Hal yang sama juga dinyatakan oleh Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas. Dia menilai wajar merapatnya kelompok-kelompok itu ke kubu Prabowo. Harapan mereka, jika Prabowo menang mereka akan berkesempatan untuk menyebarkan paham mereka. Namun, dia juga menilai hubungan lebih bersifat sesaat pada masa pemilu. Mereka saling berkompromi demi melawan Jokowi.
Itulah beberapa fakta hubungan Prabowo dengan Islam garis keras. Boleh saja Prabowo mengelak tentang hal ini. Dia kan pernah mengaku bingung dengan anggapan yang dilekatkan pada dirinya, misalnya dia disebut Islam garis keras. Anggapan itu memang tidak pas kalau mencermati isu seputar keislaman Prabowo. Namun, munculnya anggapan itu tentu didasari sesuatu. Istilahnya tidak ada asap kalau tidak ada api.
Dia juga pernah membela Rizieq Shihab koleganya yang kabur ke Arab Saudi itu. Menurut dia, Rizieq Shihab bukan termasuk golongan Islam garis keras. Dia berani menjamin Rizieq yang disebutnya sebagai sahabat itu. Bagi dia, Rizieq justru berkomitmen kepada Pancasila dan UUD'45.Â
Sebagai politisi ucapannya itu tidak salah. Dia tentu harus menjaga koleganya atas dukungan yang mereka berikan. Isu Islam garis keras itu juga jelas bisa menggerus dukungan dari kelompok Islam lain, misalnya dari NU dan Muhammadiyah. Oleh karena itulah Prabowo mengeluarkan jaminannya bahwa sahabatnya tidak seperti itu.
Soal masyarakat menilai Rizieq sebagai penganut Islam garis keras, itu persoalan mereka. Namun, setidaknya dengan pembelaannya dia sudah bertindak benar sesuai tujuannya untuk meraih dukungan suara dari masyarakat muslim.Â
Apakah pilihan politik yang diambil Prabowo itu efektif untuk meraih dukungan suara secara maksimal, tentu masih harus diuji. Namun, membuat masyarakat bisa menerima penilaiannya bahwa Rizieq dan FPI bukan kelompok Islam garis keras rasanya memang sulit. Lihat saja hubungan FPI dengan warga masyarakat lainnya, termasuk kalangan nahdliyyin.Â
Sampai di sini sebenarnya persoalan simbiosa mutualisme antara Prabowo-Sandi dengan kelompok Islam garis keras sebuah pilihan politik yang wajar. Persoalannya adalah jika kelompok Islam garis keras itu ternyata juga punya cantolan dengan organisasi radikal teror yang melegalkan kekerasan semacam ISIS, JAD, dan sejenisnya. Hal ini sebenarnya sudah jadi informasi umum.
Beberapa petinggi PKS tercatat pernah dicurigai punya hubungan dengan ISIS karena pernyataannya yang terkesan membela organisasi teror itu. Anis Matta salah satu politisi PKS pernah juga menyuarakan dukungan terhadap sepak terjang Osama bin Laden pimpinan Al Qaeda itu, lewat sebuah puisi.
Bahkan, Bachtiar Nasir ketua GNPF-MUi yang menggerakkan demo berjilid-jilid itu, sempat diduga menyalahgunakan dana yang dihimpun dari masyarakat, sebagian ditransfer ke Turki yang ditengarai untuk mendukung ISIS. GNPF-MUI kini masih eksis hingga kini dan berganti nama menjadi GNPF Ulama, dan jadi pendukung Prabowo.
Kasus paling gres yang punya cantolan dengan ISIS adalah kasus ormas Gerakan Reformasi Islam atau Garis di Cianjur, Selasa lalu. Ketua umum ormas ini yang beberapa tahun lalu pernah menyebut diri sebagai presiden ISIS Regional Indonesia. Dia juga pernah mengaku memberangkatkan 156 orang ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Yang dia berangkatkan termasuk Bachrumsyah atau yang dikenal sebagai Abu Muhammad Al Indonesi. Bachrumsyah menurut Polri tercatat sebagai anak buah Santoso gembong teroris Poso yang mati tertembak 2016 lalu. Bachrumsyah yang disebut menjabat komandan pasukan, juga dikabarkan tewas di Suriah 2018 lalu.