Noorca M. Massardi, lahir di Subang (Jawa Barat), pada 28 Februari 1954. Pewarta, penulis fiksi, drama (Bhagawad Gita, Kertanegara, Kuda-Kuda, Perjalanan Kehilangan, Terbit Bulan Tenggelam Bulan, Growong, dll), dan skenario film (Sekuntum Duri), ini pernah menjadi aktor/sutradara Teater Lisendra. Ia juga dikenal sebagai pembawa sejumlah program film, hukum, politik dan kebudayaan di stasiun televisi RCTI, TVRI, dan JakTV. Pernah menjadi pengurus organisasi Karyawan Film dan Televisi (KFT) dan Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), ia juga sempat menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Pemimpin redaksi sejumlah majalah, antara lain Jakarta-Jakarta, Vista FMTV, Forum Keadilan, Hongshui, AND, wakil Pemimpin Umum Tabloid Prioritas, dan Kultur, ini pernah menjadi koresponden Tempo di Paris, dan pewarta di Harian Kompas. Lulusan Ecole Superieur de Journalism (ESJ) Paris, Perancis, ini sudah menerbitkan novel Sekuntum Duri (1978), Mereka Berdua (1982), September (2006), d.I.a. cinta dan Presiden (2008), dan Straw (2015). Kini ia menjabat Redaktur Eksekutif Majalah Kebudayaan terbitan Dirjen Kemendikbud.
Ihwal motivasinya menulis novel, padahal sebagai pengusaha muda dengan aset triliunan rupiah ia pasti sangat sibuk, Mohammed Cevy Abdullah menyatakan, “Dengan novel 180 ini saya hanya ingin berbagi. Terutama bagi generasi muda, khususnya dari kalangan keluarga sederhana. Kita harus selalu bersemangat untuk menimba ilmu, tekun dan tabah menjalani hidup, dan harus senantiasa memelihara dan memiliki impian setinggi mungkin. Bila kita tetap fokus, bersikap terbuka, dan disiplin berjuang, insha Allah cita-cita kita akan terkabul. Dan, jangan lupa, Tuhan sudah punya skenario. Kitalah yang harus merebut dan mengisi peran itu. Kitalah yang harus memilih ingin menjadi apa. Bukan orang lain!” katanya.
Selain itu, menurut Mohammed Cevy Abdullah, ia sengaja menulis novel itu karena kepeduliannya terhadap perkembangan sosial dan psikologis masyarakat saat ini. Khususnya “Y Generations” Indonesia. Ia ingin menyampaikan pesan sosialnya melalui media novel, yang sarat akan nilai-nilai filosofi kehidupan yang penuh dengan fake, freak dan false. Novel itu juga merupakan sumbangsihnya, tidak hanya untuk memperkaya khasanah penulisan fiksi, tapi juga untuk menularkan spirit dan filosofi “Tora” kepada generasi muda Indonesia.
Sedang Noorca M. Massardi, yang mengaku baru pertama kali menulis novel bersama ini, menyatakan sangat menikmati proses penulisan, merancang plot, dan mengedit naskah novel 180. “Walau saya baru mengenal Mohammed Cevy Abdullah 14 bulan lalu, ternyata kami memiliki kesamaan dalam visi, misi, karakterisasi, dan konsep penulisannya. Alhamdulillah, semua lancar. Terutama karena niat kami memang sejalan. Ingin berbagi inspirasi tentang pergulatan hidup yang berakhir happy-ending, dengan generasi muda negeri ini, yang menyimpan energi luar biasa.”
Sementara itu, Syafruddin Azhar, selaku Senior Editor dari penerbit Kakilangit Kencana, mengatakan, ia memilih untuk menerbitkan novel 180 ini karena, “Karya novel ini merupakan genre yang langka dan unik yang ditulis secara tandem. Saya membayangkan suatu kerja sama yang rumit di dalam menyatukan pokok pikiran, dua gaya bahasa, dan plot cerita yang tidak mudah. Selain itu, novel 180 ini membawa pesan moral yang luar biasa dahsyatnya bagi pembaca, terutama generasi muda yang sedang dan hendak menapaki masa depannya. Hal ini sejalan dengan visi dan misi penerbitan kami, yang tidak hanya business oriented tapi juga membawa misi edukasi. Sebagai editor yang membaca draft awalnya, saya menilai tokoh Tora dalam novel ini bisa menjadi inspirasi hidup bagi pembaca, dengan meresapi hal-hal yang baik (aura positif) dan memilah hal-hal yang dirasakan tidak sesuai (aura negatif) dengan gaya hidup masing-masing pembaca. Dengan menyelami kisah jalan hidup Tora yang penuh riak dan warna tersebut, saya merekomendasikan novel 180 ini sebagai “ramuan ajaib” bagi mereka yang berpikir, memasuki tahun baru 2016...”
Novel inspiratif “180” mengisahkan tentang perjalanan hidup Tora, seorang pemuda petani miskin yang sangat disiplin, fokus, dan pekerja keras, yang bertekad untuk meraih cita-citanya: menjadi manusia cerdas dan sekaligus menjadi milioner pada usia 30 tahun!
Tora adalah anak dari keluarga petani miskin, namun sejak kecil punya cita-cita besar. Ia percaya semua mimpinya bisa diwujudkan melalui kerja keras, ilmu pengetahuan, percaya diri, dan tidak pernah mengasihani diri sendiri. Segala cara ditempuhnya untuk mencapai tujuan, hingga akhirnya ia dipercaya seorang pemodal asing untuk mengelola perusahaan agro-industri terbesar di Asia.
Tora adalah kisah sukses yang diraih melalui petualangan hidup yang hitam dan putih, namun semua dilakukannya dengan sepenuh kesadaran. Tetapi ia juga percaya bahwa semua yang diterima dan dijalaninya semata merupakan bagian dari skenario Tuhan untuknya. Termasuk bagaimana ia harus membagi dan mengelola cinta dan kasih sayang untuk ibunya, anaknya, dan sejumlah perempuan yang ikut mewarnai hidupnya baik dalam duka, dan keberhasilan, maupun dalam kemiskinan dan kelimpahmewahan.
“180” adalah sebuah novel inspiratif untuk generasi muda kreatif, penuh impian, dan siap berpetualang dalam meraih cita-cita dan masa depan. Novel yang ditulis berdua dan belum pernah ada dalam sejarah literatur Indonesia modern itu, akan diedarkan di semua jaringan toko buku di seluruh Indonesia mulai akhir Januari 2016.
Sebelum acara peluncuran buku, di Studio XXI itu juga ditayangkan film pendek Red Code yang ditulis-disutradarai, dan diproduksi oleh Mohammed Cevy Abdullah. Usai penayangan trailer film genre laga itu, tokoh teater Bandung, Iman Soleh mempersembahkan pentas “Perjalanan Sunyi” yang merupakan penafsiran bebas atas esensi dan misi utama yang disampaikan kedua pengarang dalam novel “180.” “Saya menafsirkan teks novel dan kandungan maknanya secara bebas, melalui pembacaan, iringan musik dan lagu, serta tari dan multimedia,” kata Iman Soleh.