Fadli Zon memang layak disebut cerdik, meski sah juga dinilai sebagai orang yang mau menang sendiri, mudah merendahkan dan menghina orang lain, dan licik. Itulah kesan saya setelah membaca berita tentang Fadli Zon minta maaf dan hendak datang ke Mbah KH Maimoen Zubair.
Dia memang minta maaf tetapi tetap tidak mau mengaku bersalah. Sebaliknya, dia menuduh orang lain telah memelintir makna puisinya itu sehingga dia dituduh menistakan Mbah Moen.
Dalam dunia persilatan ala pendekar 212, langkah Itu kan mirip-mirip jurus "kunyuk merunduk sambil melempar tai". Dia menunduk dengan berucap akan sowan dan minta maaf, namun mulutnya melempar tuduhan ke pihak yang menilai puisinya itu telah menistakan Mbah Moen, sebagai pemelintir dan pemfitnah. Hebat kan Fadli Zon.Â
Jadi semua yang mengkritisi puisinya sehingga pada kesimpulan Fadli Zon telah menistakan Mbah Moen itu "tukang pelintir". Sungguh tuduhan yang "indah" dan "bermartabat". Kalau sudah begini, orang waras dan berakal sehat pastilah bisa dibuat bingung dan garuk-garuk kepala.Â
Nah, dalam deretan orang,-orang yang secara tidak langsung dituduh sebagai tukang pelintir itu tentunya ada nama Alissa Wahid putri Gus Dur, ada penyair Krisna Pabichara, ada banyak kiai, ada banyak santri, sampai ke Mahfud MD yang menilai "puisi" Fadli Zon itu menistakan Mbah Moen.
Baiklah, kita tengok dulu berita soal Fadli Zon minta maaf dan mau mengunjungi Mbah Moen itu, sebagaimana diwartakan detik.com dengan judul "Fadli Zon Minta Maaf ke Mbah Moen karena Dampak Puisi 'Doa yang Ditukar'". Sebuah berita yang memuat alasan dan penjelasan Fadli Zon. [1]
Ada sepuluh poin yang dikemukakan Fadli Zon. Namun saya akan menyoroti beberapa saja yang lebih dekat dengan permasalahan ini. Pertama, soal latar belakang lahirnya puisi itu. Fadli Zon menyatakan sangat menghormati KH Maimoen Zubair. Dia tidak rela melihat beliau diperlakukan tidak pantas hanya demi memuluskan ambisi politik seseorang ataupun sejumlah orang. Inilah yang mendorongnya menulis puisi itu.
Kedua, secara bahasa dia menyebut puisi itu tidak rumit. Bahasanya sengaja dibuat sederhana agar dipahami luas. Hanya ada tiga kata ganti dalam puisi tersebut, yaitu 'kau', 'kami' dan '-Mu'. Dalam bait ketiga, dia memberikan atribut yang jelas mengenai siapa 'kau' yang dimaksud oleh puisi tersebut. Ketiga, ada yang memelintir seolah kata ganti 'kau' dalam puisi tersebut ditujukan kepada KH Maimoen Zubair. Itu dinilainya mengada-ada dan bentuk fitnah.Â
Keempat, keluarga KH Maimoen Zubair, melalui puteranya, KH Muhammad Najih Maimoen, telah memberikan penjelasan bahwa dia menerima klarifikasi bahwa kata ganti 'kau' memang tidak ditujukan kepada KH Maimoen Zubair. Tanpa klarifikasi dari Fadli Zon, KH Muhammad Najih, disebutnya telah berpandangan jika kata ganti 'kau' memang ditujukan kepada orang lain, bukan Mbah Moen. KH Muhammad Najih disebut Fadli Zon menyatakan jika aksi massa yang telah menggoreng isu ini bukan berasal dari kalangan santrinya, melainkan digoreng oleh pihak luar.Â
Itulah poin-poin yang saya anggap penting. Sebelum membahas pembelaan diri Fadli Zon, ada baiknya kita tahu dulu siapa KH Muhammad Najih, yang disebut dalam pembelaan diri Fadli Zon. Beliau adalah putra kedua KH Maimoen Zubair yang sering disebut pendukung Prabowo. Sementara putra Mbah Moen yang lain Wagub Jateng Taj Yasin Maimoen disebut mendukung Jokowi.
Taj Yasin sendiri pernah menyatakan bahwa banyak santri Mbah Moen yang marah atas "puisi" yang dinilai menistakan dan merendahkan ulama sepuh itu. Dari sini, penjelasan Fadli Zon itu bisa menimbulkan kesan "adu domba".
Namun, ada penjelasan penting yang jadi alasan Fadli Zon bahwa kata "kau" dalam "puisinya" itu bukan dimaksudkan sebagai Mbah Moen. Dia menyebut dalam bait ketiga puisinya itu ada atribut yang menjelaskan siapa "kau" yang dimaksud.
Baiklah kita perhatikan tiga bait dari empat bait "puisi" Fadli Zon itu.
doa sakral
seenaknya kau begal
disulam tambal
tak punya moral
agama diobral
doa sakral
kenapa kau tukar
direvisi sang bandar
dibisiki kacung makelar
skenario berantakan bubar
pertunjukkan dagelan vulgar
doa yang ditukar
bukan doa otentik
produk rezim otentik
produk rezim intrik
penuh cara-cara licik
kau Penguasa tengik
Kalau kita membaca bait ketiga, di situ tertulis "kau Penguasa Tengik". Inilah yang jadi jawaban Fadli Zon saat ditanya oleh Menag Lukman Hakim Saifuddin, setelah Fadli Zon mengunggah puisi itu di Twitter. Dan penjelasannya itu rupanya tidak bisa diterima banyak orang termasuk Alissa Wahid yang langsung menanggapi lewat Twitter juga.
"...Tapi "kau"-nya jadinya siapa kalau di situ ada bandar dan kacung yang bukan "kau"?
Doa sakral kenapa kau ralat
Dibisik kacung makelar
Tinggal minta maaf kalau sudah menghina. Tidak usah ngeles-ngeles," kicau Alissa Wahid.
Penyair Krisna Pabichara dalam artikelnya di Kompasiana juga menyatakan hal yang senada. Ini masih ditambah dengan apresiasi dari banyak pihak yang menilai "kau' dalam puisi itu adalah Mbah Moen karena secara gamblang puisi terkait dengan peristiwa doa Mbah Moen di pondoknya, saat menerima Presiden Jokowi.
Jika kau yang dimaksudkan Fadli Zon adalah penguasa dalam pengertian penguasa pemerintahan, ada lompatan makna yang tidak nyambung dan dipaksakan sehingga tidak mendukung makna "kau" dalam bait pertama dan kedua puisi itu. Ini sedikit pemahaman saya tentang puisi itu.
Jadi, sangat beralasan jika ada yang memaknai 'kau" dalam puisi itu adalah Mbah Moen, karena ada kata "kacung makelar" dan "sang bandar" yang sangat telanjang maknanya sebagaimana juga disebut dalam pembelaan Fadli Zon tadi. Oleh karena itulah, jika Fadli Zon tetap ngotot merasa tidak bersalah ya silakan saja.Â
Namun, sah juga jika orang seperti Alissa Wahid, penyair Krisna Pabichara, kiai, para santri, hingga Mahfud MD yang memaknai 'kau' dalam puisi itu adalah Mbah Moen. Dan, mereka layak marah karena ulama sepuh panutan mereka dilecehkan dengan puisi seperti itu. Inilah yang tampaknya tidak bisa ditangkap oleh mata batin Fadli Zon.
Sebaliknya dia justru mencari kambing hitam dengan menuduh ada yang memelintir kata 'kau' sehingga dimaknakan sebagai Mbah Moen. Dia menyebut ada orang-orang yang memfitnahnya dengan pengertian seperti itu. Selain itu aksi massa yang marah disebut sebagai akibat gorengan pihak tertentu.
Inilah yang saya nilai sebagai kelicikan Fadli Zon. Dia mengklaim bahwa dirinya tidak bersalah namun akan minta maaf dan sowan ke Mbah Moen karena puisi telah disalahartikan dan menimbulkan ketidak-nyamanan. Di sisi lain di mendiskreditkan orang yang memaknai "kau" sebagai Mbah Moen telah memelintir makna puisi tersebut.
Sementara itu, orang-orang yang marah di berbagai kota itu disebut akibat gorengan pihak lain. Mereka berdemo bukan karena puisi Fadli Zon telah melecehkan Mbah Moen. Ini sama artinya, semua orang yang marah karena merasa kiai sepuh junjungan mereka dilecehkan Fadli Zon dengan puisi itu, tidak mengerti makna puisi itu.
Kalau memang sudah seperti ini, buat apa pula Fadli Zon minta maaf dan akan sowan ke Mbah Moen? Orang minta maaf itu karena menyadari ada kesalahan yang diperbuatnya. Orang minta maaf didasari kerendahan hati bahwa manusia itu bisa berbuat khilaf. Kalau Fadli Zon tidak merasakan itu semua buat apa pula minta maaf? Agar nama baiknya pulih? Agar dukungan politik tidak hancur?
Pada akhirnya, pernyataan minta maaf dan rencana Fadli Zon sowan ke Mbah Moen tidak lebih dari permainan kata belaka. Justru kini dia memancing kemarahan baru dengan menuding  orang telah memelintir dan memfitnah terkait makna puisi Doa yang Ditukar dan ada yang menggoreng sehingga melahirkan aksi massa.Â
Jadi memang rasanya cukup pas jika dilihat dari sudut cerita silat pendekar 212, Fadli Zon kali ini seperti mempraktekkan jurus "kunyuk menunduk melempar tai".
Salam damai nan indah
Salam waras juga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H