Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fokus Pajak, Reshuffle 2019 Saja

10 April 2016   08:10 Diperbarui: 10 April 2016   10:31 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kementerian BUMN yang dikomandani Rini Soemarno (yang namanya disebut dalam bocoran dokumen Offshore Leaks tahun 2013, data dari firma hukum Portucullis TrustNet di Singapura dan Commonwealth Trust Ltd di Britis Virgin Island) termasuk yang memasok Rp 273,8 triliun. Dari angka-angka itu, perpajakan menduki porsi terbesar. 

Ini berarti kelangsungan pembangunan negeri sangat-sangat-sangat bergantung pada penerimaan pajak untuk negara. Pembangunan infrastruktur yang tahun ini anggarannya ditetapkan Rp 313,5 triliun, naik dari anggaran tahun lalu Rp 290,3 triliun, akan sangat bergantung pada pajak. Artinya, jika penerimaan dari pajak meleset, program infrastruktur primadona Presiden Jokowi terancam juga.

Demikian pula, anggaran pendidikan yang kata Menkeu mencapai Rp 419,2 triliun ( dengan memasukkan anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah dan dana desa yang jumlahnya mencapai Rp 267,9 triliun). Anggaran pertahanan Rp 95.919,8 miliar, anggaran kepolisian Rp 67.232,7 miliar, anggaran kejaksaan Rp 4,706 triliun, anggaran DPR Rp 4,66 triliun, semua bergantung pula ke pajak.

Pajak akan terus memainkan peranan sangat menentukan pembangunan negeri ini. Namun, vitalnya peranan pajak bagi negara, belum sepenuhnya diimbangi perhatian yang sangat-sangat-sangat serius terhadap badan dan aparatnya. Ini bukan soal gaji dan dan tunjangan, tetapi soal kemampuan dan kelengkapan badan perpajakan yang seharusnya dimilikinya.

Adalah menarik membaca tiga pertimbangan Partai Demokrat terkait pembahasan RUU Tax Amnesti (yang kini ditunda pembahasannya itu karena DPR ingin mendengar langsung penjelasan presiden). Pertama, harus dipastikan apa ada keuntungan ekonomi dengan adanya UU itu. Benarkah ada dana sampai ratusan triliun.

Kedua, pemerintah harus bisa memastikan darimana asal usul dana yang akan ditarik melalui tax amnesty. Ketiga, harus bisa dipastikan model pengelolaan perpajakan, baik sistem maupun manajemennya. Jangan ada lagi kong kalikong, SDM harus bersih, jujur, akuntabel dan transparan. Pertimbangan ketiga ini menarik, dan seharus sudah harus diterapkan sejak zaman Pak SBY dulu.

Pengemplangan pajak oleh wajib pajak (baik yang sudah masuk daftar atau yang masih lolos) memang sangat ditentulan pula oleh kualitas SDM, integritas, transaparansi, dan kejujuran aparat pajak. Terjadinya kasus ribuan PMA yang lolos tak bayar pajak puluhan tahun, atau wajib pajak yang tak terdaftar wajib pajak atau yang mengisi SPT jauh di bawah jumlah wajib pajak terdaftar, erat kaitannya dengan hal itu. Dan ini sudah berjalan puluhan tahun. 

Jika ditambah dengan para pengemplang pajak yang membawa uangnya ke negara-negara surga pajak (tax haven) makin bertambahlah masalah perpajakan ini. Sebentar lagi, AEOI juga diberlakukan, itu berarti data pengemplang pajak juga akan bertambah. Tax amnesty bisa saja dipandang efektif menurangi itu, termasuk pemerintah yang kini menawarkan sejumlah instrument investasi, misal Surat Utang Negara, obligasi perusahaan BUMN, deposito, dan produk investasi lain. Tapi apa cukup dengan itu.

Pemberlakukan AEOI dan kemungkinan bandelnya pengusaha nakal, akan membuka peluang sebesar-besarnya meningkatnya perkara perpajakan baik administratif atau pidana. Mengacu ke fakta 90 persen kasus sengketa perpajakan yang menempatkan pemerintah pada posisi kalah, sudah wajar jika muncul kekhawatiran tentang kesiapan kita dalam menyongsong AEOI. Jangan sampai kita punya data wajib pajak nakal tapi tak bisa mengambil tindakan hukum secara semestinya.

Oleh karena itu, jika Presiden Jokowi menempatkan deregulasi, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan kemampuan SDM dalam skala prioritas, sangat wajar pula jika presiden menempatkan pembenahan di sektor perpajakan dalam skala prioritas pula. Sangat tidak lucu, ketika aturan kita pangkas untuk menggenjot investasi, namun tak bisa memberi nilai tambah maksimal karena badan perpajakan tak bisa menggarapnya secara baik. Kasus 2.000 lebih PMA yang tak bayar pajak itu contoh yang konkret.

Saya tak hendak menafikkan perhatian presiden ke persoalan pajak. Dua kali presiden berkunjung ke Direktorat Jenderal Pajak, untuk memberi dorongan dan sekaligus penegasan pentingnya pajak bagi negara. Namun, mungkin yang diperlukan lebih dari itu. Tak sekedar meningkatkan SDM perpajakan, memotifasi mereka secara langsung. Ada hal lebih yang harus dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun