Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Alangkah (Tidak) Enaknya Dinasti Korup di Negeri Ini

5 Januari 2017   16:44 Diperbarui: 5 Januari 2017   16:54 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat Bupati Klaten Sri Hartini di-OTT KPK karena memperjualbelikan jabatan di lingkungan pemerintahannya, terbukalah sebuah kisah dinasti kekuasaan yang sungguh menarik. Dia bersama Sri Mulyani wakil bupati Klaten, ternyata merupakan istri-istri dari dua bupati sebelumnya. Sri Hartini adalah istri Haryanto Wibowo bupati Klaten 2000-2005, sementara Sri Mulyani adalah istri Sunarna bupati Klaten pada 2005-2015. 

Pasangan bupati dan wakil bupati Klaten periode 2016-2021 ini juga memecahkan rekor MURI sebagai pasangan wanita pertama yang memenangkan Pilkada secara langsung. Tetapi, rekor itu kini tampak kurang menarik dibanding kisah korupsi yang melanda Sri Hartini dan juga kasus korupsi yang pernah menimpa almarhum suaminya Haryanto Wibowo.

Suami Sri Hartini itu menjabat bupati Klaten periode 2000-2005. Saat itu, dia terkena kasus penggunaan dana APBD untuk perjalanan ke luar negeri  dan juga pernah ditetapkan sebagi tersangka dalam kasus proyek pengadaan buku paket tahun ajaran 2003/2004 senilai Rp4,7 milar. Namun kasusnya dihentikan karena dia meninggal dunia.

Setelah Haryanto Wibowo, bupati Klaten dijabat Sunarna suami Sri Mulyani yang didampingi Samiaji sebagai wakilnya, untuk periode 2005-2010. Baru pada masa jabatan kedua, 2010-2015, Sri Hartini ganti mendampingi Sunarna sebagai wakil bupati.

Setelah itu, giliran Sri Hartini yang jadi bupati dan wakil bupatinya dijabat Sri Mulyani istri Sunarna untuk masa jabatan 2016-2021. Dan kini setelah Sri Hartini ditangkap KPK, Sri Mulyani yang otomotis akan menggantikannya hingga 2021 nanti, kalau dia tidak terlibat jual beli jabatan juga. Berarti selama 20 tahun Klaten dipimpin dua keluarga itu secara bergiliran.

Bisa saja, andaikan Sri Hartini tidak di-OTT KPK, pasangan itu bisa memimpin Klaten untuk dua periode jabatan hingga 2026 nanti. Dan saat giliran Sri Mulyani tampil sebagai bupati, wakilnya mungkin bisa anak Sri Hartini atau kerabat lain untuk periode 2026-2031 dan periode 2031-2036. Demikianlah, kepemimpinam itu sambung-menyambung sampai tujuh turunan kalau warga Klaten tidak melakukan perlawanan atas praktek dinasti kekuasaan seperti itu.

Kisah kekuasaan yang sambung menyambung juga ditemukan saat KPK meng-OTT walikota Cimahi Atty Suharti 1 Desember 2016 lalu. Atty Suharti yang ditangkap bersama suaminya Itoc Tochija dalam perkara suap Rp 6 miliar pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi tahap II. Suami istri ini ternyata telah memimpin Cimahi sejak 15 tahun lalu. 

Dr. Ir. Itoc Tochija, MM adalah walikota Cimahi dua periode, periode 2002-2007 dan periode 2007-2012. Jabatan walikota Cimahi lantas dipegang oleh istrinya, Atty Suharti, SE untuk periode 2012-2017. Dan rencananya, Atty akan maju kembali pada pemilihan walikota Cimahi tahun ini, untuk meraih masa jabatan 2017-2022. Tetapi, Atty keburu ditangkap KPK bersama suaminya.

Namun, dua kisah dinasti politik itu mungkin kalah poluler dengan kisah yang ini. Kisah dinasti politik mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosyah yang juga ditangkap KPK karena korupsi pada 2013 lalu. Ada 4 orang keluarga besar Atut menjadi walikota ataupun bupati di Banten, sementara keluarga lain ada yang menjadi anggota DPRD, DPR RI, juga DPD RI.

Ibu tiri Atut, Heryani, tercatat pernah jadi wakil bupati Pandeglang, untuk masa jabatan 10 Maret 2011–10 Maret 2016. Sementara saudara kandungnya, Ratu Tatu Chasanah, pernah menjabat sebagai wakil bupati Serang periode 28 Juli 2010–28 Juli 2015 dan sejak 17 Februari 2016 naik pangkat dilantik jadi bupati.

Adik tiri Ratu Atut Chosiyah, yaitu Tubagus Haerul Jaman juga tercatat sebagai wali kota Serang sejak 2011 hingga 2018 nanti. Sementara ipar Ratu Atut, yaitu Airin Rachmi Diany menjabat walikota Tangerang Selatan sejak  April 2011 hingga tahun 2021 nanti untuk masa jabatan keduanya.

Tak hanya jabatan bupati dan walikota, keluarga Ratu Atut adalah penguasa di kepengurusan Partai Golkar Banten. Terbukti meski Ratu Atut masuk penjara, Ratu Tatu Chasanah tetap berhasil menjabat ketua DPD Golkar Banten. Suami Ratu Atut, Hikmat Tomet (almarhum) adalah mantan anggota DPR RI dari Golkar. 

Putra sulungnya, Andhika Hazrumy, jadi anggota DPD RI mewakili Banten pada 2009-2014 dan dilanjut jadi anggota DPR RI hingga 2019 nanti. Dan, kini Andhika maju jadi cawagun Banten mendampingi Wahidin. Istri Andhika yaitu Ade Rosi Khairunnisa, juga tercatat pernah jadi wakil ketua DPRD Serang dan sejak April 2016 lalu menjabat wakil ketua DPRD Provinsi Banten.

Menantu Ratu Atut yang lain, yaitu Tanto Warsono Arban sejak Maret 2016 lalu menjabat sebagai wakil bupati Pandeglang, jabatan yang sebelumnya dipegang ibu tiri Ratut Atut, yaitu Heryani. Sebelumnya, Tanto tercatat sebagai anggota DPRD Banten. Keluarga besar Ratu Atut hampir semua menggunakan gerbong Partai Golkar untuk meraih jabatan politiknya.

Di luar itu, kisah dinasti politik yang jadi sorotan setelah tersangkut korupsi dan berurusan dengan KPK, juga banyak. Di Bangkalan Madura, Jatim misalnya. Kasus Fuad Amin ketua DPRD yang ditangkap KPK karena kasus suap terkait alokasi gas bumi di Blok Poleng Bangkalan, oleh PT Media Karya Sentosa. 

Fuad Amin membangun dinasti politiknya sejak lama dengan menjadi pengurus beberapa parpol. Terakhir dia tercatat bergabung di Partai Gerindra. Dia menjabat bupati Bangkalan selama dua periode, yaitu periode 2003-2008 dan periode 2008-2013. Setelah itu, dia menjabat ketua DPRD Bangkalan. 

Namun, sebelum menjabat ketua DPRD Bangkalan, dia telah sukses menempatkan anaknya, Makmun Ibnu Fuad, sebagai bupati Bangkalan menggantikan dirinya untuk masa jabatan 2013-2018. Dengan demikian dia dan keluarganya praktis menjadi raja kecil di Bangkalan. Jangan tanya lagi bagaimana kekuasaan Fuad Amin waktu itu. Bahkan urusan atur-atur suara hasil pilgub, pilpres, atau pemilu di TPS dengan nol suara pun tak luput dari orang kuat ini.

Di Sumatra Selatan pun juga ada praktek semacam itu. Bupati Banyuasin Yan Anto Ferdian yang di-OTT KPK usai pengajian menjelang berangkat haji karena suap proyek, adalah produk politik dinasti juga. Dia yang menjabat bupati Banyuasin periode 2013-2018, menggantikan Rosihan Arsyad ayahnya yang telah menjabat di kabupaten itu sejak tahun 2002 lalu. 

Rosihan Arsyad pertama kali menjabat sebagai pelaksana tugas bupati di Kabupaten Banyuasin, yang merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin, pada 2002. Dia lantas maju dalam pilkada dan jadi bupati. Sementara Yan Anto Ferdian putra sulungnya menjabat ketua DPD Golkar Banyuasin dan anggota DPRD Sumsel sejak 2009-2013. 

Ketika masa jabatan Rosihan Arsyad habis, Yan Anto maju dalam Pilkada bersama Suman Asra Supriono. Dia sempat didiskualifikasi oleh KPU Banyuasin dalam Pilkada itu karena bertindak curang. Namun KPUD Provinsi Sumsel menganulir keputusan itu, dan Yan Anto Ferdian pun akhirnya menang dan menjabat bupati menggantikan ayahnya.

Mungkin, kalau dibuat cerita bersambung, kisah dinasti politik yang berkuasa di negeri ini bisa menghasilkan buku tersendiri. Dan sampai sejauh ini, politik dinasti yang terungkap menunjukkan wajahnya yang korup. Mereka muncul seperti raja-raja kecil di daerah, menguasai potensi politik dan ekonomi, membangun kerajaan bisnis dan politik. 

Mengendalikan jalannya pembangunan di daerah dengan pelaku utama sebuah keluarga besar penguasa, saling mendukung dan bersinergi untuk mempertahankan dan membangun kekuasaan ekonomo dan politik, adalah ciri-ciri adanya dinasti politik. Jelas ini sebuah praktek demokrasi yang menyimpang.

PERLUKAH DINASTI POLITIK DILARANG?

Saya percaya, Republik Indonesia diproklamasikan 17 Agustus 1945 lalu bukanlah untuk melahirkan raja-raja kecil yang berkuasa di daerah dan maharaja di ibu kota sebagai koordinatornya untuk mengelola kekuasaan dinasti yang dijamin konstitusi. Oleh karena itu, sudah seharusnya ada aturan hukum yang menegaskan hal itu tanpa menghilangkan hak warga negara untuk memegang jabatan pemerintahan melalui pemilihan langsung oleh rakyat yang demokratis.

UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada sebenarnya pernah menetapkan kerabat petahana dilarang ikut pilkada sebelum jeda satu masa jabatan. Larangan ini setidaknya bisa memutus mata rantai kekuasaan agar tidak jatuh ke satu dinasti kekuasaaan secara terus menerus. Aturan itu sama sekali tidak menghilangkan hak warga negara untuk ikut dalam perebutan jabatan setingkat gubernur/bupati/walikota dalam pilkada tetapi hanya menunda dengan batas waktu satu kali masa jabatan. 

Tetapi, Mahkamah Konstitusi menilai ketetapan yang tertuang dalam Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Ketetapan dinilai diskriminatif dan membuat warga negara tidak sama kedudukannya di depan hukum dan melanggar HAM. Karenanya, ketetapan itu dianulir.

Meskipun keputusan MK yang diteken Juli tahun 2015 lalu itu dipuji sebagai keputusan yang tepat oleh beberapa pakar hukum ternama, tetap saja keputusan itu menimbulkan tanda tanya besar. Keputusan MK itu untuk kebaikan republik ini ataukan sekedar baik bagi petahana dan keluarganya untuk melanggengkan sebuah dinasti politik di daerah-daerah?

Dan setelah setahun lebih berlalu, terbukti keputusan MK itu memang baik bagi petahana dan keluarganya untuk membangun dan melanggengkan kekuasaan dinasti di daerah-daerah yang cenderung korup. Data yang muncul, banyak kasus OTT KPK atas pejabat di daerah menunjukkan adanya dinasti kekuasaan yang korup di sana. Ini fakta bukan ilusi.

Dengan fakta itu, sudah waktunya ada ketetapan hukum baru yang membatasi ruang gerak kekuasaan di daerah-daerah atau di pusat agar tidak dijalankan oleh sebuah dinasti kekuasaan yang berpotensi korup. Kalau memang keputusan MK bersifat akhir dan mengikat, tak ada salahnya membuat ketetapan perundang-undangan yang baru. MK itu isinya juga manusia, yang punya sifat salah dan kepentingan pribadi atau golongan.

Itu pandangan saya sebagai orang ndeso, yang tak biasa berpikir "ndakik-ndakik" dalam bahasa hukum yang rumit (yang katanya mengacu pada HAM). Alasannya sederhana. Kalau memang negeri ini dari awalnya adalah untuk memfasilitasi dinasti politik sebagai penguasanya, tentu cukup menghidupkan kerajaaan yang sudah ada dan membentuk sebuah kemaharajaan yang dijabat secara bergilir oleh raja-raja yang ada. 

Kenyataannya negeri ini diproklamasikan dengan berbentuk republik atau kekuasaannya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kita mengenal presiden, gubernur, bupati, lurah atau kepala desa sebagai perwujudan kekuasaan pemerintahan oleh rakyat. Memang terbentuknya pemimpin pemerintahan seperti sekarang ini melalui proses berliku hingga seperti sekarang ini.

Jabatan presiden yang sebelumnya tak dibatasi berapa periode, kini dibatasi dua kali masa jabatan. Yang sebelumnya dipilih MPR kini dipilih langsung oleh rakyat. Gubernur dan bupati/walikota pun demikian. Ada pembatasan masa jabatan dan dan pilihan langsung oleh rakyat ini, menegaskan negeri ini berbentuk republik dan demokratis, yang melarang seorang pemimpin pemerintahan berkuasa tanpa batas waktu.

Dari semangat itu muncullah aturan keluarga petahana tidak boleh maju dalam pilkada sebelum jeda satu kali masa jabatan. Alasannya jelas yaitu keluarga petahana bisa dianggap sebagai representasi dari sang petahana untuk tetap merengkuh kekuasaan dalam dinasti keluarganya. Syahwat politik memang harus diatur oleh undang-undang agar negeri ini tetap sah disebut sebagai republik yang demokratis.

Perkembangan terakhir, sudah ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah soal larangan seseorang yang sudah menjabat dua kali sebagai kepala daerah, turun pangkat menjadi wakil kepala daerah untuk maju dalam pilkada. Artinya, seseorang dibatasi memegang jabatan sebagai kepala daerah maksimal sepuluh tahun dan tak boleh tambah lagi 10 tahun dengan turun pangkat sebagai wakil.

Meskipun demikian, bukan berarti praktek dinasti politik bisa dihilangkan. Dengan tak adanya larangan keluarga petahana maju dalam pilkada sebagaimana diputuskan Mahkamah Konstitusi, setelah 10 tahun menjabat gubernur/bupati/walikota, dia bisa memajukan istrinya sebagai gubernur/bupat/walikota pengganti dia. 

Selanjutnya, kalau memang tetap mendapat dukungan, seusai sang istri menjabat dua periode, mereka bisa mengajukan anaknya, adiknya, saudara atau kerabat yang lain. Demikian seterusnya sehingga kekuasaan itu berputar dalam lingkaran dinasti politik itu. Atau, bisa juga memilih cara model Klaten yang menggabungkan dua keluarga penguasa yang menjabat secara bergiliran itu.

Bisa juga dinasti politik itu membentuk kekuasaan ala Ratu Atut di Banten itu. Ada yang jadi gubernur, ada yang jadi bupati, walikota, ketua DPRD, ketua parpol dan yang lain. Mereka merajut jaring laba-laba kekuasaan untuk menjadi ratu atau raja-raja kecil di daerah-daerah. Kekuatan perundang-undangan bagaimanapun masih menyisakan keterbatasan untuk diterobos para perajut dinasti politik itu.

Kunci semua masalah ini, selain mengandalkan aturan perundangan, ada pada masyarakat dan partai politik. Tanpa ada masyarakat yang mendukung dan memilih, seseorang tidak akan pernah bisa jadi kepala daerah. Tanpa diajukan parpol pendukung, seseorang tak bisa maju sebagai calon kepala daerah di pilkada. Kalau maju secara independen, dia juga harus mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Oleh karena itu, ketika masalah dinasti politik yang korup kini jadi sorotan setelah walikota Cimahi dan bupati Klaten di-OTT KPK, masyarakat dan partai politik harus lebih arif dalam menentukan pilihan dalam pilkada. Sikap masyarakat yang tak acuh atau mengekor pendapat tokoh masyarakat yang membawa misi pasangan calon tertentu, jelas sudah tidak tepat lagi. 

Sementara partai politik, seharusnya jika memang punya komitmen untuk mewujudkan demokrasi yang sehat, tentu harus menerapkan aturan dan mekanisme partai yang ketat dalam mengusung paslon dalam pilkada. Bisa tidaknya hal ini dilakukan bergantung kepada parpol yang bersangkutan. Sikap main pecat setelah kejadian kader terjerat korupsi, baik-baik saja. Tetapi, alangkah baiknya jika mencegah sebelum kejadian.

Harus diakui ini memang perkara yang pelik. Mengharap masyarakat di daerah bersikap kritis terhadap paslon dalam pilkada, apalagi berpikir soal dinasti penguasa yang cenderung korup, satu hal yang tak mudah. Seharusnya, pemuka atau tokoh masyarakat yang tidak terkooptasi kekuasaan bisa memainkan peranan lebih. Merekalah yang bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang perlunya memilih pemimpin yang tidak korup dan gila kekuasaan dengan dinasti politiknya.

Mungkinkah pada pilkada serentak tahun 2017 ini, perlawanan terhadap dinasti korup yang maju dalam Pilkada bisa digelorakan? Entahlah. Mereka yang seharusnya tampil jadi jenderal dan memimpin perlawana, justru sibuk dengan dirinya sendiri. Sementara kelompok yang suka mengkafir-kafirkan itu, gaung suaranya seolah lebih menarik perhatian dan emosi. Alangkah (tidak) enaknya dinasti korup di negeri ini. 

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun