Jika pada demo 411 kita menemukan penyimpangan dengan upaya menciptakan kerusuhan dan pendudukan gedung DPR/MPR yang disebut untuk memaksakan sidang istimewa, namun berhasil digagalkan, kini kita menemukan cara yang ditempuh terkesan lebih intelek namun punya daya rusak yang lebih buruk. Ini tentu tidak bisa didiamkan dengan membiarkan para provokator terus melancarkan ajakan aksi rush money di medsos atau secara langsung.
Kita percaya Presiden Jokowi sedang menyiapkan narasi besar untuk membuat keadaan masyarakat kembali tenang, tak perlu khawatir, dan merasa terlindungi. Apa wujud narasi besar itu presiden itu memang belum jelas benar. Yang pasti narasi besar itu di antaranya akan disampaikan melalui infrastruktur TNI, mulai dari atas hingga ke koramil dan babinsa yang bersentuhan langsung dengan rakyat.
Tetapi, mengimbangi narasi besar itu, langkah penegakan hukum atas pelaku yang menyalahgunakan demo untuk menghina presiden, menghasut, memfitnah, dan menimbulkan kekacauan dan kerusakan pada demo 411 lalu seharusnya dipercepat prosesnya. Nama-nama seperti Fahri Hamzah, Ahmad Dhani, Riziek Sihab, mahasiswa HMI pembuat rusuh, juga siapa saja yang terlibat pada kerusuhan saat itu, seharusnya segera diproses.
Selain itu para pihak yang mengajak aksi rush money tentu tidak bisa dibiarkan bebas melenggang dan meneruskan aksinya. Perbuatan itu jelas bukan bagian dari hak warga negara untk berdemokrasi. Itu bukan demokrasi tapi ajakan subversi ekonomi untuk mengacaukan perekonomian bangsa ini dalam upaya menjatuhkan pemerintahan yang sah atau makar. Pendekatan penegakan hukum harus diambil.
Kembali ke pertanyaan "siapa yang ingin menjegal Presiden Jokowi". Masyarakat seharusnya bersikap lebih cerdas dalam membaca sinyal politik yang ada. Langkah Presiden Jokowi bersilaturahmi politik ke ormas Islam, parpol, safari ke institusi militer, pertemuan dengan Prabowo Subianto bisa memberi gambaran akan hal itu.Â
Saya tak hendak mempertanyakan mengapa Presiden Jokowi tak menjalin silaturahmi dengan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono. Beberapa petinggi Partai Demokrat sepertinya juga mengharapkan pertemuan itu. Mempertanyakan itu sama artinya dengan mempertanyakan mengapa SBY saat ke Istana kok tidak menemui Jokowi tetapi malah menemui Wiranto dan Jusuf Kalla, sehari sebelum menggelar jumpa pers di Cikeas 2 November lalu.
Mungkin saja itu sinyal politik mungkin pula karena presiden masih terlalu sibuk. Presiden kan harus menyiapkan langkah-langkah membuat situasi sosial politik mendingin dan membuat rakyat merasa aman, terayomi, dan tidak dilanda kekhawatiran. Mungkin pula pertemuan dengan SBY dipandang kurang perlu saat ini.
Lepas dari itu semua, ada satu hal yang patut diingat dari pernyataan presiden soal goyang menggoyang ini, saat hadir di Rapimnas PAN. "Saya heran, ini kan urusan DKI. Lha kok digesernya ke presiden, ke saya? Coba kita logika dan kalkulasi nalar saja. Kalau saya sih senyam senyum saja." (kompas.com, 13/11/2016)
Jadi, siapa yang ingin menjegal presiden? Jawab saja sendiri. Tetapi, saya sepakat jika ada yang berpendapat Lebaran Kuda memang harus diakhiri agar energi bangsa ini tidak terbuang percuma untuk merusak negeri sendiri hanya karena ambisi politik dan kepentingan ekonomi sekelompok orang.
Salam, damai.
Bacaan pendukung: