Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merasa Dizalimi: Mulai dari SBY, Patrialis, Riziek, Buni Yani, hingga Sylviana

29 Januari 2017   16:54 Diperbarui: 29 Januari 2017   17:05 3929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: slideshare.net

Pada 1 Februari 2009, di Gedung Kanisius, Jakarta, dalam Sarasehan Kebangsaan "Meneguhkan Kembali Keindonesiaan dalam Politik dan Pemilu 2009", pengamat politik CSIS J Kristiadi menyebut "taktik dizalimi" diterapkan Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendongkrak popularitasnya, terkait relasinya dengan Megawati Soekarnoputri. Ternyata taktik ini terus berulang, baik oleh SBY maupun pihak lain. Masihkah rakyat percaya dengan taktik semacam itu?

J Kristiadi saat itu secara gamblang menyebut pola-pola dizalimi itu dijadikan alat lagi untuk mengangkat dia (SBY) dan membuat orang menjadi simpatik padanya. Termasuk isu "asal bukan S", yang secara spesifik menuduh TNI AD bermain di belakangnya. Saat itu, ada tiga mantan petinggi TNI yang akan maju dalam pilpres, yaitu Wiranto, Prabowo, dan Sutyoso.

Hal itu dinilainya akan memunculkan stigma di tubuh TNI mengapa tega-teganya menjual TNI. "Ini memecah aparatnya yang seharusnya menjadi sandaran dan pilar kekuatannya. Panglima tertinggi kok meragukan panglimanya itu." (kompas.com, 2/2/2009)

Masih pada tahun yang sama, tepatnya 30 Oktober 2009, Tifatul Sembiring yang menjabat Menkominfo juga menyatakan SBY merasa dizalimi atas disebutnya namanya dalam rekaman rekayasa kasus kriminalisasi pimpinan KPK Bibit Slamet Rijanto dan Candra Hamzah. 

Nama RI-1 disebut-sebut dalam transkrip percakapan yang diduga Anggodo Widjojo dengan sejumlah orang, termasuk pejabat di Kejaksaan Agung dan Polri. Anggodo adalah adik Anggoro Widjojo, tersangka kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.

Pada, 9 Februari 2014, di peringatan Hari Pers Nasional di Bengkulu, SBY juga mengkapkan perasaan dizalimi oleh media. Selama 10 tahun menjadi presiden, pers kerap sinis dan kurang bersahabat. "Selalu ada kritikan dan pergunjingan pada saya dan keluarga," kata SBY. 

Keluhan senada juga pernah diutarakannya pada PP PWI di Banjarbaru, Kalimantan Selatan tahun 2013. SBY merasa dipojokkan dan "digebuki" oleh pemberitaan di media massa. SBY juga menyebut dirinya sebagai "korban pers". (tempo.co, 9/2014)

Masih ada lagi beberapa pernyataan "terzalimi" sesudah itu yang dilontarkan SBY baik terkait tuduhan usulan pembubaran Petral yang macet di masanya, sampai urusan TPF Munir, rumah pemberian negara, sampai tudingan penyandang dana demo. Itulah mengapa ada yang menilai SBY cuku akrab dengan curhat terzalimi dari dulunya.

Rupanya urusan merasa dizalimi ini bukan hanya dari SBY. Beberapa tokoh lain juga mengutarakan pernyataan merasa dizalimi atas kasus yang menimpa mereka. Akhir-akhir ini, setidaknya ada empat orang yang juga merasa dizalimi setelah mereka terlibat perkara, baik urusan korupsi, penistaan agama, penistaan Pancadila, dan tindakan lain yang terkait penegakan hukum.

Mereka adalah Patrialis akbar, mantan hakim konstitusi, Riziek Shihab FPI, Buni Yani dosen pengunggah video dugaan pelecehan Alquran oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok), dan Sylviana Murni cawagub DKI yang kini berurusan dengan poisi karena kasus pembangunan masjid dan dana hibah untuk pramuka.

Patrialis akbar mantan hakim konstitusi yang terkena OTT KPK itu dengan lantang menyatakan "Demi Allah saya betul-betul dizalimi. Nanti kalian bisa tanya sama Basuki. Bicara uang saja saya nggak pernah. Sekarang saya jadi tersangka. Bagi saya ini adalah ujian, ujian yang sangat berat." (detik.com, 27/1/2017)

Riziek Shihab FPI juga merasa dizalimi setelah serangkaian laporan masuk ke polisi terkait pernyataannya juga tindakannya yang dinilai melanggar hukum. Dia dilaporkan telah menistakan Pancasila, menistakan agama Kristen, menyebar fitnah terkait logo palu arit di uang rupiah baru, mengubah sapaan "sampurasun" menjadi "campur racun", menyerobot tanah negara di puncak, hingga menghina hansip.

Rizieq merasa ulama sedang dizalimi dan terus dicari kesalahannya. Bahkan Rizieq sampai menyebut tindakan kecilnya bisa berakibat laporan di polisi. "Andai kata, andai kata, saya menginjak semut pun, semut akan digiring buat melaporkan saya," kata Rizieq usai diperiksa di Polda Metro Jaya. (merdeka.com, 24/1/2017)

Lain lagi dengan Buni Yani dosen pengedit dan pengunggah foto pidato Ahok hingga menimbulkan protes ramai-ramai yang didirijeni sehingga melahirkan serangkaian aksi demo itu. Akhirnya, Ahok pun kini harus menjalani sidang dengan dakwaan penistaan agama. Dosen ini merasa dirinya telah diseret ke dalam agenda para elite politik. "Jangan orang seperti saya yang bergerak di bidang pendidikan, ikut diseret-seret dalam agenda politik. Saya dikorbankan, itu zalim namanya," ujarnya. (republika.co.id, 7/11/2016)

Yang terakhir, Sylviana Murni cawagub DKI pasangan Agus Harimurti Yudhoyono putra SBY itu, juga merasa dirugikan dan dizalimi atas apa yang menimpa dirinya. Namun, dia katanya memilih memaafkan orang yang menzaliminya. "Kalau saya laporkan tidak sempat urus itu. Saya lebih sibuk (kampanye) ke warga," ucap Sylviana. (tempo.co, 28/1/2017)

Ada dua kasus yang melibatkan Sylviana, yang kini sudah dinaikkan ke tingkat penyidikan. Meski masih berstatus saksi, sudah muncul tudingan dari kubunya bahwa kasus itu dipolitisasi yang tentu saja dibantah polisi. Dua kasus itu adalah pembangunan Masjid Al Fauz di kantor Wali Kota Jakarta Pusat. Senin besok, Sylviana akan kembali diperiksa oleh Bareskrim Polri.

Kasus kedua dugaan korupsi pengelolaan dana hibah Kwartir Daerah Pramuka DKI Jakarta tahun anggaran 2014 dan 2015. Pada akhir 2013, Sylviana yang saat itu menjabat deputi gubernur DKI Jakarta bidang kebudayaan dan pariwisata, terpilih sebagai ketua Kwarda Pramuka Jakarta periode 2013-2018. 

MASIHKAH RAKYAT PERCAYA DAN SIMPATI?

Dulu pernyataan terzalimi yang terekspos sedemikian rupa oleh media massa, bisa jadi alat ampuh untuk meraih simpati dan dukungan massa. Kemenangan SBY pada pilpres yang mengantarkan pada masa jabatan pertamanya, 2004-2009, diyakini banyak pihak karena keberhasilannya meraih simpati dan dukungan rakyat atas relasinya dengan Megawati Soekarnoputri. SBY saat itu dikesankan, dicitrakan, dan diberitakan sebagai pihak yang terzalimi oleh Megawati Soekarnoputri. 

Pada pilpres kedua yang mengantarkannya pada masa jabatan 2009-2014, citra terzalimi itu dengan format berbeda sebagaimana diungkap J Kristiadi, juga dipakai. Tetapi banyak pihak menilai taktik itu kurang ampuh. Meski menang, ada suara menyebut politik uang sangat berperan.

Sebenarnya, dengan mengikuti rangkaian curhat SBY dari tahun ke tahun dan reaksi media terpercaya dalam memberitakannya, sudah bisa terbaca bahwa masyarakat sudah semakin kritis dalam menilai pernyataan merasa terzalimi. Artinya, mereka sudah tidak mudah ditipu lagi dengan gaya dan taktik komunikasi semacam itu. 

Entahlah jika pernyatan merasa dizalimi itu ditujukan untuk orang-orang tua di perdesaan yang relatif kurang melek informasi. Tetapi itu juga hanya efektif jika media yang dipakai adalah televisi. Sementara komunikasi saat ini didominasi medsos, portal berita online, dan media cetak. 

Karena itu, ketika Patrialis, Riziek, Buni Yani, Sylviana juga menggunakan komunikasi yang serupa, merasa dizalimi, timbul pertanyaan masihkan rakyat percaya dan simpati dengan pernyataan semacam itu. Jika pernyataan itu sekedar pernyataan tanpa adanya upaya menggaungkannya sehingga menjadi informasi yang sambung menyambung, jelas kurang efektif untuk meraih simpati dan dukungan. Rakyat makin kritis.

Dan, mungkin di sinilah peran goreng-menggoreng informasi (bisnis hoax dan juru fitnah) menjadi strategis agar pernyataan merasa dizalimi mendapat pembenaran dan simpati. Tetapi pertanyaannya adalah adakah relasi langsung antara pernyataan merasa dizalimi itu dengan bisnis hoax dan juru fitnah itu. Kita harus hati-hati dalam menjawabnya.  

Bisa saja kecurigaan (yang menyebut adanya relasi baik langsung atau tidak antara pernyataan merasa dizalimi dengan upaya goreng menggoreng berita oleh kelompok kepentingan) itu benar dan membuat taktik dizalimi ini masih ampuh. Asalkan, gorengannya cespleng dan didukung produksi informasi yang membanjiri medsos, portal berita, syukur-syukur bisa menembus televisi, media cetak, dan kantor berita ternama.

Tetapi itu jelas sebuah upaya yang mahal, melibatkan cyber army, wartawan bayaran, juga mungkin saja (kalau bisa) membeli "jam tayang" televisi, atau halaman surat kabar dan majalah. Semua upaya itu menyuarakan hal yang sama bahwa si A benar-benar telah dizalimi, sebagaimana pernyataan si A.

Tetapi, kalau mengacu pada pendapat itu, maka si pengucap merasa dizalimi itu harus memenuhi syarat agar ucapannya itu bisa tergoreng dan menjadi bisa "dipercaya". Pertama, dia didukung oleh kelompok goreng menggoreng berita karena punya relasi langsung dan kepentingan bersama. Kedua, orang itu bisa dimanfaatkan untuk menggoyang kredibilitas pihak lain yang dinilai menzalimi.

Apakah Patrialis Akbar, Riziek, Buni Yani, Sylviana Murni memenuhi kriteria itu? Kalau melihat situasi politik yang ada saat ini, keempat orang itu memenuhi syarat. Patrialis paling tidak bisa mendapat dukungan karena bisa menggoyang kredibilitas KPK kalau pernyataannya merasa dizalimi dan tidak menerima uang sepeser lun itu benar.

Sylviana Murni jelas memenuhi syarat karena majunya dia sebagai cawagub bersama Agus putra SBY tentu telah diiringi tim informasi yang tangguh. Tim ini tentu tak akan membiarkan begitu saja jagoannya merasa dizalimi tanpa tindak lanjut. Karena itu pula, serangkaian produk berita, artikel, opini, dan cuitan di medsos wajar jika telah membanjiri dunia informasi Pilkada DKI.

Riziek FPI pun demikian. Jaringan FPI dengan cyber army-nya tentu telah pula memproduksi serangkaian berita, informasi, cuitan di medsos, dan lainnya. Semua tentu dengan gegap gempita akan mendukung pernyataan Riziek telah dizalimi karena secara beruntun telah dilaporkan ke polisi dengan berbagai tuduhan dan kasus.

Buni Yani, yang mungkin kurang mendapat dukungan sehebat Sylvi atau Riziek. Tetapi, serangkaian upaya mulai pemberian gelar pahlawan, pengumpulan donasi, pendampingan hukum, juga dukungan di medsos, menunjukka dia juga memenuhi syarat sebagai pihak yang layak diberi bantuan goren-menggoreng informasi itu.

Meskipun demikian, tulisan bukan hendak menuduh bahwa benar ada upaya semacam itu untuk membuat pernyataan "merasa dizalimi" yang mereka ucapkan bisa meraih simpati dan dukungan masyarakat. Tetapi, syarat untuk terwujudnya dukungan semacam itu ada pada mereka.

Tetapi, lagi-lagi pertanyaannya adalah, apakah masyarakat percaya dan bersimpati atas pernyataan merasa dizalimi itu. Jawabannya tentu kembali kepada masyarakat sendiri. Benar bahwa manajemen isu (goreng menggoreng informasi) bisa mempengaruhi pasar informasi. Tetapi, jika masyarakat semakin kritis, tentu mereka tidak lagi mudah terharu atau bersimpati meski seseorang mengaku merasa dizalimi. Terlebih lagi jika kasus yang membelit orang itu terang benderang.

Karena itulah, pernyataan merasa dizalimi seseorang yang terkena kasus hukum, baik korupsi atau yang lain, saat ini relatif kurang mendapat tempat di hati rakyat. Apalagi jika pernyataan merasa dizalimi itu berulangkali terucap, sehingga seolah jadi lagu wajib dan sedang tren. Jadi sebaiknya jangan senang berucap "saya dizalimi", lebih baik pilih kalimat yang lain saja.

Salam

Bacaan pendukung:

http://news.kompas.com/read/2009/02/01/14420327/sby.pakai.taktik.quotdizalimiquot

https://m.tempo.co/read/news/2017/01/28/063840790/mengaku-dizalimi-sylviana-murni-ikhlas-terima-ujian

https://m.tempo.co/read/news/2014/02/09/058552484/hari-pers-sby-merasa-dizalimi-media

http://palembang.tribunnews.com/30/10/2009/sby-merasa-dizalimi

https://m.merdeka.com/peristiwa/saat-rizieq-merasa-dizalimi-sampai-injak-semut-pun-bakal-dilaporkan.html

http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/11/07/og9ywa361-buni-yani-merasa-dizalimi-oleh-agenda-elite-politik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun