Peraturan Dirjen Pajak itu menegaskan wajib pajak perorangan seperti petani, nelayan, pensiunan, tenaga kerja yang pendapatannya di bawah penghasilan tidak kena pajak (Rp 54 juta pertahun), dapat tidak mengikut program pengampunan pajak. WNI yang sudah 183 hari tinggal di luar negeri dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat tidak mengikuti program pengampunan pajak.
Soal warisan dan dana hibah, jika penerimanya tidak bekerja atau penghasilannya di bawah penghasilan tidak kena pajak, tidak masuk objek pengampunanan pajak. Demikian juga warisan dan dana hibah yang sebelumnya sudah dimasukkan dalam SPT pemberi waris atau pemberi hibah, juga tidak masuk objek pengampunan pajak.
Soal harta dari penghasilan yang sudah dikenai pajak penghasilan dan harta dari penghasilan yang bukan objek pajak, wajib pajak dapat melalukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPTPP) atau melaporkan harta tersebut dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPPT).
Apakah Peraturan Dirjen Pajak itu serta merta berhasil menghentikan kerisauan wajib pajak, UMKM, dan masyarakat? Tampaknya belum sepenuhnya efektif. Masih banyak pertanyaan dan kegelisahan umpamanya dari kalangan UMKM. Mungkin saja penghasilannya dan harta pengusaha UMKM memenuhi syarat untuk terkena pajak, namun perusahaan itu belum sehat benar.Â
Demikian juga, mungkin banyak yang belum tahu, Â UMKM yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar setahun, dan mendeklaradikan harta Rp 10 miliar ke bawah dikenakan uang tebusan 0,5 persen. Deklarasi harta di atas Rp 10 miliar, dikenai uang tebusan 2 persen. Namun rentang waktu bagi kelompok ini lebih panjang yaitu mulai awal Juli hingga 31 Maret 2017, tanpa terpengaruh periodesasi. (UU No 11 Tahun 2016, Pasal 4 ayat 3).
Karena itu, memang masih diperlukan lagi sosialisasi yang lebih intens termasuk kepada aparat pajak sampai tingkat kabupaten. Tentunya harus ditegaskan kembali tujuan program pengampunan pajak ini, yaitu:
- mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;
- mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebib valid, komprehensif, terintegrasi;
- meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. (Penjelasan UU No 11 Tahun 2016)
Jika mengacu pada tujuan itu, memang tidak salah untuk memperluas basis data perpajakan, dengan menambah jumlah wajib pajak relatif kecil dibanding potensi yang ada. Namun, tetap saja diperlukan kriteria yang berkeadilan sehingga masyarakat tidak merasa dizalimi.
Data resmi Ditjen Pajak menyebut, hingga tahun 2015, Wajib Pajak (WP) yang terdaftar dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencapai 30.044.103 WP, yang terdiri atas 2.472.632 WP Badan, 5.239.385 WP Orang Pribadi (OP) Non Karyawan, dan 22.332.086 WP OP Karyawan. Jumlah ini hanya 29,4 persen dari 93,72 juta penduduk yang bekerja.