Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dicekal, Setya Novanto Makin Tersudut

17 April 2017   08:34 Diperbarui: 17 April 2017   18:00 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto tribunnews.com

Banyak spekulasi terkait karir politik Ketua DPR Setya Novanto paska penanganan kasus korupsi E-KTP. Ada yang menyebut Setya Novanto terlalu licin untuk terperangkap kasus itu dan akan tetap aman-aman saja. Ada pula yang berpendapat sebaliknya yaitu "sepandai-pandai Setya Novanto berkelit, akhirnya jatuh juga." 

Perkembangan penanganan kasus korupsi E-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun ini memang makin menyudutkan dia. Meski statusnya hingga kini masih sebagai saksi, namun peranannya dalam kasus korupsi ini semakin jelas terlihat. Kesaksian para terdakwa di persidangan, juga beberapa saksi lain menyebutkan peran penting Setya Novanto dalam.proyek E-KTP itu.

Upayanya menghilangkan jejak dalam kasus ini antara lain dengan mengirim pesan ke terdakwa Irman, mantan direktur jenderal kependudukan dan pencatatan sipil Kementerian Dalam Negeri, agar mengatakan tidak mengenal Setya Novanto, juga terbongkar. Irman dalam kesaksiannya menyebut dia dipesan supaya mengatakan tidak mengenal Setya Novanto kalau diperiksa KPK.

Awalnya, pesan mendesak itu disampaikan Setya Novanto kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Diah Anggraini. Kemudian, Diah meminta Biro Hukum Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh, untuk menyampaikan pesan Novanto kepada Irman. Dan akhirnya pesan sampai ke rumah Irman pada pukul 22.00, akhir 2014 lalu.

Kini dengan keluarnya surat cekal untuknya selama enam bulan ke depan, posisi Setya Novanto dalam kasus ini bisa dinilai semakin terjepit. Sangat mungkin statusnya berubah menjadi terdakwa dalam rentang waktu ini. Saat ini, KPK telah menambah dua terdakwa baru dalam kasus korupsi E-KTP ini, yaitu Andi Narogong dari pihak swasta pelaksana proyek ini, juga Miryam anggota DPR dari Partai Hanura yang sebelumnya mencabut semua keterangan di BAP dengan alasan diancam penyidik KPK.

Yang menarik, Andi Narogong selama ini disebut dekat dengan Setya Novanto meski Ketua DPR itu membantah sebagaimana dia membantah keterangan saksi lain. Yang juga menarik adalah sikap M. Nazarudin yang sebelumnya dengan lantang menyebut keterlibatan Setya Novanto, tiba-tiba berubah haluan dengan mengatakan lupa atau tidak tahu ketika ditanyai soal keterlibatan Setya Novanto, seperti yang tertulis di BAP. 

Perkembangan penanganan kasus E-KTP yang diwarnai tindak penganiayaan biadab dengan menyiramkan air keras ke penyidik senior KPK Novel Baswedan juga bisa membuat nama Setya Novanto makin terpuruk. Sebelum kejadian itu, Novel saat bersaksi di pengadilan menyebut Miryam yang mencabut keterangan di BAP itu, saat pemeriksaan justru menyatakan telah diancam anggota DPR lain. 

Nama-nama yang disebut yaitu Bambang Soesatyo, Azis Syamsuddin, Desmond Junaidi Mahesa, Masinton Pasaribu, Sarifuddin Sudding, dan satu lagi yang tak disebut namanya. Keterangan Novel Baswedan ini bertolak belakang dengan alasan Miryam saat mencabut keterangan di BAP, yaitu diancam penyidik KPK. 

Padahal saat diperiksa di KPK, Miryam mengaku diancam dan disuruh tidak mengakui adanya bagi-bagi uang di Komisi II saat itu. Dan, di depan penyidik Miryam juga menyebut secara rinci aliran dana yang dibagi itu. Semua hasil pemeriksaan ini bisa dibuktikan dengan rekaman CCTV di Kantor KPK. 

Aksi Miryam ini mengingatkan pada pesan rahasia Setya Novanto kepada Irman akhir 2014 lalu, juga perubahan sikap M. Nazaruddin yang mendadak lupa dan tidak tahu ketika ditanyai soal Setya Novanto. Bisa saja, adanya ancaman atau pesan agar tidak mengakui adanya bagi-bagi duit E-KTP kepada anggota DPR itu benar adanya. Dalam kasus Miryam, ada enam anggoa DPR yang terlibat, termasuk satu yang tidak disebut itu.

Cukup wajar, jika kejadian yang  menimpa Novel Baswedan dicurigai terkait kasus E-KTP walaupun terlalu dini untuk menilai seperti itu. Sebabnya, usaha membuntuti Novel Baswedan (menurut keterangan saksi tetangga Novel dan juga takmir masjid setempat) telah terjadi sejak dua bulan lalu. Artinya, sepasang pelaku yang menyiramkan air keras (yang disebut si gemuk dan si kurus itu) punya kemungkinan terkait dengan semua kasus yang ditangani Novel, mulai dari kasus Patrialis Akbar sampai E-KTP. 

Namun, mengingat besarnya kasus  E-KTP baik dari segi jumlah kerugian uang negara maupun jumlah pejabat yang terlibat (mulai dari anggota dan pimpinan DPR, gubernur, pejabat tinggi negara, hingga mantan pejabat tinggi negara) maka cukup wajar kasus E-KTP inilah yang dicurigai sebagai alasan penyerangan Novel Baswedan. Dan, ada nama Setya Novanto dalam deretan pejabat yang tersasar kasus ini. 

Yang membuat nama Setya Novanto makin tidak bagus adalah serangan terhadap Novel Baswedan Selasa Subuh itu, hanya selang beberapa jam setelah Direktorat Jenderal Imigrasi mengeluarkan perintah cekal Setya Novanto atas permintaan KPK Senin malam (10/4/2017). Tidak bisa tidak orang akan teringat Setya Novanto atas kejadian yang menimpa Novel itu.

Suasana kebatinan inilah yang gagal dipahami atau diabaikan oleh DPR yang dimotori Fahri Hamzah dan kawan-kawan itu. Bukannya prihatin atas kejadian yang menimpa Novel, justru mereka lebih mendahulukan egonya dengan mengirim surat protes ke presiden.  Seharusnya mereka mengutuk dengan keras apa yang menimpa penyidik KPK itu. 

Mereka juga seharusnya menyerukan pengusutan dan penuntasan kasus korupsi yang kini tengah ditangani KPK itu. Walaupun ditengarai banyak anggota DPR dan pimpinan DPR ikut tersangkut kasus itu, mereka sebagai wakil rakyat harus berani bersikap. Tetapi, kenyataannya tidak seperti itu. 

Sikap itu makin mengukuhkan penilaian bahwa DPR memang tidak pro pada upaya pemberantasan korupsi. Mereka tampak selalu berseberangan dengan KPK dalam pemberantasan korupsi walaupun harus diakui masih ada anggota DPR yang bersikap sebaliknya. 

DPR juga terus menyuarakan upaya revisi UU  KPK yang justru akan melemahkan KPK karena menyangkut empat hal, yaitu pembatasan penyadapan, kewenangan pengangkatan penyelidik dan penyidik, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3), dan pembentukan dewan pengawas. Februari lalu, atas perintah pimpinan DPR, kembali dilakukan sosialisasi revisi UU KPK itu ke perguruan tinggi, meski rencana revisi itu tak ada di program legislasi nasional.

Semua fakta itu menunjukkan seperti apa wajah DPR yang sebenarnya dalam urusan korupsi. Dengan tindakan protes ke presiden terkait pencekalan Setya Novanto, makin lengkaplah semua itu. DPR memang sudah mengalami amnesia, lupa kepada jati dirinya, akal sehatnya, dan tugas serta tanggung jawabnya, termasuk dalam peperangan melawan korupsi. DPR seperti telah jadi sahabat koruptor dan jadi musuh rakyat.

DPR Salah Langkah

Pencekalan Ketua DPR Setya Novanto oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas permintaan KPK telah sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Undang-undang yang dibuat DPR dan pemerintah ini memberikan kewenangan kepada KPK untuk mencekal seseorang meski masih berstatus sebagai saksi atau perkaranya masih dalam tahap penyidikan dan penyelidikan. 

Lantas mengapa DPR kok malah protes ke Presiden Jokowi, bukankah itu aturan yang mereka buat sendiri? Jawabannya, mungkin karena mereka sedang terkena amnesia akibat guncangan kasus korupsi E-KTP yang menyeret begitu banyak anggota dan pimpinan DPR.

Syok akibat deraan kasus ini, yang menggema di persidangan dan pemberitaan, sangat mungkin telah menimbulkan perlawanan membabi buta terhadap KPK. Karena melawan secara membabi buta, maka nalar sehat kurang dikedepankan. Kondisi ini bisa memicu amnesia psikologis sehingga meminggirkan dan melupakan produk perundangan yang telah mereka buat sendiri, yaitu UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK Pasal 13 tadi.

Dorongan psikologis mereka justru memilih mengedepankan UU MD3, UU 17/2014, yang di antaranya mengatur hak imunitas anggota DPR. DPR juga lebih teringat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2011, yang membatalkan pasal pencegahan seseorang yang berstatus saksi dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Dengan kondisi itu, berlakulah semboyan "dikit-dikit presiden, dikit-dikit presiden". Apa saja yang terjadi membuat presiden harus diprotes, diangketkan, digoyang dan digoyang. Inilah yang selama ini ditunjukkan DPR. Kasus Ahok dan pengungkapan korupsi E-KTP yang menyasar banyak anggota dan pimpinan DPR itu hanya contoh dari sikap DPR ini. Pokoknya presiden itu selalu "gak bener", itulah citra yang terbentuk dari sikap Fadli, Fahri, dan kawan-kawan.

Kini, setelah kasus pencekalan Setya Novanto juga dibawa ke presiden, jadi semakin jelaslah jika di DPR telah terjangkit penyakit amnesia psikologis yang akut. Mereka lupa dengan jati dirinya sebagai wakil rakyat, pembuat undang-undang, dan tidak kebal hukum pidana terlebih korupsi. Kekebalan yang mereka miliki itu hanya terkait tugas sebagai anggota DPR dan bukan kebal karena maling anggaran, kongkalikong menyunat uang proyek, dan perkara pidana lain.

Salah satu alasan yang mereka kemukakan terkait keberatan Setya Novanto dicekal adalah Setya Novanto secara kelembagaan sesuai UU MD3 memiliki posisi penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Dia punya fungsi diplomatis yang masif, di antaranya menghadiri undangan di luar negeri. Selain itu, pencekalan itu bisa mencoreng nama DPR di kancah diplomasi internasional.

Jika itu alasannya, Ketua DPR punya tugas menghadiri undangan di luar negeri misalnya, Ketua DPR punya wakil yang bisa menggantikannya. Bukankah itu salah satu fungsi wakil ketua? Jika alasannya pencekalan bisa mencoreng nama DPR, seharusnya DPR menjaga marwahnya dengan tidak bertindak yang melanggar hukum dan sejenisnya.

Menarik menyimak pendapat pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan DPR seharusnya melakukan langkah hukum yang konsitusional. Misalnya, Setya Novanto menggugat pencekalan yang diajukan KPK itu ke PTUN atau anggota DPR melakukan yudisial review ke MK atas Pasal 13 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Jadi, bukan protes ke presiden karena KPK bukan bawahan presiden.

Kalau mengacu pendapat Yusril itu, DPR telah salah jalan alias telah tersesat karena mengesampingkan nalar sehat yang mereka miliki. Sebagai lembaga tinggi negara yang membuat dan mengawal konstitusi, mereka lupa bertindak konstitusional. Mereka selalu berlindung di balik hak imunitas dan kebesaran DPR yang punya kekuasaan khusus.

Ini mengingatkan drama yang tengah dimainkan DPD dan Mahkamah Agung terkait sengketa masa jabatan pimpinan DPD itu. Di satu pihak Mahkamah Agung telah membatalkan tata tertib yang mengubah masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun. Ini berarti kepemimpinan di DPD kembali ke seperti sebelumnya dan baru berakhir tahun 2019 nanti.

Di lain pihak, ada barisan anggota DPD yang menolak putusan Mahkamah Agung dan tetap ngotot mengadakan pemilihan ketua baru. Ajaibnya ada wakil ketua Mahkamah Agung yang justru datang dan terlibat pelantikan ketua baru itu. Jadi, para pendekar hukum itu tak taat hukum karena bertindak inkonstitusional.

DPR dalam kasus pencekalan Setya Novanto ini seharusnya mengedepankan cara-cara yang konstitusional dan bukannya emosional dengan berkirim surat protes (keberatan) ke presiden. Dengan begitu mereka tidak ikut salah langkah model DPD dan MA yang mengabaikan ketetapan dan keputusan hukum yang dibuat sendiri.

Salaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun