Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Seharusnya Pemerintah Larang Demo 212

20 November 2016   14:40 Diperbarui: 20 November 2016   15:18 4836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demo yang direncanakan 2 Desember nanti diduga kuat sebagai gerakan antidemokrasi karena bertujuan memaksakan kehendak atas nama kasus dugaan penistaan agama, untuk tujuan politik menggoyang pemerintahan Jokowi. Karena itu, seharusnya pemerintah tidak perlu ragu untuk melarang demo itu. Kegamangan bertindak justru akan membuat demo semacam itu terus berulang.

Tujuan politik menggoyang pemerintahan Jokowi itu sudah tak bisa ditutupi lagi dengan menggeser isu bahwa presiden telah menghina ulama. Tuduhan yang jelas bersifat menghasut itu secara nyata telah merendahkan martabat kepala negara dan segala upaya yang telah dibangun dengan bersilaturahmi dengan para ulama, ormas, dan parpol Islam.

Jika tujuannya adalah membela Islam, agama Islam model apa yang mereka bela. MUI sendiri telah meminta tak ada demo lagi, NU, Muhammadyah juga bersikap sama, KH Arifin Ilham pun telah menegaskan tak ada demo lagi. Jadi, jika kini ada rencana demo 212 yang diberi titel Demo Bela Islam III, demo itu untuk siapa.

FPI dan GNPF MUI yang mengerakkan aksi demo itu jelas tidak bisa mengklaim sebagai wakil Islam. Banyak orang Islam di republik ini yang sudah lama memendam amarah dan ingin FPI dibubarkan. Kalau mereka menyebut wakil Islam radilkal semacam ISIS, Wahabi, yang menginginkan kekhilafahan Islam di Indonesia, atau DI/TII gaya baru, silakan saja.

Tetapi Islam model itu terlarang hidup di Indonesia karena mereka jelas ingin makar dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak usah dipungkiri, mereka ingin mengimpor konflik ala Timur Tengah ke Indonesia, untuk berkuasa. Agama dan masjid adalah tempat mereka untuk menanamkan ideologi dan menghasut massa agar tidak lagi menerima pola hidup berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila, UUD '45, dan Bhineka Tunggal Ika. 

Ini sudah berlangsung lama. Karena itulah tak heran jika banyak suara masyarakat yang mengeluhkan isi khotbah di masjid yang tidak nenimbulkan kesejukan, tetapi justru mengumbar amarah dan kebencian atas nama ras, golongan, dan lainnya, atas dasar kepentingan politik. 

Masjid telah diubah jadi tempat kampanye. Tak usah dibantah. Persoalan ini sudah lama jadi keluhan warga yang memandang agama adalah oase rohani yang menawarkan kesejukan rohani untuk menggapai nilai keillahian dalam sujud kepada Allah.

Munculnya ulama yang suka mengumpat, merendahkan golongan lain, suka mengancam bunuh, dan ucapan keras lain, itu adalah wujud dari hal itu. Pancasila yang jadi dasar negara ini dilecehkan sedemikian rendahnya, proklamator kita dihinakan seperti itu. Kepercayaan dan kearifan lokal suatu daerah dan golongan, mereka kutuk dan kafirkan, mereka hinakan. 

Islam seperti dijadikan milik mereka sendiri. Mereka lupa Islam telah menyentuh seluruh sendi kehidupan sebagian besar bangsa Indonesia ini sejak lama, jauh sebelum mereka. Itulah Islam yang Rahmatal lil Alamin yang dibawa para aulia, par wali Allah, para alim dan bijak jauh sebelum mereka lahir. Islam hendak mereka ubah jadi Islam yang pemarah, penghujat, tidak toleran, dan mau menang sendiri.

Peringatan dari PBNU yang merasa resah atas penyusupan gerakan Wahabi dalam pendanaan dan penguasaan takmir masjid dan para khatib "bon-bonan", sudah lama disuarakan. Desakan dan tutuntan agar FPI dan HTI dibubarkn juga sudah lama disuarakan sejak zaman SBY berkuasa. Tetapi, terbukti dua ormas yang nyat-nyata nenafikkan dan melecehkan Pancasila masih bebas melenggang dan terus nemprovokasi massa dengan berbagai aktivitasnya yang meresahkan masyarakat.

Adalah menarik dicermati ketika mereka berhasil menarik simpati kelompok lain, saat menggoreng isu kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. Perlawanan mereka terhadap Ahok sudah dilakukan jauh sebelum adanya kasus itu, tidak bisa diabaikan. Di sinilah terjadi simbiosa kepentingan antara mereka dengan kelompok politik yang sama-sama ingin Ahok dijatuhkan.

Sekali lagi ini juga tidak usah dibantah. Aksi bersama, pernyataan saling mendukung dan seirama telah secara gamblang menunjukkan hal itu. Jadi, naif sekali jika masih menyebut gerakan bersama mereka dalam kasus Ahok itu murni dilandasi maksud membela agama. Bocoran informasi aliran dana, penggalangan massa secara masif dan sistematis, pertemuan tim kecil menjelang, sesaat, dan setelah keluarnya fatwa MUI telah beredar luas.

Inilah yang menarik, karena bertemunya kepentingan politik menolak Ahok dan kepemimpinan non-muslim, telah berhasil mempertemukan beragam kelompok kepentingan itu dalam gerakan demo 411 lalu. Persoalan Wahabi, Islam radikal, kelompok yang ingin menegakkan kekhalifahan di Indonesia (mungkin meniru zanan Ottoman atau ISIS), DI/TII gaya baru, seolah terlupakan.

Menjadi sangat menarik ketika organisasi besar semacam NU dan Muhammadyah justru gamang bersikap dan membiarkan massanya ikut dalam barisan demo itu atas nama demokrasi. Sikap ini sangat terkait erat dengan fakta bahwa fatwa MUI itu salah satunya diinisiasi oleh KH Ma'ruf Amin ketua MUI yang nota bene adalah rois aam PBNU. KH Ma'ruf Amin dikenal cukup dekat dengan SBY yang menampilkan Agus putra sulungnya sebagai cagub DKI bersaing dengan Ahok.

PKB dan PPP yang dikenal dipenuhi oleh orang-orang NU juga masuk barisan pendukung Agus putra SBY. Tentu saja PAN yang sangat dekat dengan Muhammdyah yang juga pendukung utama Agus putra SBY, ikut memberi pengaruh kepada sikap Muhammadyah. Masuknya Amin Rais dalam barisan ini, yang didukung sebagian generasi muda Muhammadyah itu bukti lain.

Mereka semua bertemu dalam arus demo menuntut Ahok diadili dalam kasus dugaan penistaan agama itu. Di sinilah mulai terjadi pembelokan isu ketika massa demo itu justru diarahkan ke Presiden Jokowi. Meski sudah berkali-kali ditegaskan presiden tidak akan mengintervensi kasus itu dan menjadi urusan kepolisian sepenuhnya, toh arus menjadikan Jokowi sebagai sasaran tembak tetap terjadi.

Pidato para pentolan yang memprovokasi massa, yang melecehkan dan memfitnah presiden, sampai upaya dan pemberian tip melengserkan presiden adalah bukti nyata. Kericuhan yang terjadi, upaya pendudukan gedung DPR/MPR dengan wacana memaksakan sidang istimewa untuk melengserkan Jokowi adalah bukti lainnya.

Kini setelah tuntutan para pendemo sudah terjawab dengan proses di kepolisian yang transparan yang telah menetapkan Ahok sebagai tersangka, seharusnya gerakan demo itu sudah tak perlu lagi. Soal Ahok tidak ditahan, memang aturan hukum mengatur hal itu. Tetapi menjadi aneh ketika muncul suara dari kelompok MUI agar Ahok mundur dari pencalonan sebagai cagub di pilgub DKI Jakarta. Ini menimbulkan penilaian MUI telah bertindak masuk ke wilayah politik dan ini membenarkan dugaan bahwa keluarnya fatwa MUI didasari kepentingan politik kelompok tertentu.

Rupanya telah muncul semacam pandangan atau sikap di sebagian "ulama" kita bahwa mereka boleh ikut mengarur-atur siapa yang berhak memimpin di negeri ini, model keayotallahan di Iran itu. Penolakan calon pimpinan institusi kepolisian di Banten karena bukan Islam misalnya, menunjukkan hal itu.

Jadi selain menghadapi permasalahan kelompok yang ingin mendirikan kekhalifahan di Indonesia, kita juga harus menghadapi kelompok yang berpandangan ulama boleh ikut campur tangan dalam menentukan siapa yang boleh memimpin di institusi negeri ini. Di Iran, seorang ayatollah memang bisa berbuat seperti itu. Apakah MUI kini juga ingin menerapkan hal itu dalam pandangan dan sikap organisasinya?

Kembali ke rencana demo 212 yang ngotot akan dilaksanakan oleh FPI dan GNPF MUI itu. Jika alasannya adalah kasus dugaan penistaan agama, hal itu telah ditangani kepolisian dengan transparan dan bisa dipantau setiap saat. Bahkan Kapolri TIto Karnavian sudah menjamin penyidikan akan berjalan cepat supaya berkasnya bisa dikirim ke kejaksaan dan dipersiapkan untuk dibawa ke pengadilan.

Tito juga sudah menyatakan bahwa persidangan akan berjalan terbuka seperti persidangan kasus Jessica dan masyarakat secara leluasa bisa menyaksikannya di televisi. Ahok pun sudah menyatakan tak akan mengajukan gugatan praperadilan agar kasus ini cepat disidangkan. Jadi kasus ini sebenarnya telah terang benderang penanganannya dan masyarakat tinggal menunggu.

Dengan demikian, tak ada alasan yang bisa dipakai untuk menggelar aksi demo lanjutan. Kalau kini mereka beralasan demo itu tetap dilaksanakan karena Ahok tidak ditahan dan karena ada pelindungnya, jelas itu mengada-ada. Tak disangsikan lagi ada agenda membuat negeri ini tidak nyaman, meresahkan masyarakat, membuat ekonomi terganggu, rasa aman masyarakat terusik dan melecehkan wibawa hukum.

Riziek bilang demo diwarnai salat Jumat di sepanjang Sudirman-Thamrin dari Semanggi hingga Istana dengan khotib berada di Bundaran HI. Selanjutnya ada istigosah dan doa untuk keselamatan negeri, baca Alqur'an, zikir, dan salawat, karena ini aksi ibadah. Pertanyaannya, sejak kapan warga bisa menggelar ritual ibadash di jalan milik umum. Apakah Jl Sudirman-Thamrin, bundaran HI itu telah jadi milik Riziek dan kelompoknya.

Tak usah orang pandai untuk menilai ini adalah gerakan politik berkedok agama. Model revolusi perebutan kekuasaan di negara-negara Timur Tengah rupanya hendak diterapkan Riziek di Indonesia. Dan tak usah orang harus pandai untuk menilai, ada kekuatan politik lain yang mendukung Riziek. Kalau hanya FPI dan kelompoknya itu kekuatannya bisa dihitung. Tetapi masuknya kelompok lain yang kini makin terang benderang itu membuat aksi demo 212 itu sah dinilai sebagai gerakan politik.

Pertanyaan besar kini diajukan ke NU dan Muhammadyah. Apakah mereka kembali pasif hanya dengan meminta warganya tidak ikut aksi ini atau secara aktif mencegah keterlibatan warganya setelah mengetahui skenario pelengseran Jokowi yang juga telah mereka suarakan itu.

Dengan dasar fakta dan kondisi yang ada, kini bola sepenuhnya berada di pemerintah dalan hal ini Kemenpolhukam dan kepolisian untuk bersikap tegas atas rencana aksi demo 212 nanti. Kalau Kapolri sudah tahu bahwa demo 212 membawa agenda politik yang mengarah ke tekanan dan goyangan kepada pemerintahan Presiden Jokowi, seharusnta demo itu dilarang sedari kini.

Kepentingan nasional bangsa ini terlalu mahal diabaikan hanya unyuk memberi ruang kepada kelompok yang sejak dulu tak menginginkan kedamaian di negeri ini. Demo itu jelas akan mengusik rasa aman masyarakat, demo itu jelas akan mempengaruhi situasi politik dan kepercayaan dunia terhadap iklim investasi di Indonesia. Demo itu juga rawan disusupi kepentingan asing atas dasar kepentingan politik atau ekonomi.

Dengan dasar itu, apakah kepolisian dan pemerintah tetap bersikap pasif dan membiarkan sekelompok orang berbuat semaunya atas dasar demokrasi? Jadi tegaslah. Larang demo itu dan cegah gerakan yang ada sehingga tidak melebar dan memprovokasi masyarakat.

Sudah waktunya narasi besar yang diungkapkan presiden itu dijalakan. Keraguan bertindak justru membuat masalah ini akan berbuah keburukan bagi negeri ini. Rakyat menginginkan rasa aman, perhatian, dan perlindungan dari kelompok yang mau menang sendiri itu. Juga rasa aman dan perlindungan dari kelompok dan petualang politik yang hendak memecah belah bangsa ini. Jadi, jangan ragu bertindak.

Salam, damai negeriku.

Bacaa pendukung: dari sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun