Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fokus Pajak, Reshuffle 2019 Saja

10 April 2016   08:10 Diperbarui: 10 April 2016   10:31 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fokus Pajak, Reshuffle Setelah 2019 Saja

Ada yang lebih penting daripada resuffle kabinet yang kini disuarakan beberapa kelompok kepentingan. Pajak yang menjadi pengisi utama pundi-pundi negara, memerlukan perhatian lebih. Menata sebuah badan perpajakan yang lebih siap menghadapi situasi terkini, lebih mendesak dilakukan. Tanpa itu, pemberlakuan tax amnesty atau automatic exchange of information (AEOI) malah jadi beban, karena masalah pengemplangan pajak yang akut.

Ketika Panama Papers dibuka seminggu lalu, reaksi dunia cukup beragam. Di Finlandia, perdana menteri mundur karenanya, di Pakistan diadakan penyelidikan besar-besaran, di China pembicaraan tentang Panama Papers “dilarang”. Di Swiss, pasukan polisi menyerbu markas UEFA, Prancis kembali memasukkan Panama dalam daftar hitam negara surga pajak, aparat San Salvador geledah kantor firma hukum Mossack Fonseca. Di Inggris, sang perdana menteri menyatakan saham peninggalan ayahnya sudah dijual,

Di Indonesia, sampai sejauh ini landai-landai saja. Masalahnya, penghindaran dan pengemplangan pajak sudah jadi persoalan serius yang belum tertangani dengan baik. Negara lain yang lebih siap dengan persoalan ini, tentu akan menyambut masukan Panama Papers dengan sigap. Sementara Indonesia, mungkin malah jadi tambahan beban baru.

Inilah beberapa reaksi pejabat Indonesia:

-Presiden Jokowi memerintahkan Menkeu memeriksa dan meneliti dokumen Panama Papers. Presiden mengaku sebelum munculnya Panama Papers itu sudah memegang dokumen berisi warga Indonesia penghindar pajak. “Sebelum Panama pun, saya sudah punya satu bundel nama-nama.” 

-Wakil Presiden Jusuf Kalla, “Ini kan Panama Papers itu bermacam-macam. Bukan berarti yang namanya di situ melakukan kejahatan. Maka tergantung datanya nanti, kalau masalahnya pajak, ya bikin pengampunanlah.” Dia mengibaratkan uang di luar negeri itu seperti orang, bisa sekedar jalan-jalan, berbisnis, atau bersembunyi karena takut dihukum. “Nah, yang salah kan cuma yang terakhir. Yang jalan-jalan dan untuk bisnis kan tidak ada salahnya.”

-Menkeu Bambang Brojonegoro, “Kasusnya macam-macam. Ada yang cuma mendirikan perusahaan dan enggak semuanya mengemplang pajak.” Data Panama Papers akan menjadi informasi tambahan bagi Direktorat Jenderal Pajak. “Nanti kami pakai untuk melengkapi data yang kami miliki.”

-Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, DJP punya data yang lebih akurat terkait pengemplang pajak dan negara tujuannya. “Kami peroleh data itu bukan dari Panama Papers. Kita peroleh data dari tax authority atau dirjen pajak di negara-negara G20.”

Kapolri Badrodin Haiti, “Yang jelas itu untuk menghindari masalah pajak. Karena itu, Dirjen Pajak yang punya kewenangan soal itu.” Meski demikian Kapolri menyebut kasus Panama Pepers belum tentu masuk pidana umum atau korupsi.

-Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengklaim memiliki data yang sama dengan data Panama Papers. Sementara Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyebut data yang dimiliki KPK berupa foto dan rekaman. “Kami nanti akan banyak berkoordinasi dengan banyak badan di luar dan di dalam negeri.” 

-Seskab Pramono Anung menyatakan pemerintah punya data lebih lengkap. Tax amnesty diperlukan untuk menarik dana itu kembali. “Data itu sudah ada sejak 2 tahun lalu. Itu kenapa Menkeu secara terbuka menyampaikan tax amnesty diperlukan.”

Reaksi beragam itu menunjukkan satu hal pokok, Indonesia mengalami masalah serius terkait persoalan dana yang diparkir di luar negeri untuk menghindari pajak. Sekedar diketahui, di Singapura saja diperkirakan Rp 4.000 triliun aset orang Indonesia mengendap. Data itu sudah ada jauh sebelum Panama Papers beredar. Inilah penyebab bergulirnya rencana tax amnesty yang pembahasan RUU-nya tak kunjung selesai di DPR. 

Banyak negara lain mengalami persoalan serupa, sehingga kini ada kerja sama global memeranginya, di antaranya dengan pertukaran data dan pemberlakuan automatic exchange of information (AEOI). Dengan AEOI, aparat pajak bisa leluasa mengakses data para nasabah perbankan di luar negeri. Dengan begitu, para wajib pajak yang memarkir uangnya di luar negeri untuk menghindari pajak bisa dengan mudah diketahui.   

Masalahnya, setelah mengetahui adanya wajib pajak nakal, tidak serta merta pemerintah bisa mengambil tindakan sanksi adminisratif atau pidana. Bergulirnya rencana tax amnesty menyuratkan hal itu. Imbauan agar orang kaya kita menarik dananya dari luar negeri mengokohkan ketidakberdayaan itu. Sepertinya, tak ada jerat hukum untuk mereka, karena praktek seperti itu dinilai wajar dalam dunia bisnis dan penyimpanan uang.

Selain persoalan kegemaran orang kaya kita memarkir dana di luar negeri untuk menghindari pajak, di dalam negeri sendiri ada persoalan pengemplangan pajak yang cukup serius. Ribuan PMA ditemukan tak bayar pajak selama puluhan tahun. Kalau pada 23 Oktober 2015 lalu disebut ada 4.000 an PMA, terakhir 21 Maret 2016 Menkeu menyebut ada 2000-an PMA di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir tidak membayar pajak. 

Para PMA ini beralasan selalu rugi, namun ini bertolak belakang dengan hasil perhitungan dan pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak. Menurut perhitungan dan pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak, PMA itu harusnya membayar per tahunnya rata-rata Rp 25 miliar. Kalau dikalikan 2000, tinggal dihitung berapa triliun potensi pajak yang hilang selama ini. Ini bisa berjalan puluhan tahun tanpa ada tindakan.

Selain itu, dari 30,044 juta wajib pajak yang terdaftar pada 2016 (wajib pajak badan 2,4 juta, wajib pajak perorangan 27,5 juta) hanya 18,1 juta yang sudah mengisi SPT. Rinciannya 1,1 juta wajib pajak badan dan 16,9 juta wajib pajak perseorangan. Angka-angka itu meningkat sangat pesat dibanding tahun lalu. Pada 2015, dari 27 juta wajib pajak, yang mengisi SPT perorangan hanya 9,92 juta wajib pajak perorangan dan 164.359 wajib pajak badan. 

Akar dari persoalan pajak ini --puluhan tahun PMA tak bayar pajak, wajib pajak yang belum tergarap dengan baik sehingga jumlahnya relatif kecil dibanding jumlah penduduk secara keseluruhan-- terletak pada kemampuan aparat pajak kita. Anggota Komisi XI Misbachun menyebut kualitas petugas pemeriksa pajak masih rendah. Salah satu indikatornya, dalam kasus sengketa pajak yang sudah sampai tahap banding atau PK, 90 persen DJP kalah.

Fokus Pajak, Reshuffle 2019 Saja

 

Saat ini, pajak telah menduduki pendapatan negara yang paling penting. Dari belanja negara yang ditetapkan Rp 2,095,7 triliun, pajak harus menyumbang Rp 1.360,1 triliun atau 74,6 persen, cukai dan kepabeanan menyumbang Rp 186,5 trilun. Total pemasukan dari perpajakan mencapai Rp 1.546,7 triliun atau 84,8 persen. Sementara penerimaan dari luar perpajakan hanya mencapai Rp 273,8 triliun.

Kementerian BUMN yang dikomandani Rini Soemarno (yang namanya disebut dalam bocoran dokumen Offshore Leaks tahun 2013, data dari firma hukum Portucullis TrustNet di Singapura dan Commonwealth Trust Ltd di Britis Virgin Island) termasuk yang memasok Rp 273,8 triliun. Dari angka-angka itu, perpajakan menduki porsi terbesar. 

Ini berarti kelangsungan pembangunan negeri sangat-sangat-sangat bergantung pada penerimaan pajak untuk negara. Pembangunan infrastruktur yang tahun ini anggarannya ditetapkan Rp 313,5 triliun, naik dari anggaran tahun lalu Rp 290,3 triliun, akan sangat bergantung pada pajak. Artinya, jika penerimaan dari pajak meleset, program infrastruktur primadona Presiden Jokowi terancam juga.

Demikian pula, anggaran pendidikan yang kata Menkeu mencapai Rp 419,2 triliun ( dengan memasukkan anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah dan dana desa yang jumlahnya mencapai Rp 267,9 triliun). Anggaran pertahanan Rp 95.919,8 miliar, anggaran kepolisian Rp 67.232,7 miliar, anggaran kejaksaan Rp 4,706 triliun, anggaran DPR Rp 4,66 triliun, semua bergantung pula ke pajak.

Pajak akan terus memainkan peranan sangat menentukan pembangunan negeri ini. Namun, vitalnya peranan pajak bagi negara, belum sepenuhnya diimbangi perhatian yang sangat-sangat-sangat serius terhadap badan dan aparatnya. Ini bukan soal gaji dan dan tunjangan, tetapi soal kemampuan dan kelengkapan badan perpajakan yang seharusnya dimilikinya.

Adalah menarik membaca tiga pertimbangan Partai Demokrat terkait pembahasan RUU Tax Amnesti (yang kini ditunda pembahasannya itu karena DPR ingin mendengar langsung penjelasan presiden). Pertama, harus dipastikan apa ada keuntungan ekonomi dengan adanya UU itu. Benarkah ada dana sampai ratusan triliun.

Kedua, pemerintah harus bisa memastikan darimana asal usul dana yang akan ditarik melalui tax amnesty. Ketiga, harus bisa dipastikan model pengelolaan perpajakan, baik sistem maupun manajemennya. Jangan ada lagi kong kalikong, SDM harus bersih, jujur, akuntabel dan transparan. Pertimbangan ketiga ini menarik, dan seharus sudah harus diterapkan sejak zaman Pak SBY dulu.

Pengemplangan pajak oleh wajib pajak (baik yang sudah masuk daftar atau yang masih lolos) memang sangat ditentulan pula oleh kualitas SDM, integritas, transaparansi, dan kejujuran aparat pajak. Terjadinya kasus ribuan PMA yang lolos tak bayar pajak puluhan tahun, atau wajib pajak yang tak terdaftar wajib pajak atau yang mengisi SPT jauh di bawah jumlah wajib pajak terdaftar, erat kaitannya dengan hal itu. Dan ini sudah berjalan puluhan tahun. 

Jika ditambah dengan para pengemplang pajak yang membawa uangnya ke negara-negara surga pajak (tax haven) makin bertambahlah masalah perpajakan ini. Sebentar lagi, AEOI juga diberlakukan, itu berarti data pengemplang pajak juga akan bertambah. Tax amnesty bisa saja dipandang efektif menurangi itu, termasuk pemerintah yang kini menawarkan sejumlah instrument investasi, misal Surat Utang Negara, obligasi perusahaan BUMN, deposito, dan produk investasi lain. Tapi apa cukup dengan itu.

Pemberlakukan AEOI dan kemungkinan bandelnya pengusaha nakal, akan membuka peluang sebesar-besarnya meningkatnya perkara perpajakan baik administratif atau pidana. Mengacu ke fakta 90 persen kasus sengketa perpajakan yang menempatkan pemerintah pada posisi kalah, sudah wajar jika muncul kekhawatiran tentang kesiapan kita dalam menyongsong AEOI. Jangan sampai kita punya data wajib pajak nakal tapi tak bisa mengambil tindakan hukum secara semestinya.

Oleh karena itu, jika Presiden Jokowi menempatkan deregulasi, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan kemampuan SDM dalam skala prioritas, sangat wajar pula jika presiden menempatkan pembenahan di sektor perpajakan dalam skala prioritas pula. Sangat tidak lucu, ketika aturan kita pangkas untuk menggenjot investasi, namun tak bisa memberi nilai tambah maksimal karena badan perpajakan tak bisa menggarapnya secara baik. Kasus 2.000 lebih PMA yang tak bayar pajak itu contoh yang konkret.

Saya tak hendak menafikkan perhatian presiden ke persoalan pajak. Dua kali presiden berkunjung ke Direktorat Jenderal Pajak, untuk memberi dorongan dan sekaligus penegasan pentingnya pajak bagi negara. Namun, mungkin yang diperlukan lebih dari itu. Tak sekedar meningkatkan SDM perpajakan, memotifasi mereka secara langsung. Ada hal lebih yang harus dilakukan.

Pajak adalah hal vital bagi negeri ini. Jika kita memandang teroris sebagai ancaman serius dan lantas didirikan BPNT; jika kita memandang korupsi sebagai ancaman serius dan lantas didirikan KPK; jika kita memandang narkoba sebagai ancaman serius dan lantas didirikan BNN; apa yang harus dilakukan untuk masalah perpajakan kita?

Tanpa niat mencampuri hak prerogratif presiden, masalah perpajakan ini lebih mendesak untuk ditangani dan dibenahi, daripada urusan reshuffle kabinet yang didorong-dorong beberapa kelompok kepentingan itu (tunggu sajalah nanti pada 2019). Pajak terlalu vital untuk diabaikan dan sudah waktunya mendapat penanganan khusus dengan badan yang khusus pula.

Badan Perpajakan baru itu, layak dibawahkan langsung presiden, yang bisa memberi citra baru aparat perpajakan yang sigap, jujur, dan kompeten dalam menangani perpajakan. Sebuah badan yang mewadahi sinergi Direktorat Jenderal Pajak, PPATK, kejaksaan, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, perdagangan, perindustrian, kemenlu, BIN, dan yang lain. Pajak tidak bisa lagi hanya jadi domain Kementerian Keuangan.

Banyak hal yang masih harus dibenahi, termasuk aturan hukum. Kasus Google, Facebook, Twitter, yang kini ditangani misalnya. Dalam dunia yang makin mengglobal, perusahaan global akan akan makin menggurita. Menghadapi raksasa bisnis seperti itu, jelas dibutuhkan badan perpajakan yang kuat pula, dengan negara berdiri langsung di belakangnya.

Banyak raksasa bisnis yang harus dan akan dihadapi, baik di bidang otomotif, migas, IT, dan lainnya. Kalau kita tidak berbenah, pertarungan itu akan timpang; seperti saat ini.

 

Salam.

*) data tulisan ini dari situs-situs berita online

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun