Membantah pendapat bahwa kelompok Islam garis keras ada di kubu pasangan calon presiden nomor urut 02, terasa sia-sia. Fakta seputar itu ada sejak sebelum pilpres, yang juga tampak jelas pada gelaran Pilkada DKI Jakarta lalu. Simbiosa yang terjalin antara Prabowo-Sandi dengan kelompok itu, nyata adanya.
Bisa saja bantahan itu dibuat masuk akal dengan menggugat definisi Islam garis keras itu sendiri. Atau, kelompok-kelompok yang yang disebut Islam garis keras tiba-tiba berubah sikap menjadi Islam garis lembut yang rahmatan lil alamin.
Mereka tidak lagi ingin mendirikan khilafah, tidak lagi mengusung jargon NKRI bersyariah, tidak lagi mengkofar-kafirkan sesama anak bangsa, tidak lagi main fentung-fentung, tidak lagi teriak-teriak aseng, babi, pemerintah toghut, demokrasi itu tidak Islami, dan sejenisnya. Kalau mereka bisa seperti itu, melungsungi luar dalam, tidak hanya kulitnya, bolehlah sebutan garis keras itu ditanggalkan.
Kenyataannya hal itu tidak terjadi. Misalnya HTI yang resmi dinyatakan sebagai organisasi terlarang macam PKI itu, belum tobat juga. Mantan HTI masih tetap eksis dengan segala manuvernya. Terakhir, yang sudah beberapa hari ini membuat resah para orang tua, ada gerakan menyasar para pelajar dengan baju Komunitas Royatul Islam atau Karim, yang masuk lewat kegiatan rohis.
Mantan pegiat almarhum HTI jelas sekali merapat ke kubu Prabowo. Hubungan mereka cukup erat. Parpol pendukung Prabowo juga secara terang-terangan mendukung upaya HTI menggugat keputusan pemerintah yang membubarkan dan menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang. Sementara pegiat HTI secara jelas juga menyuarakan dukungan mereka kepada Prabowo.
Hubungan Prabowo dengan kelompok Islam garis keras lainnya juga tampak jelas terlihat. Misalnya, Front Pembela Islam atau FPI itu. Sulit sekali untuk menggolongkan FPI sebagai kelompok Islam garis santun. Silakan adakan survei berisi dua pertanyaan: FPI itu selama ini aktivitasnya santun atau "tidak santun". Saya yakin, banyak yang akan menjawab FPI Â "tidak santun".Â
Nah, hubungan Prabowo juga para pendukungnya sangat mesra dengan FPI. Bahkan, Prabowo pernah berucap, kalau menang pilpres dia akan jemput Rizieq Shihab yang kabur ke Arab Saudi itu. Dan, Rizieq adalah imam besar FPI. Kurang apalagi mesranya hubungan mereka. Padahal Rizieq itu kabur untuk menghindari jerat beberapa kasus hukum, yang hingga kini masih harus dipertanggungjawabkannya.
Masih ada ormas lain yang juga dikategorikan Islam garis keras, yang merapat ke kubu Prabow, seperti Forum Umat Islam atau FUI. Ormas pimpinan Al Kaththath atau Gatot Saptono, ini cukup dikenal dengan aksi penggalangan massanya. Al Kaththath sendiri pernah ditangkap 31 Maret 2017 lalu atas tuduhan makar
Soal merapatnya kelompok-kelompok itu ke kubu Prabowo cukup wajar. Selain ikatan kepentingan sudah terjalin sejak beberapa tahun lalu, yang tampak jelas pada pilkada DKI Jakarta itu, Prabowo dinilai masih memberikan harapan atas eksistensi mereka. Setidaknya itu terlihat dari janjinya menjemput Rizieq dan pembelaan Partai Gerindra atas HTI.
Bagi Prabowo, mengharap dukungan hak suara mereka dalam Pilpres 17 April nanti lebih realistis. Bukti bahwa mereka loyal dan fanatik dalam mendukung sudah terlihat, setidaknya itu tampak di media sosial atau aksi-aksi demo dan sejenisnya. Jadi, kalau dilihat dari sudut pandang ini, kloplah mereka kalau disebut telah menjalin hubungan simbiosa mutualisme.
Jika ketua PPP M Romahurmuziy menyebut kelompok yang menginginkan khilafah dan mengubah Pancasila seperti (almarhum) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berkumpul di kubu Prabowo-Sandiaga, itu wajar saja. Karena itulah alasan yang realistis. Mana mungkin mereka merapat ke kubu Jokowi-Ma'ruf Amin, yang pemerintahannya telah membubarkan dan menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas. Dia menilai wajar merapatnya kelompok-kelompok itu ke kubu Prabowo. Harapan mereka, jika Prabowo menang mereka akan berkesempatan untuk menyebarkan paham mereka. Namun, dia juga menilai hubungan lebih bersifat sesaat pada masa pemilu. Mereka saling berkompromi demi melawan Jokowi.
Itulah beberapa fakta hubungan Prabowo dengan Islam garis keras. Boleh saja Prabowo mengelak tentang hal ini. Dia kan pernah mengaku bingung dengan anggapan yang dilekatkan pada dirinya, misalnya dia disebut Islam garis keras. Anggapan itu memang tidak pas kalau mencermati isu seputar keislaman Prabowo. Namun, munculnya anggapan itu tentu didasari sesuatu. Istilahnya tidak ada asap kalau tidak ada api.
Dia juga pernah membela Rizieq Shihab koleganya yang kabur ke Arab Saudi itu. Menurut dia, Rizieq Shihab bukan termasuk golongan Islam garis keras. Dia berani menjamin Rizieq yang disebutnya sebagai sahabat itu. Bagi dia, Rizieq justru berkomitmen kepada Pancasila dan UUD'45.Â
Sebagai politisi ucapannya itu tidak salah. Dia tentu harus menjaga koleganya atas dukungan yang mereka berikan. Isu Islam garis keras itu juga jelas bisa menggerus dukungan dari kelompok Islam lain, misalnya dari NU dan Muhammadiyah. Oleh karena itulah Prabowo mengeluarkan jaminannya bahwa sahabatnya tidak seperti itu.
Soal masyarakat menilai Rizieq sebagai penganut Islam garis keras, itu persoalan mereka. Namun, setidaknya dengan pembelaannya dia sudah bertindak benar sesuai tujuannya untuk meraih dukungan suara dari masyarakat muslim.Â
Apakah pilihan politik yang diambil Prabowo itu efektif untuk meraih dukungan suara secara maksimal, tentu masih harus diuji. Namun, membuat masyarakat bisa menerima penilaiannya bahwa Rizieq dan FPI bukan kelompok Islam garis keras rasanya memang sulit. Lihat saja hubungan FPI dengan warga masyarakat lainnya, termasuk kalangan nahdliyyin.Â
Sampai di sini sebenarnya persoalan simbiosa mutualisme antara Prabowo-Sandi dengan kelompok Islam garis keras sebuah pilihan politik yang wajar. Persoalannya adalah jika kelompok Islam garis keras itu ternyata juga punya cantolan dengan organisasi radikal teror yang melegalkan kekerasan semacam ISIS, JAD, dan sejenisnya. Hal ini sebenarnya sudah jadi informasi umum.
Beberapa petinggi PKS tercatat pernah dicurigai punya hubungan dengan ISIS karena pernyataannya yang terkesan membela organisasi teror itu. Anis Matta salah satu politisi PKS pernah juga menyuarakan dukungan terhadap sepak terjang Osama bin Laden pimpinan Al Qaeda itu, lewat sebuah puisi.
Bahkan, Bachtiar Nasir ketua GNPF-MUi yang menggerakkan demo berjilid-jilid itu, sempat diduga menyalahgunakan dana yang dihimpun dari masyarakat, sebagian ditransfer ke Turki yang ditengarai untuk mendukung ISIS. GNPF-MUI kini masih eksis hingga kini dan berganti nama menjadi GNPF Ulama, dan jadi pendukung Prabowo.
Kasus paling gres yang punya cantolan dengan ISIS adalah kasus ormas Gerakan Reformasi Islam atau Garis di Cianjur, Selasa lalu. Ketua umum ormas ini yang beberapa tahun lalu pernah menyebut diri sebagai presiden ISIS Regional Indonesia. Dia juga pernah mengaku memberangkatkan 156 orang ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Yang dia berangkatkan termasuk Bachrumsyah atau yang dikenal sebagai Abu Muhammad Al Indonesi. Bachrumsyah menurut Polri tercatat sebagai anak buah Santoso gembong teroris Poso yang mati tertembak 2016 lalu. Bachrumsyah yang disebut menjabat komandan pasukan, juga dikabarkan tewas di Suriah 2018 lalu.
Prabowo Subianto saat kampanye ke Cianjur Selasa lalu, ternyata naik kendaraan milik ketua umum Garis itu. Selain adegan marah-marah Prabowo kepada petugas keamanan yang mengawal iring-iringan mobil yang terekam video dan viral itu, rupanya mobil hitam yang dinaiki Prabowo itu jadi sorotan.
Mobil warna hitam bernopol B 264 RIS yang dinaikinya itu adalah mobil milik Chep Hermawan, ketua umum Garis. Boleh saja jubir BPN Prabowo-Sandi menyebut urusan kendaraan itu urusan relawan di Cianjur. Artinya, soal pengadaan mobil itu bukan urusan Prabowo.Â
Karena itu, meski Prabowo naik kendaraan itu dari Lapangan Prawatasari, Joglo, Cianjur, ke Gedung Assakinah, Jalan KH Abdullah Bin Nuh, hal itu tidak membuktikan bahwa Prabowo punya hubungan dengan Ketua Ormas Garis Chep Hernawan.
Pembelaan semacam itu bisa saja benar. Namun, persoalannya menjadi tidak sesederhana itu mengingat mobil yang akan dikendarai seorang capres tentu telah melalui serangkaian pengecekan. Bukan sekedar terkait kelaikan kendaraan, namun tentunya juga siapa pemilik mobil itu.Â
Chep Hermawan sendiri mengakui dia memang kebagian tugas menyediakan kendaraan untuk Prabowo. Hal itu dilakukannya sebagai bentuk dukungan kepada Prabowo. Dia menyebut dirinya tidak punya hubungan khusus dengan Prabowo. Sebuah pembelaan yang wajar juga.Â
Sama wajarnya ketika dia menyebut persoalan hubungannya dengan ISIS itu sudah menjadi masa lalu. Artinya, hal itu sudah lama ditinggalkannya. Â Dia juga tidak pernah dipidana atau dipenjara meski pernah diperiksa polisi.
Namun bahwa ormas Garis dikenal sebagai kelompok Islam garis keras memang juga fakta yang sulit dihapus. Bahkan, empat anggota ormas ini pernah ditangkap Tim Densus 88 Antiteror karena berencana menyerang dua kantor polsek di wilayah hukum Polres Sukabumi Kota dan Cianjur, Juli 2017 lalu.Â
Saat pihak kepolisian menyebut mereka merupakan sel-sel baru Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kelompok Garis Cianjur, yang dipimpin Chep Hermawan disebut polri sebagai sel-sel baru JAD. Saat itu Chep Hermawan membantah pernyataan itu dan menyebut keempat orang itu telah dikeluarkan dari Garis.
Kalau melihat perjalanan politik Prabowo selama beberapa tahun terakhir tadi, tampaknya memang tidak ada persyaratan khusus tentang kelompok yang akan merapat atau digandeng kubu Prabowo. Meskipun benar kelompok itu dicurigai punya hubungan dengan kelompok teror di dalam atau luar negeri, itu tidak mengubah sikap kubu Prabowo-Sandiaga. Dukungan tetaplah dukungan yang diperlukan untuk memenangkan pilpres. Kalau sebuah hubungan saling menguntungkan bisa dijalin mengapa pula mesti rewel.
Pendapat ini bukannya tidak beralasan. Menurut hasil survei LSI Jenny DA terbaru, pendukung Prabowo-Sandiaga yang ingin Indonesia seperti Timur Tengah atau Arab mencapai 54,1 persen. Namun, di kubu Jokowi-Ma'ruf yang menginginkan hal serupa juga cukup tinggi yaitu 45,9 persen. Artinya, banyak orang ingin seperti Arab.
Jika sudah begini, persoalan "mengarab" itu sebenarnya sudah menimpa kedua kubu. Bedanya adalah yang satu "mengarab" dengan santun dan mengusung ajaran rahmatan lil alamin, sementara yang satunya lagi "mengarab" dengan gaya sebaliknya, garang dan suka "perang".
(Saya sendiri sih lebih memilih mengindonesia dengan segala keindahan dan kebijaksanaan budayanya.)
Karena itu, ada yang mempertanyakan juga janji apa yang telah diberikan kepada kelompok-kelompok Islam garis keras itu seandainya Prabowo menang. Dalam hubungan semacam itu pastilah ada saling memberi dan menerima.
Apakah FPI akan diberi kebebasan penuh untuk aksi-aksinya? Apakah HTI akan kembali hidup dengan baju baru atau hukum dintervensi agar gelar almarhum dicabut dari HTI? Apakah ada konsesi khusus untuk masalah ekonomi untuk mereka? Bagaimana pula nasib Pancasila, UUD 45, dan NKRI? Apakah Rizieq Shihab akan jadi Imam Besar NKRI?
Terlalu banyak pertanyaan yang membuat khawatir dan takut. Mungkin daripada terus ngeles setiap kali hubungannya dengan kelompok Islam garis keras disoroti masyarakat, lebih baik energi jubir BPN Prabowo-Sandi disalurkan untuk menjawab. pertanyaan-pertanyaan itu.
Salam waras saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H