Ini hari sungguh hari istimewa bagi Yang Mulia Tuan dan Nyonya DPR. Ini hari penyematan kesaktian dan kesakralan mereka sebagai wakil rakyat sesuai yang diamanatkan dalam 3 pasal UU MD3, yang telah mereka revisi sendiri. Sungguh sebuah hari yang teramat istimewa untuk diabaikan atau dipura-pura-tidak-tahukan.
Itu penyematan kesaktian yang tidak main-main. Siapa pun yang mengritik dan dinilai merendahkan atau melecehkan marwah, martabat, dan kehormatan Yang Mulia Tuan dan Nyonya DPR bisa dipidanakan. Kalau ada yang dipanggil DPR tak mau datang, polisi wajib menjemput paksa. Dan satu lagi, jika Tuan dan Nyonya DPR terlibat urusan hukum, untuk memanggil mereka harus sepersetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan dan presiden.
Sungguh sebuah kesaktian yang tiada duanya. Mereka itu yang sebelumnya jadi wakil atau pelayan, atau pembantu (alias ..u) rakyat, kini bisa memaksa dan memenjarakan rakyat yang jadi tuan dan juragannya, yang berani' mengkritik atau dianggap melecehkan marwah martabat, dan kehormatan sang pembantu atau Yang Mulia Tuan dan Nyonya DPR itu. Sungguh sebuah karunia kesaktian yang patut dirayakan.
Namun entah mengapa, bagi sahaya yang rakyat jelata ini, hari istimewa ini justru menimbulkan pikiran dan bayangan aneh yang pernah terlihat beberapa tahun lampau. Ada bekas kondom di toilet, ada video syur, ada telenovela perselingkuhan, ada yang asyik lihat gambar syuuur bin aseekkk, ada yang suka kawin dan kawin, Â ada yang hobi korupsi, ada yang kecanduan nyinyir, ada yang ,...ah sudahlah. Itu terlalu berat dibayangkan, biar sahaya saja.
Andaikan bayangan aneh masa lampau itu kembali terjadi, kira-kira apa yang harus dilakukan oleh rakyat semacam sahaya ini? Mau mengkritik takut dipidana penjara karena dianggap merendahkan marwah, martabat, dan kehormatan Yang Mulia Tuan dan Nyonya DPR. Tidak mengkritik ya pasti akan gerah hati, gerah pikir, dan ingin memukuli guling dan bantal.
Jadi, bagi Tuan dan Nyonya DPR hari ini memang hari istimewa yang patut dirayakan. Tapi bagi kami yang jadi juragan Tuan dan Nyonya DPR, ini hari awal sebuah bayangan ketidakpastian apakah kami masih pantas menyandang predikat sebagai juragan Tuan dan Nyonya DPR. Bagaimana bisa kami para juragan tidak boleh mengkritik dan menilai kerja para pembantu (boleh dibaca ...u). Ini jelas sebuah keganjilan yang dipaksakan.
Oleh karena itu, izinkan sahaya untuk berharap Mahkamah Konstitusi bisa membatalkan pasal-pasal yang menghilangkan kejuraganan rakyat itu. Harapan sebelum ini bahwa saat presiden tidak menandatangani UU MD3 hasil revisi itu berarti UU itu tidak sah, ternyata keliru. Karena ternyata setelah 30 hari usai DPR ketok palu dan menyerahkannya ke presiden, maka UU itu wajib diberlakukan walau presiden tidak menandatanganinya.
Sulit dibayangkan, hari-hari kami sebagai juragan Tuan dan Nyonya DPR harus kami lalui dengan ancaman hukuman karena berani mengkritik para pembantu (boleh dibaca...u) yang mewakili kami di DPR itu. Andaikan nama DPR sekalian diganti menjadi Dewan Perwakilan Lain-Lain, mungkin masih lebih baik karena itu berarti eksistensi kami sebagai rakyat tetap terjaga dan mereka otomatis bukan wakil kami lagi.
Terkait UU MD3 itu, Refli Harun pakar tata negara itu mungkin ada benarnya juga kalau mengibaratkan rakyat Indonesia itu telah membesarkan anak-anak harimau. Ibaratnya, DPR itu anak harimau yang dibesarkan rakyat. Rakyat itu yang memelihara wakil rakyat. Tapi begitu duduk sebagai wakil rakyat, si anak harimau itu memangsa yang memeliharanya sendiri.
Itu tercermin dari tiga kewenangan, yaitu menggunakan Polri untuk memanggil paksa, menggunakan MKD untuk mengkriminalkan, dan menggunakan MKD untuk proteksi yang berlebihan. "Ini merusak paradigma bernegara karena DPR itu kan wakil rakyat, sebagai wakil rakyat yang dipentingkan adalah bagaimana mewakili kepentingan masyarakat terhadap eksekutif. Â [1]
Dan kini, dengan tiga kesaktian seperti yang tertuang dalam UU MD3 itu, anak harimau itu telah tumbuh besar dan siap mencaplok rakyat yang membesarkan mereka. Sungguh sebuah keadaan yang memprihatinkan dan menakutkan.