Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Alangkah (Tidak) Enaknya Dinasti Korup di Negeri Ini

5 Januari 2017   16:44 Diperbarui: 5 Januari 2017   16:54 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan terakhir, sudah ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah soal larangan seseorang yang sudah menjabat dua kali sebagai kepala daerah, turun pangkat menjadi wakil kepala daerah untuk maju dalam pilkada. Artinya, seseorang dibatasi memegang jabatan sebagai kepala daerah maksimal sepuluh tahun dan tak boleh tambah lagi 10 tahun dengan turun pangkat sebagai wakil.

Meskipun demikian, bukan berarti praktek dinasti politik bisa dihilangkan. Dengan tak adanya larangan keluarga petahana maju dalam pilkada sebagaimana diputuskan Mahkamah Konstitusi, setelah 10 tahun menjabat gubernur/bupati/walikota, dia bisa memajukan istrinya sebagai gubernur/bupat/walikota pengganti dia. 

Selanjutnya, kalau memang tetap mendapat dukungan, seusai sang istri menjabat dua periode, mereka bisa mengajukan anaknya, adiknya, saudara atau kerabat yang lain. Demikian seterusnya sehingga kekuasaan itu berputar dalam lingkaran dinasti politik itu. Atau, bisa juga memilih cara model Klaten yang menggabungkan dua keluarga penguasa yang menjabat secara bergiliran itu.

Bisa juga dinasti politik itu membentuk kekuasaan ala Ratu Atut di Banten itu. Ada yang jadi gubernur, ada yang jadi bupati, walikota, ketua DPRD, ketua parpol dan yang lain. Mereka merajut jaring laba-laba kekuasaan untuk menjadi ratu atau raja-raja kecil di daerah-daerah. Kekuatan perundang-undangan bagaimanapun masih menyisakan keterbatasan untuk diterobos para perajut dinasti politik itu.

Kunci semua masalah ini, selain mengandalkan aturan perundangan, ada pada masyarakat dan partai politik. Tanpa ada masyarakat yang mendukung dan memilih, seseorang tidak akan pernah bisa jadi kepala daerah. Tanpa diajukan parpol pendukung, seseorang tak bisa maju sebagai calon kepala daerah di pilkada. Kalau maju secara independen, dia juga harus mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Oleh karena itu, ketika masalah dinasti politik yang korup kini jadi sorotan setelah walikota Cimahi dan bupati Klaten di-OTT KPK, masyarakat dan partai politik harus lebih arif dalam menentukan pilihan dalam pilkada. Sikap masyarakat yang tak acuh atau mengekor pendapat tokoh masyarakat yang membawa misi pasangan calon tertentu, jelas sudah tidak tepat lagi. 

Sementara partai politik, seharusnya jika memang punya komitmen untuk mewujudkan demokrasi yang sehat, tentu harus menerapkan aturan dan mekanisme partai yang ketat dalam mengusung paslon dalam pilkada. Bisa tidaknya hal ini dilakukan bergantung kepada parpol yang bersangkutan. Sikap main pecat setelah kejadian kader terjerat korupsi, baik-baik saja. Tetapi, alangkah baiknya jika mencegah sebelum kejadian.

Harus diakui ini memang perkara yang pelik. Mengharap masyarakat di daerah bersikap kritis terhadap paslon dalam pilkada, apalagi berpikir soal dinasti penguasa yang cenderung korup, satu hal yang tak mudah. Seharusnya, pemuka atau tokoh masyarakat yang tidak terkooptasi kekuasaan bisa memainkan peranan lebih. Merekalah yang bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang perlunya memilih pemimpin yang tidak korup dan gila kekuasaan dengan dinasti politiknya.

Mungkinkah pada pilkada serentak tahun 2017 ini, perlawanan terhadap dinasti korup yang maju dalam Pilkada bisa digelorakan? Entahlah. Mereka yang seharusnya tampil jadi jenderal dan memimpin perlawana, justru sibuk dengan dirinya sendiri. Sementara kelompok yang suka mengkafir-kafirkan itu, gaung suaranya seolah lebih menarik perhatian dan emosi. Alangkah (tidak) enaknya dinasti korup di negeri ini. 

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun