Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membangun Optimisme Tax Amnesty

3 September 2016   09:56 Diperbarui: 3 September 2016   10:49 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah kekhawatiran target pemasukan Rp 165 triliun sulit tercapai dalam program pengampunan pajak (tax amnesty), sikap optimisme tetap harus dibangun. Selain waktu masih tersisa 7 bulan, masih banyak langkah yang bisa dilakukan agar program ini kembali ke jalan yang benar. Pengusaha telah memberi sinyal positif, namun peran pejabat negara juga diperlukan agar program ini lebih menarik untuk diikuti.

Soal pejabat negara ini memang ada beberapa pendapat. Wapres Jusuf Kalla misalnya menilai tak perlu menunjukkan ada contoh pejabat ikut pengampunan pajak. Alasannya data peserta program ini bersifat rahasia sehingga tak bisa dibuka untuk umum. Terkecuali jika yang bersangkutan mengatakan sendiri. Namun, dari kalangan DPR dan juga masyarakat sempat terlontar harapan agar pejabat juga ikut memberi contoh sehingga membuat program ini lebih familier. 

Tulisan ini mencoba memahami persoalan program pengampunan pajak dari kacamata umum, tanpa tabel data atau rincian teknis. Karena cukup panjang, mungkin kompasianer bisa nyambi nyruput kopi atau teh, atau makan kuaci. Kalau ngantuk, ya ditinggal tidur saja, dan kalau sempat ya nanti dibaca lagi.

.......

Pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty) yang diwarnai ketidakjelasan sasaran, sehingga menimbulkan gejolak dan penolakan di masyarakat, mengindikasikan belum adanya pemahaman yang benar atas program ini. Sementara itu harta para konglomerat besar juga tak kunjung datang, sehingga timbul kesan program ini telah menyasar kelompok ekonomi yang salah.

Perlukah ada perpanjangan waktu agar program ini tersosialisasi dengan baik, dan aparat pajak paham benar sasaran dan tujuan program ini? Pertanyaan ini perlu jadi pertimbangan pemerintah agar program pengampunan pajak berjalan tepat sasaran walaupun diterpa pesimisme karena target uang tebusan Rp 165 triliun yang dinilai terlalu tinggi.

Belum adanya pemahaman atas tujuan dan sasaran dan tujuan program ini, menyebabkan antara lain menjadikan petani, pensiunan, penerima warisan yang menganggur dan tak punya penghasilan, sebagai objek pengampunan pajak oleh petugas pajak. Pemahaman yang keliru juga menjadikan program ini seolah sebagai kewajiban padahal sebenarnya merupakan pilihan yang bisa diambil atau tidak.

Ketidakjelasan program ini juga seolah melupakan niatan awal program ini adalah untuk menarik dana ribuan triliun milik WNI yang diparkir di luar negeri, yang tak dilaporkan ke negara. Kepada mereka ditawarkan pengampunan, dengan deklarasi dan repratiasi harta kekayaan dengan membayar uang tebusan.

Memang program ini juga berlaku pada harta WNI yang berada di dalam negeri. Namun jelas, tidak pernah ada terlontar pernyataan yang menyebut harta itu milik warga kecil sekelas pensiunan, petani, nelayan, atau penerima warisan yang menganggur. Jika kini muncul masalah seperti itu tentu menunjukkan ada yang tak benar dalam pelaksanaan program ini.

Banyak pendapat telah diutarakan terkait persoalan ini yang intinya mempertanyakan pemahaman petugas pajak atas sasaran dan tujuan program ini. Selain itu, waktu yang mepet antara saat disahkannya program ini dan pelaksanaannya tidak memberikan waktu yang cukup untuk melakukan sosialisasi program ini, tak hanya ke masyarakat namun juga ke petugas yang mengeksekusi program ini.

Fuad Bawazier pada acara Indonesia Lawyer Club, Selasa (30/8/2016) malam, menyatakan agar program pengampunan pajak berjalan dengan baik, diperlukan perpanjangan waktu setidaknya tiga bulan. Waktu itu diperlukan untuk sosialisasi ke masyarakat. 

Perpanjangan waktu itu juga diperlukan agar Ditjen Pajak bisa mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Petugas pajak dari pusat hingga daerah harus paham benar mengenai program ini. Ditjen Pajak juga harus mempersiapkan rencana detil program ini, baik sasaran real, produk perundangan dan persyaratan administratif yang diperlukan.

Wapres Jusuf Kalla juga mengakui ketidakjelasan sosialisasi program ini ke masyarakat. Akibatnya pelaksanaan pengampunan pajak menimbulkan banyak masalah. Karena itu, dia menilai sosialisasi program ini perlu diperjelas. Sasaran utama program ini adalah pengusaha dan pemilik aset besar yang selama ini tidak bayar pajak. (tempo.co, 31/8/2016)

Ketua DPR Ade Komarudin juga mempertanyakan pelaksanaan program pengampunan pajak yang membuat masyarakat resah. Dia menilai ada yang salah dalam sosialisasi program ini, masyarakat yang seharusnya tidak masuk dalam sasaran program ini justru dipaksa ikut. Akibatnya masyarakat resah dan merasa dizalimi.

Munculnya gugatan ke MK dinilainya karena sosialisasi program ini yang menyimpang. Ade Komarudin menilai seharusnya pemerintah fokus ke pengusaha dan pemilik aset di luar negeri. Mereka harus diberi kesadaran agar merepratiasi hartanya ke Indonesia sesuai perintah UU. (kompas.com, 30/8/2016)   

PERLUKAH TAX AMNESTY DIPERPANJANG?

Meski ada masalah pada sosialisasi program pengampunan pajak, yang beraneka macam itu, gagasan memperpanjang program ini untuk menambah waktu sosialisasi belum muncul dari pihak pemerintah. Program pengampunan pajak memang telah terjadwal dalam UU No 11 Tahun 2016 yang ditandatangani Presiden Jokowi 1 Juli 2016 lalu.

Dalam pasal 4 UU ini, disebutkan tiga periode pelaksanaan deklarasi dan repratiasi harta wajib pajak dan uang tebusan yang harus dibayar. Periode I dimulai 1 Juli hingga 30 September 2016, periode II dimulai 1 Oktober hingga 31 Desember 2016, periode III dilmulai 1 Januari hingga 31 Maret 2017.

Periode ini diikuti oleh jumlah uang tebusan yang harus dibayar wajib pajak. Mereka yang mendeklarasikan dan merepratiasi hartanya pada periode I diharuskan membayar uang tebusan 2 persen. Yang tak melakukan repratiasi harus bayar tebusan 4 persen. Periode II uang tebusannya 3 persen dan 6 persen, periode III uang tebusannya 5 dan 10 persen.

Uang tebusan itu sudah masuk target APBN, artinya uang itu benar-benar dibutuhkan dan waktunya tentu harus sesuai waktu anggaran yang berjalan. Karena itu, kalau pelaksanaannya diperpanjang, tentu akan mempengaruhi waktu masuknya uang tebusan ke anggaran.

Masalahnya, apakah penjadwalan itu benar-benar harus tetap dilaksanakan karena sudah diatur UU? Tidak adakah celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk memungkinkan perpanjangan waktu untuk keperluan sosialisasi? Masalah ini tampaknya harus dikaji. Meskipun tidak harus tiga bulan seperti usulan Fuad Bawazier, perpanjangan waktu untuk sosialisasi sangat diperlukan.

Memang Direktorat Jenderal Pajak tampak sudah berusaha mengatasi kesimpangsiuran pemahaman program ini, misalnya dengan keluarnya Peraturan Dirjen Pajak (Per-11/DJ/2016) tertanggal 29 Agustus 2016. Peraturan Dirjen ini merupakan penjabaran dari UU No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.

Peraturan Dirjen Pajak itu menegaskan wajib pajak perorangan seperti petani, nelayan, pensiunan, tenaga kerja yang pendapatannya di bawah penghasilan tidak kena pajak (Rp 54 juta pertahun), dapat tidak mengikut program pengampunan pajak. WNI yang sudah 183 hari tinggal di luar negeri dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat tidak mengikuti program pengampunan pajak.

Soal warisan dan dana hibah, jika penerimanya tidak bekerja atau penghasilannya di bawah penghasilan tidak kena pajak, tidak masuk objek pengampunanan pajak. Demikian juga warisan dan dana hibah yang sebelumnya sudah dimasukkan dalam SPT pemberi waris atau pemberi hibah, juga tidak masuk objek pengampunan pajak.

Soal harta dari penghasilan yang sudah dikenai pajak penghasilan dan harta dari penghasilan yang bukan objek pajak, wajib pajak dapat melalukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPTPP) atau melaporkan harta tersebut dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPPT).

Apakah Peraturan Dirjen Pajak itu serta merta berhasil menghentikan kerisauan wajib pajak, UMKM, dan masyarakat? Tampaknya belum sepenuhnya efektif. Masih banyak pertanyaan dan kegelisahan umpamanya dari kalangan UMKM. Mungkin saja penghasilannya dan harta pengusaha UMKM memenuhi syarat untuk terkena pajak, namun perusahaan itu belum sehat benar. 

Demikian juga, mungkin banyak yang belum tahu,  UMKM yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar setahun, dan mendeklaradikan harta Rp 10 miliar ke bawah dikenakan uang tebusan 0,5 persen. Deklarasi harta di atas Rp 10 miliar, dikenai uang tebusan 2 persen. Namun rentang waktu bagi kelompok ini lebih panjang yaitu mulai awal Juli hingga 31 Maret 2017, tanpa terpengaruh periodesasi. (UU No 11 Tahun 2016, Pasal 4 ayat 3).

Karena itu, memang masih diperlukan lagi sosialisasi yang lebih intens termasuk kepada aparat pajak sampai tingkat kabupaten. Tentunya harus ditegaskan kembali tujuan program pengampunan pajak ini, yaitu:

- mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;

- mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebib valid, komprehensif, terintegrasi;

- meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. (Penjelasan UU No 11 Tahun 2016)

Jika mengacu pada tujuan itu, memang tidak salah untuk memperluas basis data perpajakan, dengan menambah jumlah wajib pajak relatif kecil dibanding potensi yang ada. Namun, tetap saja diperlukan kriteria yang berkeadilan sehingga masyarakat tidak merasa dizalimi.

Data resmi Ditjen Pajak menyebut, hingga tahun 2015, Wajib Pajak (WP) yang terdaftar dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencapai 30.044.103 WP, yang terdiri atas 2.472.632 WP Badan, 5.239.385 WP Orang Pribadi (OP) Non Karyawan, dan 22.332.086 WP OP Karyawan. Jumlah ini hanya 29,4 persen dari 93,72 juta penduduk yang bekerja.

Dari jumlah itu, yang menyampaikan SPT Tahunan PPh hanya 18.159.840 WP Wajib SPT., terdiri atas 1.184.816 WP Badan, 2.054.732 WP OP Non Karyawan, dan 14.920.292 WP OP Karyawan. Sayangnya, dari jumlah 18.159.840 WP Wajib SPT itu, baru 10.945.567 WP yang menyampaikan SPT Tahunan atau 60,27% dari jumlah total WP Wajib SPT.

Reformasi perpajakan yang hendak dicapai lewat program pengampunan pajak, tentu juga mengacu pada data itu. Meskipun demikian, asas keadilan, prioritas wajib pajak yang jadi target tentu harus dirumuskan dengan jelas. Jangan sampai kelompok masyarakat "miskin tidak kaya juga tidak" alias berpenghasilan pas-pasan atau sedikit di atas Rp 54 juta per tahun, atau omzet usahanya Rp 4,8 miliar namun usahanya masih sekedar hidup, yang ditekan untuk ikut pengampunan pajak.

MENUNGGU HARTA KONGLOMERAT TAX AMNESTY

Sejak awal rencana digulirkannya program pengampunan pajak memang yang disebut hadi sasaran utama adalah pengusaha dan konglomerat berharta banyak yang tak melaporkan hartanya, khususnya yang disimpan di luar negeri. Mereka yang berharta ribuan triliun iniah yang jadi sasaran utama, dengan harapan ada dana repratiasi dan bayar uang tebusan untuk menyokong APBN.

Adalah menarik menyimak pernyataan Ketua DPR Ade Komaruddin yang mempertanyakan,  benarkah pemerintah tidak berdaya menghadapi konglomerat besar yang jadi target utama. Apakah Direktorat Jenderal Pajak merasa takut atau ditakut-takuti oleh konglomerat besar itu, sehingga akhirnya melampiaskan ketidakberdayaannya dengan menyasar golongan masyarakat yang justru bukan target program ini.

Konglomerat besar dan orang berharta yang memiliki kekayaan di luar negeri namun tak dilaporkan ke Ditjen Pajak, menghindari kewajiban membayar pajak ke negara, yang disebut harta dan asetnya senilai Rp 11,45 ribu triliun, sejak UU Pengampunan Pajak baru berupa RUU dan dibahas di DPR, memang sasaran utama program ini. Angka Rp 11,45 ribu triliun itu adalah angka versi Departemen Keuangan, versi BI lain lagi lebih kecil jumlahnya, hanya Rp 3.147 triliun.

Merujuk BI yang mengacu data Global Financial Integritu (GFI) pada 2015, potensi dana yang direpratiasi sekitar Rp 560 triliun, dengan besar pemasukan tebusan sekitar Rp 45,7 triliun. Namun, di pemerintah ternyata angkanya jauh lebih besar yaitu Rp 165 triliun, sesuai perhitungan Departemen Keuangan, mengacu pada jumlah Rp 11,45 ribu triliun itu.

Banyak pihak yang pesimis target Rp 165 triliun yang dipatok pemerintah. Tak terkecuali Sofyan Wanandi, ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia. Pihaknya merasa tak pernah menjanjikan angka pemasukan sebesar itu. Dia hanya dimintai perkiraan yang disebutnya hanya berkisar antara Rp 60 triliun - Rp 80 triliun

Para konglomerat itulah yang ditawari pengampunan, diberi kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar dengan mencatatkan kekayaannya ke negara. Mereka diharapkan mau membawa pulang kekayaannya untuk membangun negeri ini. Kalau tidak mau repratiasi, setidaknya mereka mau deklarasi harta kekayaannya itu dan membayar uang tebusan ke negara. 

Sekarang, setelah memasuki bulan September dan harta yang dideklarasi baru mencapai Rp 149 triliun, dengan uang tebusan mencapai Rp 3,12 triliun dari target Rp 165 triliun. Dari jumlah deklarasi harta dalam negeri mencapai Rp 118 triliun. Sementara yang dari luar hanya Rp 21,2 triliun dan yang direpratiasi Rp 10 triliun.

Angka-angka itu memang masih jauh dari target, sementara periode I dengan uang tebusan terkecil yaitu 2 persen untuk harta di dalam negeri atau direpratiadi, dan 4 persen untuk yang hanya deklarasi, tinggal satu bulan. Karena itulah wajar jika ada yang mempertanyakan para konglomerat berharta besar itu kok masih adem-adem saja.

Memang terlalu cepat untuk pesimis. Program pengampunan masih akan berjalan sampai akhir Maret 2017, atau masih tujuh bulan lagi. Sikap optimis tetap harus dijaga walau terus terang tetap menimbulkan harap-harap cemas.

Sofyan Wanandi ketua Dewan Pertimbangan Apindo, termasuk yang optimis dana repratiasi dalam jumlah besar akan segera masuk September ini. Dia menyebut ada Rp 1.000 triliun dana repratiasi segera masuk, 60 sampai 70 persennya masuk September ini. 

Optimismenya itu bukannya tanpa alasan. Apindo telah mengumpulkan 120 pengusaha kakap dan mereka semua telah menyatakan komitmennya untuk ikut program pengampunan pajak. Para pengusaha ini menyatakan akan mulai deklarasi dan repratiasi hartanya pada September ini.

Mengacu pada pernyataan Sofyan ini, pernyataan Ketua DPR Ade Komarudin soal konglomerat ini terjawab sudah. Meski demikian, kalau ada yang menilai program pengampunan pajak ini terlalu cepat jalannya, kurang persiapan, kurang sosialisasi, kurang juklak dan juknis untuk panduan petugas pajak, ada benarnya

Akibatnya, muncul gejolak keresahan, dan bahkan gugatan ke MK yang sangat mungkin didasari ketidakpahaman dan akibat dari penyimpangan pelaksanaan program ini. Hal itulah yang menjadikan pendapat perlunya tambahan waktu sosialisasi, harus dipertimbangkan.

Soal perdebatan bahwa program ini tidak adil, karena terlalu mengistimewakan pemilik harta besar yang tak taat pajak, seharusnya perdebatannya sudah selesai. Program ini tak sekedar mengampuni para pemilik harta besar, namun ada tujuan yang lebih besar, yaitu pembangunan ekonomi dan sistem perpajakan yang lebih sehat.

Program ini juga tidak memberi efek kebal terhadap koruptor yang mengikuti pengampunan pajak karena tak ada satu pasal pun yang menyatakan KPK atau penegak hukum dilarang menyelidiki kasus korupsi pengikut program pengampunan pajak. Yang ada hanya soal kerahasiaan data wajib pajak, yang tak bisa diakses oleh para penegak hukum itu.

Akhirnya, optimisme atas program pengampunan pajak tetap harus dijaga. Namun sungguh tak elok jika menganggap program ini telah berjalan baik-baik saja. Masih banyak yang harus dilakukan termasuk mendidik petugas pajak. Jangan sampai muncul pertanyaan, ada apa dengan Direktorat Jenderal Pajak?

MENUNGGU PEJABAT IKUT TAX AMNESTY

Tak elok rasanya hanya menyoroti para pengusaha dan konglomerat untuk segera mendeklarasi dan merepratiasi hartanya. Tak adil jika hanya mereka yang dibebani tanggung jawab untuk sukses tidaknya program pengampunan pajak (tax amnesty). Para pejabat dan anggota DPR seharusnya juga harus segera mengikuti program ini sebagai teladan bagi yang lain.

Keteladanan para pejabat dan anggota DPR itu diperlukan sebagai pemicu gerakan yang sama di masyarakat. Ing Ngarso Sung Tulodho kata Ki Hajar Dewantoro, jadilah teladan dan panutan warga. Tak perlu gengsi, karena pengampunan pajak tak ada urusannya dengan gengsi. Kalau pejabatnya gengsi ya jangan salahkan kalau masyarakat ikut-ikut gengsi, dan semboyan "Ungkap-Tebus-Lega" tinggal jadi semboyan. Mereka akan tetap memilih kucing-kucingan dengan petugas pajak. 

Pengampunan pajak itu demi pembangunan ekonomi bangsa yang lebih baik, dan bukankah itu jadi tugas pejabat dan anggota DPR juga. Ini bukan lagi urusan kemplang mengemplang pajak lagi. Masa itu sudah lewat dan masyarakat juga sudah tahu. 

Jadi kalau sekarang ada pejabat datang ke kantor pajak, disyuting tv, diliput media cetak atau elektronik, dampaknya tentu akan membuat masyarakat yang masih ragu-ragu, malu-malu, akan mengikuti jejak mereka. Sikap dan tindakan ini yang kini diharapkan muncul dari para pejabat dan juga anggota DPR.

Selama ini pengampunan pajak terkesan sebagai pengampunan bagi para pengemplang pajak. Kesan ini ditambah dengan sifat kerahasiaan yang tinggi atas data pengikut program ini. Para pembocor data juga bisa dikenai hukuman kurungan 5 tahun penjara. Namun, kesan tak sepenuhnya benar. Banyak alasan yang bisa membuat seseorang ikut program ini, misal soal dapat warisan, hibah, penghasilan lain yang belum masuk SPTPP, dll.

Menampakkan diri sebagai peserta program pengampunan pajak itu juga tak melanggar hukum. Yang ditampakkan kan hanya "Ini lho, saya juga ikut program pengampunan pajak, mari ikut program ini bersama saya, jangan ragu-ragu, manfaatkan kesempatan bagus ini, agar harta anda berkah, hati pun jadi lega". Tak ada rincian data perpajakan yang terekspos.

Saat ini, mungkin sudah banyak pegawai pemerintah atau pejabat yang ikut program ini, misalnya di kalangan Direktorat Jenderal Pajak, baik pejabat maupun pensiunannya.  Direktorat Jenderal Pajak jelas tak bisa membocorkan nama mereka karena terikat sifat kerahasiaan dan sanksi hukum yang mengancam pembocor data ini. 

Namun jika yang mengumumkan adalah para peserta program itu sendiri dengan mengatakan "Saya ikut program pengampunan pajak, saya sudah bayar uang tebusan, dan saya lega" tentu berbeda kasusnya. Itu hak peserta program ini dan tak ada pasal di UU No 11 Tahun 2016 yang melarangnya.

Harus diakui ada hambatan psikologis pada peserta program pengampunan pajak untuk membuka jati dirinya. Pasti mereka dibayangi perasaan malu karena pengampunan pajak telanjur dikesankan lekat dengan urusan pengemplangan pajak. Akibatnya, peserta program ini seolah semuanya adalah para pelanggar perpajakan yang terancam pidana pajak, dan mendapat pengampunan (terkesan seperti kriminal pajak). 

Urusan kemplang-mengemplang pajak ini telah ramai jadi penbicaraan saat program ini masih baru rencana, dan baru berupa RUU. Sebelum program pengampunan pajak dijalankan mulai awal Juli lalu, ramai dibicarakan bocoran data The Panama Papers dari firma hukum Mossack Fonseca, Panama dan bocoran data Offshore Leak dari firma hukum Portcullis TrustNet di Singapura dan Commonwealth Trust Ltd di British Virgin Island. Di dua dokumen itu cukup banyak warga Indonesia, termasuk pejabat dan anggota DPR disebut. 

Dokumen itu mengungkap kepemilikan perusahaan cangkang di beberapa negara surga pajak, yang dicurigai sebagai cara menyembunyikan harta dan menghindari kewajiban membayar pajak ke negara. Ada juga yang menyebut kepemilikan perusahaan cangkang itu sekedar strategi untuk memudahkan ekspansi bisnis di luar Indonesia. Lepas dari benar dan salah, nama-nama seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Harry Azhar Azis, Rini Sumarno, Airlangga Hartarto, Cherul Tanjung, Sandiaga Uno ikut disebut.

Selain itu, kepatuhan pejabat dan juga anggota DPR dalam menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara negara juga masih memprihatinkan. Banyak sekali anggota DPR yang sama sekali belum pernah membuat LHKPN dan menyerahkannya ke KPK. Ada juga yang tak memperbarui datanya sejak 2010 lalu.

Oleh karena itu, program pengampunan pajak ini sempat dinilai sebagai jalan yang disiapkan untuk mereka agar kembali jadi warga negara yang patuh bayar pajak, bersih, dan berwibawa. Penilaian yang yang tak sepenuhnya salah.

Program ini memang bisa jadi kesempatan bagi mereka untuk meng-clear-kan harta mereka sekaligus untuk menyusun LHKPN dan menyerahkannya ke KPK. Apakah mereka telah mengambil kesempatan baik ini dengan ikut program pengampunan pajak dan membayar uang tebusan, tak ada yang tahu. Petugas pajak tak bisa mengungkap nama mereka karena ada ancaman lima tahun penjara.

Namun seandainya hari ini, pejabat dan anggota DPR datang ke Kantor Pajak mendeklarasikan dan merepratiasi hartanya, secara terbuka diliput media massa, itu baru contoh yang bagus. Pejabat negara memang selalu jadi contoh bagi warganya, entah dalam kebaikan atau keburukan. Tentu saja saat ini yang dibutuhkan adalah contoh kebaikan agar program pengampunan pajak berjalan dengan sukses

Akhirnya, para pejabat dan anggota DPR-ku, datanglah ke Kantor Pajak, deklarasikan dan repratiasi hartamu, dan jangan lupa undang media untuk meliputnya. Tak usah risih atau malu. Ini bukan pencitraan, ini contoh positif untuk rakyatmu.

 

 Salam.

 

Bacaan pendukung:

Wapres JK: Sosialisasi Tax Amnesty Tidak Jelas

UU Tax Amnesty Digugat Ketua DPR Menilai Ada yang Salah dalam Sosialisasi

Implementasi UU Tax Amnesty Dinilah Telah Membahayakan Usaha Kecil-Menengah

Harta Repatriasi September Diramal Rp 700 Triliun

JK Tak Perlu Ada Contoh Pejabat Ikut Tax Amnesty

Refleksi Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun