Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dilema Gombal Amoh

15 Juli 2017   16:47 Diperbarui: 28 Juli 2017   08:57 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diolah dari logopit/dokpri

Lepas urusan hutang nazar yang belum terwujud, bagaimana pun dia punya jasa juga. Meski katakanlah tindakannya saat itu lebih didorong oleh semangat "jatuhkan penguasa" yang tak kunjung padam, toh terbukti Rezim Pak Harto jatuh dan berganti era reformasi yang tak kunjung jelas. Setelah Pak Harto, BJ Habibie, dan Gus Dur, kini dia ngotot hendak menjatuhkan Jokowi. Jadi dia konsisten dengan semboyannya.

Yang membuatku masygul itu, tidak jelas dia itu masuk kategori manusia macam apa. Pejuang atau pecundang? Disebut pejuang kalau dia memperjuangkan sebuah nilai keutamaan untuk bangsa ini. Sementara yang dia perjuangkan selama tidak jelas kecuali sesuatu yang menguntungkan diri dan kelompoknya. Ketika negeri ini dilanda persoalan kebhinekaan, justru dia bergabung dengan kelompok anti kebhinekaan.

Ketika negeri ini dilanda masalah serius akibat korupsi, justru dia bergabung dengan kelompok yang menentang KPK. Dia marah tak tentu arah, karena namanya disebut dalam persidangan, menerima uang Rp 600 juta uang korupsi proyek alkes kesehatan. Apa yang dikata, itulah kebenaran menurut dia.

Terakhir dia ikut-ikut teriak PKI, tapi tidak jelas siapa yang ditudingnya sebagai PKI. Kalau disebut kan jadi enak, kalau gak bener paling dia bisa dituntut di pengadilan dan masuk penjara. Kalau tuduhannya benar, disertai bukti valid, tentu bisa ditindaklanjuti. Kalau cuma bisa teriak tanpa bukti, itu sama saja ahli hoax dan jurufitnah. 

Sebab dia teriak ada PKI itu juga setelah pemerintah mengeluarkan perppu yang mengatur pembubaran ormas radikal dan penentang Pancasila. Nah, ormas macam HTI sudah pasti gulung tikar. Demikian juga Ep Pe I dan bolo kurowonya yang suka teriak revolusi itu, siap menyusul. Eee...Pak Tokohku ini malah bilang, "Kalau HTI dibubarkan kemudian komunisme dikembangkan itu apa hasilnya? Jelas sekali PKI di depan mata dibiarkan. Ya toh? Nggak diapa-apakan."

Ini memang zaman serba tidak jelas. Apa yang dimaui juga serba tidak jelas. Definisi seseorang sebagai pejuang dan pecundang juga ikut tidak jelas. Tapi, tentu pasti aku tak berani sebut Pak Tokohku ini pecundang. Ada UU IT, lho. Aku tak mau dilaporkan karena ujaran kebencian dan sejenisnya. Jadi itulah pangkal tolak aku dilanda dilema yang menyesakkan dada.

Tetapi itu juga salahku sendiri. Mestinya dia kubiarkan saja tak usah digubris, toh orang banyak juga sudah tahu jati diri Pak Tokohku ini. Biar jadi pejuang atau pecundang bukan urusanku. Namun, aku kok malah jadi ingat dokter gigi yang begitu mengagungkan Pak Tokohku. Bu Dokter ini dengan bangga menceritakan bagaimana semasa mahasiswa selalu membaca artikel yang ditulis Pak Tokohku di media cetak langganannya. Ya, dulu dia memang mempesona banyak orang.

Terkadang aku berpikir, apakah anomali cuaca di kampungku itu hanya cermin dari anomali yang lain. Kalau benar, wuik, kampungku jelas bukan sembarang kampung walau tetap saja ndeso. Coba dipikirkan, musim penghujan dan kemarau itu kan jelas ada masanya masing-masing. Kalau panas terik disebut kemarau, kalau basah karena hujan disebut penghujan. Kalau panas tapi hujan timbul pelangi. Nah, kalau hujan dan panas berdampingan, namanya apa?

Tidak jelas. Dan, sekarang ini soal ketidakjelasan rupanya sedang ngetrend. Di medsos, termasuk FB sedang rame "ledek meledek" setelah alumni 212 demo ke Komnas HAM, di antaranya meminta agar Hary Tanoe Soedibjo bos MNC dan Partai Perindo itu tidak dikriminalisasi. Sikap alumni 212 itu dinilai mengherankan karena Hary Tanoe itu dikenal sebagai pengusaha Tionghoa dan nonmuslim.

Padahal selama ini mereka secara gencar di medsos melancarkan "permusuhan" kepada kelompok Tionghoa nonmuslim. Inilah sikap yang dinilai aneh bin ajaib sehingga jadi bahan cibiran. Sebenarnya, kalau mau jujur, kedekatan kelompok ini pada HT sudah lama juga jadi gunjingan saat pilkada DKI Jakarta lalu. Misalnya saja beredarnya foto HT memberi tausyah di sebuah masjid, memakai baju muslim lengkap dengan kopiah, bersalaman dengan santri, dan lainnya.

Ironinya Riziek pentolan FPI yang kini kabur ke Arab Saudi itu, pernah menyerang pribadi HT secara langsung terkait pelaksanaan Miss Word. Sementara Alumni 212 itu juga termasuk FPI. Yang lucu, lantas muncul sindiran ala Gaj Ahmada beberapa waktu lalu, misalnya muncul sebutan H. Ary Tanoe, atau Haji Ary Tanoe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun