, MC -

"Write to look for the meaning of life." Tinggal di http://jalandamai.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Siram Api Permusuhan dengan Air Kedamaian, Wujud Cinta Semen Indonesia untuk Negeri

15 Juli 2015   03:33 Diperbarui: 15 Juli 2015   03:33 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lama tak bersua di kompasiana. Di postingan kali ini saya ingin menguatkan diri sendiri sekaligus segelintir manusia yang masih memiliki hati nurani. Bahwa segala persepsi tentang sesuatu pasti bermuara pada rasa percaya, dan kepercayaan bermula dari kebenaran yang diyakini. Sayangnya kebenaran itu seperti uang logam, bergantung sisi mana yang dilihat: satu (sebagian) atau dua alias keseluruhan.

Apalagi hari ini manusia kian latah berkat mudahnya akses informasi. Latah untuk memercayai sesuatu tanpa mencari tahu sisi lain dari satu sisi yang pertama dilihat. Latah untuk menghujat sesuatu tanpa ia paham apa yang sebenarnya dihujat. Latah untuk mengolok-olok, menertawakan, membenci, menulis petisi, bahkan membuat sebuah gerakan anti-blablabla; dengan bermodal "katanya".

Dosen Jurnalistik di kampus saya sering nyindir, "Ka-ta-nya kok dipercaya! Berita itu lebih tajam dari pedang. Sekali saja berita itu salah, bukan hanya membunuh narasumber, media, dan wartawan, tapi berbuah fitnah yang tersebar hingga ujung dunia". Contohnya bisa dilihat dengan gamblang di film Korea berjudul Pinokio.

Perlu contoh real? Ini. Akan saya urai. Kisah cinta dari Semen untuk Indonesia.

-----

Netizen mana yang tidak tahu kalau Semen Indonesia sedang menikmati lika-liku pendirian pabrik Semen Rembang? Jika Anda mengikuti postingan blog ini, tentu bisa dilihat entry beberapa bulan lalu didominasi judul "Polemik Rembang: bla bla bla". Tidak heran juga kalau Anda kemudian menemukan link blog saya dishare ulang dengan rentetan komentar pedas, sinis, kadang juga anarkis.

Begitulah. Tak masalah buat saya. Sudah biasa ditelikung kawan, dibenci dan dijauhi kawan, hingga putus perkawanan gegara sesuatu yang tak saya ketahui alasan pastinya. Hanya saja, kondisi itu tiba-tiba membuat saya berpikir: mengapa manusia hari ini lebih suka memakan bangkai saudara sendiri? Bukankah sudah diwarning dalam QS. Al Hujurat ayat 12, "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha penyayang".

Ngenes. Miris.

Berbagai upaya pihak kontra memutarbalikkan kebenaran, menjungkirbalik fakta, hingga merekayasa cerita bak sinetron stripping, dilakukan semata demi menolak pendirian pabrik Semen Rembang. Padahal jelas-jelas semua yang disulut pihak kontra itu terpatahkan bukti-bukti nyata yang sudah teruji kebenarannya. Lebih miris lagi, masyarakat kebanyakan menelan mentah-mentah apa yang disampaikan pihak kontra. Tanpa difilter sama sekali. Malah jika diinfokan kabar pembanding, dengan berlenggang mereka menghujat (saya): dasar blogger bayaran!

Satu penyebab kenapa saya lebih memilih cek silang hingga hati berpihak ke PT SI berawal dari ketidaksukaan dengan logika mainstream yang kerap berlaku pada tatanan sosial kita. Yang lemah cenderung dibela, sebaliknya yang kuat selalu diasosiasikan negatif. Dalam konteks konflik di Rembang, pemerintah (Gubernur Jateng) diidentikan penguasa yang semena-mena, tidak adil, dlsb. Sedang korporasi (PT SI) sebagai kapitalis, serakah, profit oriented, dlsb.

Saya jadi teringat seorang kawan semasa di Aliyah dulu yang babak belur dipukuli warga gara-gara sepedanya nyenggol anak kecil yang tidak tengok kanan kiri, padahal sepeda sang teman sudah melambat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun