PERLUKAH DINASTI POLITIK DILARANG?
Saya percaya, Republik Indonesia diproklamasikan 17 Agustus 1945 lalu bukanlah untuk melahirkan raja-raja kecil yang berkuasa di daerah dan maharaja di ibu kota sebagai koordinatornya untuk mengelola kekuasaan dinasti yang dijamin konstitusi. Oleh karena itu, sudah seharusnya ada aturan hukum yang menegaskan hal itu tanpa menghilangkan hak warga negara untuk memegang jabatan pemerintahan melalui pemilihan langsung oleh rakyat yang demokratis.
UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada sebenarnya pernah menetapkan kerabat petahana dilarang ikut pilkada sebelum jeda satu masa jabatan. Larangan ini setidaknya bisa memutus mata rantai kekuasaan agar tidak jatuh ke satu dinasti kekuasaaan secara terus menerus. Aturan itu sama sekali tidak menghilangkan hak warga negara untuk ikut dalam perebutan jabatan setingkat gubernur/bupati/walikota dalam pilkada tetapi hanya menunda dengan batas waktu satu kali masa jabatan.Â
Tetapi, Mahkamah Konstitusi menilai ketetapan yang tertuang dalam Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Ketetapan dinilai diskriminatif dan membuat warga negara tidak sama kedudukannya di depan hukum dan melanggar HAM. Karenanya, ketetapan itu dianulir.
Meskipun keputusan MK yang diteken Juli tahun 2015 lalu itu dipuji sebagai keputusan yang tepat oleh beberapa pakar hukum ternama, tetap saja keputusan itu menimbulkan tanda tanya besar. Keputusan MK itu untuk kebaikan republik ini ataukan sekedar baik bagi petahana dan keluarganya untuk melanggengkan sebuah dinasti politik di daerah-daerah?
Dan setelah setahun lebih berlalu, terbukti keputusan MK itu memang baik bagi petahana dan keluarganya untuk membangun dan melanggengkan kekuasaan dinasti di daerah-daerah yang cenderung korup. Data yang muncul, banyak kasus OTT KPK atas pejabat di daerah menunjukkan adanya dinasti kekuasaan yang korup di sana. Ini fakta bukan ilusi.
Dengan fakta itu, sudah waktunya ada ketetapan hukum baru yang membatasi ruang gerak kekuasaan di daerah-daerah atau di pusat agar tidak dijalankan oleh sebuah dinasti kekuasaan yang berpotensi korup. Kalau memang keputusan MK bersifat akhir dan mengikat, tak ada salahnya membuat ketetapan perundang-undangan yang baru. MK itu isinya juga manusia, yang punya sifat salah dan kepentingan pribadi atau golongan.
Itu pandangan saya sebagai orang ndeso, yang tak biasa berpikir "ndakik-ndakik" dalam bahasa hukum yang rumit (yang katanya mengacu pada HAM). Alasannya sederhana. Kalau memang negeri ini dari awalnya adalah untuk memfasilitasi dinasti politik sebagai penguasanya, tentu cukup menghidupkan kerajaaan yang sudah ada dan membentuk sebuah kemaharajaan yang dijabat secara bergilir oleh raja-raja yang ada.Â
Kenyataannya negeri ini diproklamasikan dengan berbentuk republik atau kekuasaannya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kita mengenal presiden, gubernur, bupati, lurah atau kepala desa sebagai perwujudan kekuasaan pemerintahan oleh rakyat. Memang terbentuknya pemimpin pemerintahan seperti sekarang ini melalui proses berliku hingga seperti sekarang ini.
Jabatan presiden yang sebelumnya tak dibatasi berapa periode, kini dibatasi dua kali masa jabatan. Yang sebelumnya dipilih MPR kini dipilih langsung oleh rakyat. Gubernur dan bupati/walikota pun demikian. Ada pembatasan masa jabatan dan dan pilihan langsung oleh rakyat ini, menegaskan negeri ini berbentuk republik dan demokratis, yang melarang seorang pemimpin pemerintahan berkuasa tanpa batas waktu.
Dari semangat itu muncullah aturan keluarga petahana tidak boleh maju dalam pilkada sebelum jeda satu kali masa jabatan. Alasannya jelas yaitu keluarga petahana bisa dianggap sebagai representasi dari sang petahana untuk tetap merengkuh kekuasaan dalam dinasti keluarganya. Syahwat politik memang harus diatur oleh undang-undang agar negeri ini tetap sah disebut sebagai republik yang demokratis.