Aroma Permainan Playing Victim
Beberapa hari menjelang pencoblosan 17 April ini, selain kasus Said Didu, memang ada beberapa manuver politik dari beberapa tokoh atau yang dianggap tokoh atau yang ingin dianggap tokoh, dengan menyatakan dukungan terhadap salah satu pasangan capres-cawapres. Ada yang memakai bahasa langit, ada yang memakai bahasa pondok, ada pula yang memakai bahasa gak jelas.
Tentunya, manuver politik semacam itu diharapkan punya gaung agar massa di akar rumput terpengaruh dan mengikuti langkah tokoh mereka. Sampai di tahap ini, gaung manuver politik itu dinilai berperan penting.
Jika gaung itu ternyata tidak sesuai yang diharapkan, sehingga masyarakat tidak terpengaruh atau terusik, tentu harus ada langkah lanjutan. Di sinilah, muncul berbagai upaya agar gaung itu membesar sehingga masyarakat dipaksa mendengarnya. Ada yang dengan menjadikannya trending topik di Twitter, ada yang menjadikannya berita utama di media pemberitaan dan medsos, ada juga yang menyebarkan lewat YouTube.
Jika ternyata usaha itu kurang berhasil juga, bisa saja dimunculkan permainan playing victim untuk mendongkrak citra jagoannya sehingga jadi perhatian dan mendapatkan simpati. Bukankah playing victim ini terlalu sering dipakai di perpolitikan di tanah air?
Yang dimaksud playing victim dalam tulisan ini adalah sebuah upaya membentuk citra pada seorang tokoh, bahwa dia telah dizalimi. Tujuannya adalah munculnya simpati massa terhadap tokoh tersebut sehingga mendapatkan dukungan dari khalayak luas. Ini definisi sederhana dan mungkin sudah banyak yang mengetahuinya.
Kasus pembajakan akun medsos yang menimpa beberapa figur politik bisa dinilai masuk kategori permainan playing victim ini. Munculnya kasus suparman berkancut merah dan sejenisnya, memang tidak bisa serta merta masuk kategori ini. Tetapi aksi sebelumnya yang disebut sebagai kasus salah posting akibat akun ganda, bisa masuk kategori playing victim.
Sebagai contoh, satu akun memposting pernyataan yang menjelekkan seorang tokoh. Akun diketahui milik seorang politisi pendukung tokoh itu. Dengan postingan itu, dia berharap kubu lawan yang dituduh mengeluarkan ujaran kebencian dan fitnah. Namun, beberapa saat kemudian muncul pernyataan bahwa akunnya dibajak.
Ternyata, hasil investigasi forensik netizen menunjukkan bahwa sebenarnya dia salah posting. Seharusnya, pernyataan yang menjelekkan tokoh itu di-posting lewat akun milik dia yang lain tapi keliru di-posting lewat akun resmi miliknya.Â
Walaupun tidak sama persis, dalam kasus pembajakan akun Said Didu, ada kemungkinan disusupi pola permainan semacam itu. Ini tidak berarti aksi pembajakan itu dilakukan si pemilik akun tetapi bisa oleh pihak lain yang membuat permainan playing victim itu.
Harus diakui, reaksi sesaat yang bisa muncul adalah penilaian bahwa pembajak akun itu pastilah berasal dari kubu lawan politik Said Didu. Inilah penilaian yang memang diharapkan muncul, sehingga lahir sikap simpati terhadap pemilik akun dan tokoh yang didukungnya. Sebaliknya, terhadap pihak yang dianggap sebagai pembajak yang jahat, timbul sikap antipati.