Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dilema Gombal Amoh

15 Juli 2017   16:47 Diperbarui: 28 Juli 2017   08:57 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diolah dari logopit/dokpri

Tiba-tiba aku berasa ada dilema yang menyesakkan dada. Mungkin saja rasa sesak ini juga akibat angin liar yang menyodok datang tanpa diundang, sementara aku lupa minum tolak angin. Sungguh masalah ini buat aku kentut tak sopan, karena bunyinya begitu ngerock. Padahal biasanya aku suka menyiulkannya dengan irama jazz blues, serak-serak mendayu.

Akhir-akhir ini, di tengah musim pancaroba yang tak jelas, angin liar memang suka datang semau-maunya. Jangan tanya, apakah angin punya hubungan mesra dengan gerimis manis yang sering datang tanpa diundang juga. Di tempatku, hal semacam itu sudah jadi kebiasaan yang percuma untuk ditanyakan. Desa tetangga boleh kering oleh matahari yang menyengat, namun gerimis manis atau hujan gak jelas justru turun dengan nikmatnya di tempatku.

Anomali cuaca itu tak pernah ada yang mempersoalkannya, misalnya dengan menggelar seminar nasional dengan mengundang pakar dari Badan Meteorologi dan Geofisika. Paling banter, ada celetukan mesra dari orang kampung, "ojo kagetan, ojo gumunan, ojo protesan, kabeh wes enek sing ngatur." Beres. Semua bisa diterima dengan lapang dada dan penuh rasa syukur.

Tapi urusan dilema itu belum selesai. Ada nama yang menyedot perhatianku, tetapi aku tak bisa memutuskan dia itu masuk kategori manusia apa. Yang satu ini adalah pribadi yang konsisten sejak muda dengan semboyannya "jatuhkan penguasa". Siapa pun penguasa yang tak berkenan di hatinya, akan diteriaki dengan semboyannya itu.

Apalagi jika penguasa itu sampai berani mengusiknya, tidak ada ampun. Ironinya, penguasa yang dijatuhkan di masa lalu, tanpa rasa sungkan dan malu diajaknya berkongkalikong menjatuhkan penguasa masa kini. Tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada kepentingan bersama. Itulah kesetiaan dalam hidupnya. 

Karena itu tidak heran dia justru menyerukan "Perang Badar" dalam even pilkada yang dilaksanakan sebagai pesta demokrasi bagi rakyat. Mungkin dia memandang bunuh-bunuhan dalam pesta demokrasi itu wajar saja. Bisa pula dia bingung membedakan antara pesta demokrasi dan perang karena usianya sudah uzur.

Faktor terakhir ini sangat mungkin terjadi, karena tampaknya dia juga lupa dengan nazarnya untuk jalan kaki Jogja-Jakarta. Itu nazar diungkapkannya ketika pilpres 2014 lalu, kalau Jokowi jadi presiden dia akan jalan kaki Jogja-Jakarta. Nah, sekarang Jokowi sudah tiga tahun jadi presiden, tapi dia belum juga jalan kaki Jogja-Jakarta. Ya, bisa jadi fisiknya tak mendukung.

Tapi kalau dia benar ingin melaksanakan nazar itu, selalu ada jalan. Misalnya, dengan cara menyewa truk tronton pengangkut kontainer yang diberi atap tambahan agar tidak panas. Nah, dia cukup berjalan di atas truk, sementara kendaraan itu jalan. Selain cepat sampai, dia bisa menyiapkan tim pemijat yang menemaninya di atas truk. 

Soal pemandu sorak, tidak perlu khawatir karena pasti masyarakat akan dengan suka dan rela akan mengelu-elukanya. Apalagi, kalau truk kontainer itu juga dilengkapi tulisan besar "Nazar Jalan Kaki Jogja-Jakarta". Tentunya tidak lupa, ada grup musik elekton yang setia dengan alunan lagu-lagu Bang Rhoma Irama. Dijamin, televisi CNN juga berminat untuk menayangkannya.

Apakah itu memenuhi syarat nazar jalan kaki Jogja-Jakarta? Rasanya kok tetap memenuhi syarat. Dia kan tetap jalan kaki, to, meski di atas truk tronton. Nazarnya kan tidak menyebut jalan kaki di atas jalan, di atas tanah, di atas rumput. Yang penting jalan kaki. Jadi, jalan kaki di atas truk tronton juga sah saja.

Perkara nanti truk itu dilarang masuk kawasan Monas, itu masalah sepele. Dia bisa turun di bundaran HI dan terus jalan kaki ke Monas. Nazar jalan kaki Jogja-Jakarta terpenuhi sudah. Jadi, sebenarnya nazar itu bisa dilaksanakan walau dia sudah uzur saat ini. Tim pemijat, grup musik elekton, dan truk tronton bisa membantunya.

Lepas urusan hutang nazar yang belum terwujud, bagaimana pun dia punya jasa juga. Meski katakanlah tindakannya saat itu lebih didorong oleh semangat "jatuhkan penguasa" yang tak kunjung padam, toh terbukti Rezim Pak Harto jatuh dan berganti era reformasi yang tak kunjung jelas. Setelah Pak Harto, BJ Habibie, dan Gus Dur, kini dia ngotot hendak menjatuhkan Jokowi. Jadi dia konsisten dengan semboyannya.

Yang membuatku masygul itu, tidak jelas dia itu masuk kategori manusia macam apa. Pejuang atau pecundang? Disebut pejuang kalau dia memperjuangkan sebuah nilai keutamaan untuk bangsa ini. Sementara yang dia perjuangkan selama tidak jelas kecuali sesuatu yang menguntungkan diri dan kelompoknya. Ketika negeri ini dilanda persoalan kebhinekaan, justru dia bergabung dengan kelompok anti kebhinekaan.

Ketika negeri ini dilanda masalah serius akibat korupsi, justru dia bergabung dengan kelompok yang menentang KPK. Dia marah tak tentu arah, karena namanya disebut dalam persidangan, menerima uang Rp 600 juta uang korupsi proyek alkes kesehatan. Apa yang dikata, itulah kebenaran menurut dia.

Terakhir dia ikut-ikut teriak PKI, tapi tidak jelas siapa yang ditudingnya sebagai PKI. Kalau disebut kan jadi enak, kalau gak bener paling dia bisa dituntut di pengadilan dan masuk penjara. Kalau tuduhannya benar, disertai bukti valid, tentu bisa ditindaklanjuti. Kalau cuma bisa teriak tanpa bukti, itu sama saja ahli hoax dan jurufitnah. 

Sebab dia teriak ada PKI itu juga setelah pemerintah mengeluarkan perppu yang mengatur pembubaran ormas radikal dan penentang Pancasila. Nah, ormas macam HTI sudah pasti gulung tikar. Demikian juga Ep Pe I dan bolo kurowonya yang suka teriak revolusi itu, siap menyusul. Eee...Pak Tokohku ini malah bilang, "Kalau HTI dibubarkan kemudian komunisme dikembangkan itu apa hasilnya? Jelas sekali PKI di depan mata dibiarkan. Ya toh? Nggak diapa-apakan."

Ini memang zaman serba tidak jelas. Apa yang dimaui juga serba tidak jelas. Definisi seseorang sebagai pejuang dan pecundang juga ikut tidak jelas. Tapi, tentu pasti aku tak berani sebut Pak Tokohku ini pecundang. Ada UU IT, lho. Aku tak mau dilaporkan karena ujaran kebencian dan sejenisnya. Jadi itulah pangkal tolak aku dilanda dilema yang menyesakkan dada.

Tetapi itu juga salahku sendiri. Mestinya dia kubiarkan saja tak usah digubris, toh orang banyak juga sudah tahu jati diri Pak Tokohku ini. Biar jadi pejuang atau pecundang bukan urusanku. Namun, aku kok malah jadi ingat dokter gigi yang begitu mengagungkan Pak Tokohku. Bu Dokter ini dengan bangga menceritakan bagaimana semasa mahasiswa selalu membaca artikel yang ditulis Pak Tokohku di media cetak langganannya. Ya, dulu dia memang mempesona banyak orang.

Terkadang aku berpikir, apakah anomali cuaca di kampungku itu hanya cermin dari anomali yang lain. Kalau benar, wuik, kampungku jelas bukan sembarang kampung walau tetap saja ndeso. Coba dipikirkan, musim penghujan dan kemarau itu kan jelas ada masanya masing-masing. Kalau panas terik disebut kemarau, kalau basah karena hujan disebut penghujan. Kalau panas tapi hujan timbul pelangi. Nah, kalau hujan dan panas berdampingan, namanya apa?

Tidak jelas. Dan, sekarang ini soal ketidakjelasan rupanya sedang ngetrend. Di medsos, termasuk FB sedang rame "ledek meledek" setelah alumni 212 demo ke Komnas HAM, di antaranya meminta agar Hary Tanoe Soedibjo bos MNC dan Partai Perindo itu tidak dikriminalisasi. Sikap alumni 212 itu dinilai mengherankan karena Hary Tanoe itu dikenal sebagai pengusaha Tionghoa dan nonmuslim.

Padahal selama ini mereka secara gencar di medsos melancarkan "permusuhan" kepada kelompok Tionghoa nonmuslim. Inilah sikap yang dinilai aneh bin ajaib sehingga jadi bahan cibiran. Sebenarnya, kalau mau jujur, kedekatan kelompok ini pada HT sudah lama juga jadi gunjingan saat pilkada DKI Jakarta lalu. Misalnya saja beredarnya foto HT memberi tausyah di sebuah masjid, memakai baju muslim lengkap dengan kopiah, bersalaman dengan santri, dan lainnya.

Ironinya Riziek pentolan FPI yang kini kabur ke Arab Saudi itu, pernah menyerang pribadi HT secara langsung terkait pelaksanaan Miss Word. Sementara Alumni 212 itu juga termasuk FPI. Yang lucu, lantas muncul sindiran ala Gaj Ahmada beberapa waktu lalu, misalnya muncul sebutan H. Ary Tanoe, atau Haji Ary Tanoe.

Aku sendiri sih kalau baca nama HT langsung ingat berita terjemahan soal pernyataan dia di Forbes, "Within ten years, I think I'll run the country (Dalam waktu 10 tahun, saya pikir saya akan memimpin negara ini)," ungkap Hary Tanoe kepada Abram Brown dari Forbes.

Dan kini dia dijadikan tersangka akibat SMS-nya ke jaksa Yulianto pada 5, 7, 9 Januari 2016 yang dinilai sebagai ancaman. Bunyi SMS itu,

"Mas Yulianto, kita buktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang profesional dan siapa yang preman. Anda harus ingat kekuasaan itu tidak akan langgeng. Saya masuk ke politik antara lain salah satu penyebabnya mau memberantas oknum-oknum penegak hukum yang semena-mena, yang transaksional yang suka abuse of power. Catat kata-kata saya di sini, saya pasti jadi pimpinan negeri ini. Di situlah saatnya Indonesia dibersihkan."

Ternyata HT memang konsisten. Apa yang terungkap di SMS itu kok yo mirip-mirip dengan pernyataannya di Forbes. "Within ten years, I think I'll run the country" yang di SMS berbunyi "Catat kata-kata saya di sini, saya pasti jadi pimpinan negeri ini." Lho, kok jadi ngelantur ke HT. 

Lantas apa hubungannya dilema gombal mukio dengan isi tulisan ini? Terus terang aku juga bingung cari hubungannya. Namun yang pasti, gombal mukio seharusnya tidak perlu jadi dilema. Namanya gombal yang sudah bau, lecek, kumal, berdebu, dan bikin orang mengigau tanpa perlu tidur, seharusnya dibuang saja.

Salam 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun