Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dicekal, Setya Novanto Makin Tersudut

17 April 2017   08:34 Diperbarui: 17 April 2017   18:00 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dorongan psikologis mereka justru memilih mengedepankan UU MD3, UU 17/2014, yang di antaranya mengatur hak imunitas anggota DPR. DPR juga lebih teringat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2011, yang membatalkan pasal pencegahan seseorang yang berstatus saksi dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Dengan kondisi itu, berlakulah semboyan "dikit-dikit presiden, dikit-dikit presiden". Apa saja yang terjadi membuat presiden harus diprotes, diangketkan, digoyang dan digoyang. Inilah yang selama ini ditunjukkan DPR. Kasus Ahok dan pengungkapan korupsi E-KTP yang menyasar banyak anggota dan pimpinan DPR itu hanya contoh dari sikap DPR ini. Pokoknya presiden itu selalu "gak bener", itulah citra yang terbentuk dari sikap Fadli, Fahri, dan kawan-kawan.

Kini, setelah kasus pencekalan Setya Novanto juga dibawa ke presiden, jadi semakin jelaslah jika di DPR telah terjangkit penyakit amnesia psikologis yang akut. Mereka lupa dengan jati dirinya sebagai wakil rakyat, pembuat undang-undang, dan tidak kebal hukum pidana terlebih korupsi. Kekebalan yang mereka miliki itu hanya terkait tugas sebagai anggota DPR dan bukan kebal karena maling anggaran, kongkalikong menyunat uang proyek, dan perkara pidana lain.

Salah satu alasan yang mereka kemukakan terkait keberatan Setya Novanto dicekal adalah Setya Novanto secara kelembagaan sesuai UU MD3 memiliki posisi penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Dia punya fungsi diplomatis yang masif, di antaranya menghadiri undangan di luar negeri. Selain itu, pencekalan itu bisa mencoreng nama DPR di kancah diplomasi internasional.

Jika itu alasannya, Ketua DPR punya tugas menghadiri undangan di luar negeri misalnya, Ketua DPR punya wakil yang bisa menggantikannya. Bukankah itu salah satu fungsi wakil ketua? Jika alasannya pencekalan bisa mencoreng nama DPR, seharusnya DPR menjaga marwahnya dengan tidak bertindak yang melanggar hukum dan sejenisnya.

Menarik menyimak pendapat pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan DPR seharusnya melakukan langkah hukum yang konsitusional. Misalnya, Setya Novanto menggugat pencekalan yang diajukan KPK itu ke PTUN atau anggota DPR melakukan yudisial review ke MK atas Pasal 13 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Jadi, bukan protes ke presiden karena KPK bukan bawahan presiden.

Kalau mengacu pendapat Yusril itu, DPR telah salah jalan alias telah tersesat karena mengesampingkan nalar sehat yang mereka miliki. Sebagai lembaga tinggi negara yang membuat dan mengawal konstitusi, mereka lupa bertindak konstitusional. Mereka selalu berlindung di balik hak imunitas dan kebesaran DPR yang punya kekuasaan khusus.

Ini mengingatkan drama yang tengah dimainkan DPD dan Mahkamah Agung terkait sengketa masa jabatan pimpinan DPD itu. Di satu pihak Mahkamah Agung telah membatalkan tata tertib yang mengubah masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun. Ini berarti kepemimpinan di DPD kembali ke seperti sebelumnya dan baru berakhir tahun 2019 nanti.

Di lain pihak, ada barisan anggota DPD yang menolak putusan Mahkamah Agung dan tetap ngotot mengadakan pemilihan ketua baru. Ajaibnya ada wakil ketua Mahkamah Agung yang justru datang dan terlibat pelantikan ketua baru itu. Jadi, para pendekar hukum itu tak taat hukum karena bertindak inkonstitusional.

DPR dalam kasus pencekalan Setya Novanto ini seharusnya mengedepankan cara-cara yang konstitusional dan bukannya emosional dengan berkirim surat protes (keberatan) ke presiden. Dengan begitu mereka tidak ikut salah langkah model DPD dan MA yang mengabaikan ketetapan dan keputusan hukum yang dibuat sendiri.

Salaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun