Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Aroma "Playing Victim" di Kasus Fitnah UAS

15 April 2019   11:20 Diperbarui: 15 April 2019   12:21 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang warga negara yang baik, tentu akan melapor ke polisi jika mengetahui adanya  tindak kejahatan, terlebih lagi jika kejahatan itu menimpa dirinya sendiri. Jika ada seseorang yang mengaku jadi korban kejahatan tetapi tidak mau melapor ke polisi dan sebaliknya malah menyebarkan prasangka buruk terkait kinerja kepolisian, tentu patut dipertanyakan pengakuannya.

Pandangan itu bisa digunakan untuk menilai kasus Said Didu yang mengaku akun Twitter-nya dibajak orang lain, namun tidak mau melaporkannya ke polisi. Sebaliknya dia malah mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan persepsi buruk terhadap kinerja kepolisian. 

"Kalau dilaporkan malah kita enggak bisa bermain media sosial. Karena identitas pribdi kita diambil alih dan faktanya tidak pernah bisa kembali atau diungkap siapa melakukan pengambillalihan tersebut".  [1]

Yang lebih serius lagi, dari akun Twitter milik Said Didu yang katanya dibajak itu muncul video yang isinya dinilai sebagai fitnah terhadap Ustadz Abdul Shomad atau UAS. Intinya, lewat video itu UAS disebut mendapat gratifikasi berupa rumah megah.

Eh...tapi pagi ini, saat saya sambangi akun Twitter @saididu cuitan itu sudah tidak ada lagi. Yang ada retweet cuitan Mega Simarmata yang menyerang Jokowi lewat sebuah video. Retweet tertanggal 13 April 2019 Pk 17.34. Lantas siapa yang menghapus cuitan yang katanya memfitnah UAS itu?

Jadi, ada dua persoalan dalam kasus Said Didu itu. Pertama, yang membajak akun Twitter-nya tidak diketahui. Kedua, ada pernyataan yang dinilai fitnah terhadap UAS. Kasus ini terjadi hanya beberapa hari menjelang pemilu 17 April besok, dan menyusul manuver politik dukungan UAS kepada Prabowo. 

Jadi, dilihat dari fakta itu, pembajakan akun Twitter itu tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik menjelang Pilpres. Ini diperkuat dengan pernyataan tuduhan bahwa pelaku pembajakan akun itu adalah pihak kubu 01 seperti dinyatakan oleh BPN Prabowo-Sandi. Sebuah tuduhan yang begitu cepat lahir tanpa didasari fakta hasil investigasi forensik IT.

Jika dilihat dari aksi dan reaksi yang bermunculan dari kasus pembajakan akun ini, tampak jelas targetnya adalah munculnya citra buruk terhadap kubu 01 yang dituduh sebagai pembajak. Sebaliknya, citra positif dimunculkan atas Said Didu dan UAS sebagai korban. Hal ini dimungkinkan karena fakta investigasi forensik IT yang bisa membuktikan benar tidaknya ada pembajakan dan siapa pelakunya, belum ada.

Jika benar, Said Didu yang mengaku akunnya dibajak itu menginginkan kebenaran dan hukum ditegakkan terhadap pelaku pembajakan, dia tentu akan melaporkan hal itu ke kepolisian. Fakta bahwa dia tidak mau melapor dengan alasan subjektifnya, bisa saja menunjukkan adanya sesuatu yang sengaja disembunyikan agar kasus ini sekedar ramai tanpa ada penyelesaian.

Sikap yang ditunjukkan Said Didu dan tuduhan yang dilontarkan BPN Prabowo-Sandi bahwa kubu 01 ada di balik aksi pembajakan akun ini, jelas menunjukkan kasus ini sengaja dijadikan alat untuk menyerang kubu 01. Hal ini sekaligus digunakan untuk mendongkrak citra UAS yang digambarkan telah difitnah dengan keji, setelah mendukung Prabowo.

Sebenarnya, dengan sikap Said Didu yang tidak mau melaporkan kasus pembajakan akun dan malah mengeluarkan pernyataan yang memunculkan prasangka adanya kinerja buruk kepolisian, juga tuduhan terhadap lawan politiknya, dia bisa terkena delik hukum. Hanya saja, hingga kini belum ada yang melaporkan dia ke polisi.

Aroma Permainan Playing Victim

Beberapa hari menjelang pencoblosan 17 April ini, selain kasus Said Didu, memang ada beberapa manuver politik dari beberapa tokoh atau yang dianggap tokoh atau yang ingin dianggap tokoh, dengan menyatakan dukungan terhadap salah satu pasangan capres-cawapres. Ada yang memakai bahasa langit, ada yang memakai bahasa pondok, ada pula yang memakai bahasa gak jelas.

Tentunya, manuver politik semacam itu diharapkan punya gaung agar massa di akar rumput terpengaruh dan mengikuti langkah tokoh mereka. Sampai di tahap ini, gaung manuver politik itu dinilai berperan penting.

Jika gaung itu ternyata tidak sesuai yang diharapkan, sehingga masyarakat tidak terpengaruh atau terusik, tentu harus ada langkah lanjutan. Di sinilah, muncul berbagai upaya agar gaung itu membesar sehingga masyarakat dipaksa mendengarnya. Ada yang dengan menjadikannya trending topik di Twitter, ada yang menjadikannya berita utama di media pemberitaan dan medsos, ada juga yang menyebarkan lewat YouTube.

Jika ternyata usaha itu kurang berhasil juga, bisa saja dimunculkan permainan playing victim untuk mendongkrak citra jagoannya sehingga jadi perhatian dan mendapatkan simpati. Bukankah playing victim ini terlalu sering dipakai di perpolitikan di tanah air?

Yang dimaksud playing victim dalam tulisan ini adalah sebuah upaya membentuk citra pada seorang tokoh, bahwa dia telah dizalimi. Tujuannya adalah munculnya simpati massa terhadap tokoh tersebut sehingga mendapatkan dukungan dari khalayak luas. Ini definisi sederhana dan mungkin sudah banyak yang mengetahuinya.

Kasus pembajakan akun medsos yang menimpa beberapa figur politik bisa dinilai masuk kategori permainan playing victim ini. Munculnya kasus suparman berkancut merah dan sejenisnya, memang tidak bisa serta merta masuk kategori ini. Tetapi aksi sebelumnya yang disebut sebagai kasus salah posting akibat akun ganda, bisa masuk kategori playing victim.

Sebagai contoh, satu akun memposting pernyataan yang menjelekkan seorang tokoh. Akun diketahui milik seorang politisi pendukung tokoh itu. Dengan postingan itu, dia berharap kubu lawan yang dituduh mengeluarkan ujaran kebencian dan fitnah. Namun, beberapa saat kemudian muncul pernyataan bahwa akunnya dibajak.

Ternyata, hasil investigasi forensik netizen menunjukkan bahwa sebenarnya dia salah posting. Seharusnya, pernyataan yang menjelekkan tokoh itu di-posting lewat akun milik dia yang lain tapi keliru di-posting lewat akun resmi miliknya. 

Walaupun tidak sama persis, dalam kasus pembajakan akun Said Didu, ada kemungkinan disusupi pola permainan semacam itu. Ini tidak berarti aksi pembajakan itu dilakukan si pemilik akun tetapi bisa oleh pihak lain yang membuat permainan playing victim itu.

Harus diakui, reaksi sesaat yang bisa muncul adalah penilaian bahwa pembajak akun itu pastilah berasal dari kubu lawan politik Said Didu. Inilah penilaian yang memang diharapkan muncul, sehingga lahir sikap simpati terhadap pemilik akun dan tokoh yang didukungnya. Sebaliknya, terhadap pihak yang dianggap sebagai pembajak yang jahat, timbul sikap antipati.

Pertanyaannya adalah apakah sebuah akun medsos ternama dengan pengamanan berlapis seperti Twitter, begitu mudah dibajak? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus dilakukan investigasi forensik IT yang kredibel. Tentu itu perlu waktu, dan tentu saja juga tidak bisa mengabaikan peran Twitter sebagai pengelola.

Di sinilah waktu menjadi penting, karena masalah ini terkait dengan pemilu yang tinggal tiga hari lagi. Selama waktu ini, upaya mencitrakan bahwa pembajakan akun dilakukan lawan politik Said Didu dan UAS, bisa dijalankan dengan gencar, dengan membuat pernyataan ke media pemberitaan, TT di Twitter, atau video di YouTube. Semua yang disebut telah dilakukan oleh Said Didu dan kelompok pendukung Prabowo.

Dengan analisis sederhana ini, tujuan pembajakan akun itu bisa dinilai sebagai upaya memperkuat gaung manuver dukungan politik UAS terhadap Prabowo. Namun, belajar dari kasus yang lain, seperti hoax Ratna Sarumpaet, kasus pencoblosan ilegal di Selangor, juga playing victim beberapa tokoh, masyarakat pastilah sudah tidak mudah terpengaruh lagi.

Sebaliknya, munculnya kasus ini  bisa dinilai sebagai fakta bahwa dukungan UAS ke Prabowo itu tidak terlalu mendapat perhatian. Mungkin karena itu, dimunculkan serangan terhadap UAS lewat akun Twitter Said Didu, yang disebut dibajak itu. Dengan begitu, masyarakat kembali menoleh ke UAS karena simpati.

Ada baiknya kita memang tidak terlalu menggubris permainan bajak akun medsos itu. Sampai kini kita belum tahu mahkluk macam apa mereka itu, bakteri tipe 01, bakteri tipe 02, atau bakteri tinja. Namun yang pasti, aroma permainan playing victim itu sangat menyengat baunya. Andai saja bisa diketahui siapa pelakunya.

Salam waras saja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun