Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapa Ingin Menjegal Jokowi?

18 November 2016   23:00 Diperbarui: 18 November 2016   23:15 8946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: tribunnews.com

Terus terang, saya sempat ragu untuk mengajukan pertanyaan "siapa yang ingin menjegal Jokowi" agar pemerintahan ini jatuh seperti zaman Gus Dur dulu. Keraguan saya itu dilandasi rasa ketidakpercayaan saya, masak sih masih ada orang yang mau mengulang kesalahan sejarah itu dua kali. Tetapi, ternyata keraguan saya itu pupus setelah mengamati situasi politik beberapa pekan ini.

Sulit untuk dipungkiri bahwa memang ada pihak yang ingin menjegal Presiden Jokowi. Fakta bahwa ada pergerakan masif jaringan politik, manajemen isu menumpang kasus dugaan penistaan agama, distribusi dana dan logistik tak lagi bisa dibantah. Ini bukan lagi sekedar bau kentut, tetapi mungkin telah berubah menjadi BAB yang mengotori republik ini.

Munculnya ajakan rush money 2511 adalah salah satu bukti konkret langkah penjegalan itu. Soal demo 411 dan rencana demo 2511 yang kini dinilai tak punya greget paska penetapan Ahok sebagai tersangka, adalah fakta lain. Jadi, pertanyaan itu kini memang relevan untuk diajukan agar masyarakat semakin cerdas dan paham bahwa heboh kasus dugaan penistaan agama itu telah dipolitisasi oleh para pihak untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.

Tak usah sungkan lagi untuk mengatakan ada para penelikung negara yang kini bergentayangan bergerak atas nama demokrasi. Tak usah sungkan lagi untuk menyebut mereka ikut bermain dalam isu dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Tak usah ragu lagi untuk menilai mereka memang menginginkan kejatuhan pemerintahan saat ini dan menggantikannya dengan rezim baru.

Itulah yang saya tangkap dari hiruk pikuk politik dalam beberapa minggu terakhir yang secara formal disebut akibat dugaan penistaan agama oleh Ahok. Bisa saja benar, penilaian bahwa kasus dugaan penistaan agama yang memancing beragam aksi massa itu. Tetapi, tidak juga salah menilai kasus itu hanyalah bandul yang telah digoyang sedemikian rupa sehingga menimbulkan efek goyangan bandulan yang hebat.

Begitu hebatnya efek goyangan bandulan itu, sehingga sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita ikut berguncang karenanya. Sebagian besar elit negeri seolah dilanda kegamangan menyikapi kasus itu. Semua berbicara, berkomentar, menuntut, tetapi sangat sedikit yang mau mengakui adanya agenda besar di balik goyangan bandul kasus dugaan penistaan agama itu.

Ada keengganan untuk mengakui bahwa goyangan bandul itu sangat membahayakan negeri ini. Padahal, goyangan itu bisa meresahkan kehidupan masyarakat, mengganggu stabilitas politik dan ekonomi, dan telah meneror kelompok minoritas negeri ini. Mereka enggan mengakui atas nama demokrasi yang katanya bermartabat yang harus dihormati; walaupun akal sehat mereka mengakui kasus dugaan penistaan agama itu telah dipoltisasi untuk kepentingan kelompok politik tertentu.

Wujud dari sikap itu mereka menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus itu kepada aparat keamanan. Mereka meminta aparat keamanan agar bertindak sesuai koridor hukum dan menjauhi kekerasan. Namun, mereka sendiri enggan mencegah goyangan bandul itu membesar. Seolah ada ketakutan jika mereka melawan arus, dukungan massa bisa turun. Padahal mereka punya kuasa dan di situlah seharusnyas peran mereka dibutuhkan.

Sebetulnya saya ingin menggugat kesetiaan mereka kepada NKRI berdasarkan Pancasila, UUD '45 dan Bhineka Tunggal Ika. Tetapi, saya sadar tak ada lembaga yang mau dan punya hak untuk menangani gugatan semacam ini. Dan lagi, apa tak akan dinilai absurd, seorang rakyat jelata yang tinggal di desa yang tak punya kuasa apa-apa mau menggugat para elit yang bertabur kuasa, harta, pangkat, derajat, status sosial dan keilmuan yang sundul langit itu.

Nah, karena itu cukuplah tulisan ini sebagai wujud gugatan dan kegundahan saya kepada mereka itu. Tak perlu disebut nama karena mereka terlalu banyak dan lagi tidak baik. Selain bertentangan dengan standar etika dan kepatutan yang saya anut, penyebutan nama itu malah itu bisa menimbulkan efek yang tak baik. Biarlah mereka bertanya pada diri sendiri, jika masih mau tertunduk malu dalam sujud kepada Tuhan.

Kembali ke pertanyaan siapa yang ingin menjegal Presiden Jokowi. Ada dua pernyataan tokoh yang menarik terkait hal. Memang, kedua tokoh ini tak menyebut secara langsung siapa pihak yang ingin menjegal Presiden Jokowi. Tetapi pernyataan mereka jelas menyuratkan adanya pihak yang ingin menjatuhkan Presiden Jokowi.

Pertama, Ketua ICMI Jimly Asshiddiqie yang menyatakan dugaannya bahwa aksi rencana unjuk rasa 2511 (yang kini tak jelas itu) memiliki agenda untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. "Saya sebagai Ketua ICMI tidak rela jika umat Islam terjebak dalam adu domba untuk tujuan yang tidak konstitusional." (kompas.com, 14/11/2016)

Kedua, Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj yang meminta masyarakat tak menggulirkan wacana pemakzulan terhadap Presiden Jokowi, terlebih memanfaatkan kasus dugaan penistaan agama yang melibatan Ahok. "Selama tidak ada pelanggaran sangat fatal tidak boleh diturunkan di tengah jalan, lima tahun baru bisa. Jangan sampai peristiwa Gus Dur itu terulang kembali." (kompas.com, 17/11/2016)

Terkait persoalan itu, langkah yang diambil presiden dengan pendekatan silaturahmi ke ormas Islam, parpol, para ulama, juga safari ke institusi-instutusi militer, patut diapresiasi. Kunjungan balasan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto memenuhi undangan Presiden Jokowi ke Istana Kamis kemarin, bisa ditangkap sebagai langkah positif untuk mendinginkan situasi sosial politik akibat goyangan bandul itu.

Pernyataan Prabowo yang senantiasa siap membantu pemerintahan Jokowi merupakan sinyal positif hubungan yang konstruktif dalam hidup berbangsa dan bernegara, meski berbeda gerbong politik. "Saya tidak akan menjegal Bapak (Jokowi), karena Bapak merah putih. Jadi, kritik itu bagus asal tidak destruktif dan tidak mengarah kepada kekerasan." (bbc.com, 17/11/2016)

Persoalannya kini adalah urusan goyang menggoyang pemerintahan Jokowi itu belum tuntas terbuka secara gamblang siapa yang terlibat. Walau isu yang berkembang sudah mengerucut pada beberapa pihak, tentu belum bisa dijadikan dasar untuk mengisolasi mereka. Ya, langkah isolasi inilah sanksi sosial yang bisa dilakukan masyarakat; kalau yang lain itu urusan penegak hukum. 

Kalau kelompok itu suatu kelompok politik, biar masyarakat mencabut dukunganya kepada kelompok itu sehingga tak bisa eksis lagi. Kejelasan siapa yang menggoyang pemerintahan Jokowi untuk menjatuhkannya dari jabatan presiden, perlu diketahui umum. Cara-cara inkonstitusional semacam itu tak boleh terjadi di republik ini.

Selama ini kita hanya menjatuhkan tuduhan kepada kelompok yang jelas ingin mendirikan kekhilafahan di Indonesia, menolak Pancasila, dan kelompok radikal semacan ISIS atau simpatisan DI/TII gaya baru. Persoalannya adalah jika kelompok itu ternyata telah menjalin simbiosa mutulalisme dengan kelompok mapan yang secara ideologi disebut Pancasilais, bahkan menyasar organisasi mahasiswa calon pemimpin masa depan.

Kita juga sempat menjatuhkan tuduhan bahwa ada kelompok kepentingan ekonomi dan politik yang terusik dengan kinerja pemerintahan Jokowi yang menekankan transparansi anggaran untuk mencegah korupsi, memberantas pungli, dan kebijakan lain yang mengusik kepentingan ekonomi dan politik mereka. 

Mangkraknya 32 proyek listrik era sebelum Jokowi yang kini dilimpahkan ke KPK, korupsi E-KTP, kasus Bank Century, korupsi pihak yang belum tersentuh hukum, dan beberapa kasus lain disebut pula sebagai penyebab upaya goyang menggoyang itu. Tentu saja penyebutan itu bersifat spekulatif karena persoalan itu murni urusan hukum yang tak bisa dicampuri Jokowi.  

Persoalan kebijakan tax amnesty yang secara ekonomi mengusik beberapa negara, bisa saja juga telah masuk daftar pihak yang patut dicurigai punya kontribusi juga dalam upaya goyang menggoyang ini.

Meskipun begitu isu rush money 2511 yang kini menggelinding itu telah memberi gambaran nyata bahwa upaya goyang menggoyang pemerintahan ini telah memasuki fase yang berbahaya secara ekonomi dan berpotensi menimbulkan kekacauan ekonomi jika tidak ditangani secara bijak. 

Jika pada demo 411 kita menemukan penyimpangan dengan upaya menciptakan kerusuhan dan pendudukan gedung DPR/MPR yang disebut untuk memaksakan sidang istimewa, namun berhasil digagalkan, kini kita menemukan cara yang ditempuh terkesan lebih intelek namun punya daya rusak yang lebih buruk. Ini tentu tidak bisa didiamkan dengan membiarkan para provokator terus melancarkan ajakan aksi rush money di medsos atau secara langsung.

Kita percaya Presiden Jokowi sedang menyiapkan narasi besar untuk membuat keadaan masyarakat kembali tenang, tak perlu khawatir, dan merasa terlindungi. Apa wujud narasi besar itu presiden itu memang belum jelas benar. Yang pasti narasi besar itu di antaranya akan disampaikan melalui infrastruktur TNI, mulai dari atas hingga ke koramil dan babinsa yang bersentuhan langsung dengan rakyat.

Tetapi, mengimbangi narasi besar itu, langkah penegakan hukum atas pelaku yang menyalahgunakan demo untuk menghina presiden, menghasut, memfitnah, dan menimbulkan kekacauan dan kerusakan pada demo 411 lalu seharusnya dipercepat prosesnya. Nama-nama seperti Fahri Hamzah, Ahmad Dhani, Riziek Sihab, mahasiswa HMI pembuat rusuh, juga siapa saja yang terlibat pada kerusuhan saat itu, seharusnya segera diproses.

Selain itu para pihak yang mengajak aksi rush money tentu tidak bisa dibiarkan bebas melenggang dan meneruskan aksinya. Perbuatan itu jelas bukan bagian dari hak warga negara untk berdemokrasi. Itu bukan demokrasi tapi ajakan subversi ekonomi untuk mengacaukan perekonomian bangsa ini dalam upaya menjatuhkan pemerintahan yang sah atau makar. Pendekatan penegakan hukum harus diambil.

Kembali ke pertanyaan "siapa yang ingin menjegal Presiden Jokowi". Masyarakat seharusnya bersikap lebih cerdas dalam membaca sinyal politik yang ada. Langkah Presiden Jokowi bersilaturahmi politik ke ormas Islam, parpol, safari ke institusi militer, pertemuan dengan Prabowo Subianto bisa memberi gambaran akan hal itu. 

Saya tak hendak mempertanyakan mengapa Presiden Jokowi tak menjalin silaturahmi dengan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono. Beberapa petinggi Partai Demokrat sepertinya juga mengharapkan pertemuan itu. Mempertanyakan itu sama artinya dengan mempertanyakan mengapa SBY saat ke Istana kok tidak menemui Jokowi tetapi malah menemui Wiranto dan Jusuf Kalla, sehari sebelum menggelar jumpa pers di Cikeas 2 November lalu.

Mungkin saja itu sinyal politik mungkin pula karena presiden masih terlalu sibuk. Presiden kan harus menyiapkan langkah-langkah membuat situasi sosial politik mendingin dan membuat rakyat merasa aman, terayomi, dan tidak dilanda kekhawatiran. Mungkin pula pertemuan dengan SBY dipandang kurang perlu saat ini.

Lepas dari itu semua, ada satu hal yang patut diingat dari pernyataan presiden soal goyang menggoyang ini, saat hadir di Rapimnas PAN. "Saya heran, ini kan urusan DKI. Lha kok digesernya ke presiden, ke saya? Coba kita logika dan kalkulasi nalar saja. Kalau saya sih senyam senyum saja." (kompas.com, 13/11/2016)

Jadi, siapa yang ingin menjegal presiden? Jawab saja sendiri. Tetapi, saya sepakat jika ada yang berpendapat Lebaran Kuda memang harus diakhiri agar energi bangsa ini tidak terbuang percuma untuk merusak negeri sendiri hanya karena ambisi politik dan kepentingan ekonomi sekelompok orang.

Salam, damai.

Bacaan pendukung:

http://nasional.kompas.com/read/2016/11/16/15174651/jokowi.dan.narasi.besar.untuk.menenteramkan.masyarakat

http://nasional.kompas.com/read/2016/11/14/10203031/jimly.tak.rela.umat.islam.diadu.domba.untuk.lengserkan.jokowi

http://nasional.kompas.com/read/2016/11/17/23174451/pbnu.minta.masyarakat.tak.gulirkan.wacana.pemakzulan.jokowi

http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38009831

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun