Mohon tunggu...
Dailymonthly
Dailymonthly Mohon Tunggu... Freelancer - Just Another Blog

Budayakan Membaca Dailymonthly | Prima H. I have been writing for over 10 years. I have written on various topics such as politics, technology, and entertainment. However, my true passion lies in writing about comprehensive analysis and from various points of view. I believe that writing from multiple perspectives allows me to explore my subjects, settings, and moral gray areas from a wider variety of perspectives, which sustains complexity and keeps the reader interested. I have written several articles on this topic and am considered an expert in the field.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Keyakinan dan Ketakutan: Dimensi Spiritual dan Sosial Gunung Berapi Teraktif di Indonesia

17 Mei 2023   06:05 Diperbarui: 17 Mei 2023   06:17 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dimensi Sprititual dan Sosial Gunung Teraktif di Indonesia

Antara Keyakinan dan Ketakutan: Dimensi Spiritual dan Sosial Gunung Berapi Teraktif di Indonesia

Penjaga Pintu Gerbang Merapi: Kisah tentang Keyakinan dan Api di Negeri Gunung Berapi Indonesia.

Ilustrasi: Negeri Gunung Berapi (dok.Dailymontly)
Ilustrasi: Negeri Gunung Berapi (dok.Dailymontly)

Udi, seorang petani berusia 60 tahun dari desa Kinarejo di pulau Jawa, telah melihat semuanya. Ia telah menyaksikan Gunung Merapi, salah satu gunung berapi paling aktif dan berbahaya di dunia, meletus berkali-kali, memuntahkan awan panas berupa abu dan gas, aliran lahar, jatuhan batu, dan gas beracun ke udara. Dia telah kehilangan teman dan kerabat akibat amukan gunung berapi, termasuk Mbah Marijan , Penjaga Gerbang Merapi yang dihormati yang meninggal pada tahun 2010 ketika letusan besar merenggut lebih dari 300 nyawa. Ia menentang perintah evakuasi dan peringatan pemerintah, memilih untuk tetap tinggal di tanah leluhurnya dan merawat tanaman serta ternaknya. Ia menaruh kepercayaan pada roh-roh Merapi, percaya bahwa mereka akan melindunginya dan penduduk desa lainnya dari bahaya.

Ilustrasi: Penghuni Gunung Berapi (dok.Dailymonthly)
Ilustrasi: Penghuni Gunung Berapi (dok.Dailymonthly)


Merapi, yang namanya berarti "gunung api" dalam bahasa Jawa, menjulang hampir 10.000 kaki di atas hutan dan ladang, dan termasuk salah satu gunung berapi yang paling produktif di dunia. Merapi telah meletus lebih dari 80 kali sejak tahun 1006 Masehi, menurut catatan sejarah. Letusannya memiliki intensitas dan dampak yang bervariasi, mulai dari lontaran kubah lava ringan hingga aliran piroklastik eksplosif yang dapat melaju hingga 60 mil per jam dan mencapai suhu lebih dari 1.000 derajat Celcius. Pada bulan Maret 2023, Merapi meletus lagi, mengirimkan sungai lava dan awan gas panas yang mengalir setinggi 3.000 meter (9.850 kaki) ke lerengnya. Letusan ini menghalangi sinar matahari dan menyelimuti beberapa desa dengan hujan abu. Tidak ada korban jiwa yang dilaporkan, namun lebih dari 150 orang dievakuasi dari zona bahaya.

Udi tidak termasuk di antara mereka. Ia tetap tinggal di Kinarejo, sebuah desa yang hanya berjarak tiga mil dari kawah Merapi dan hancur akibat letusan tahun 2010. Ia membangun kembali rumah dan ladangnya setelah bencana tersebut, dan menolak untuk pindah ke daerah yang lebih aman. Dia mengatakan bahwa dia merasa aman di Kinarejo karena dia mengikuti bimbingan Mbah Marijan, mantan Juru Kunci Merapi yang ditunjuk oleh mendiang Sultan Yogyakarta pada tahun 1982. Mbah Marijan bertanggung jawab untuk melakukan ritual untuk menenangkan raksasa yang diduga menghuni puncak Merapi dan berkomunikasi dengan roh-roh gunung berapi. Beliau sangat dihormati oleh masyarakat setempat karena kebijaksanaan dan kesalehannya. Ia juga menolak untuk mengungsi saat terjadi letusan, dan mengatakan bahwa sudah menjadi tugasnya untuk tetap tinggal dan berdoa agar Merapi tetap tenang. Beliau meninggal di rumahnya ketika aliran piroklastik melanda Kinarejo pada tahun 2010.

Udi mengatakan bahwa dia mewarisi peran Mbah Marijan sebagai juru kunci tidak resmi Merapi setelah kematiannya. Dia mengatakan bahwa dia masih melakukan ritual yang diajarkan Mbah Marijan, seperti mempersembahkan bunga, beras, dan dupa kepada gunung berapi pada hari-hari tertentu. Dia juga mengatakan bahwa dia juga mendengarkan suara Merapi dan mengamati tanda-tandanya untuk mengetahui kapan Merapi marah atau senang. Ia mengatakan bahwa ia memiliki ikatan khusus dengan Merapi dan dapat merasakan suasana hati dan niatnya. "Merapi sudah seperti teman bagi saya," katanya. "Saya tahu kapan ia ingin berbicara atau kapan ia ingin ditinggal sendirian. Saya tahu kapan ia akan meletus atau kapan ia akan diam. Saya tidak perlu mendengarkan para ilmuwan atau pemerintah. Mereka tidak memahami Merapi seperti saya."

Sikap Udi mungkin terlihat tidak rasional atau sembrono di tempat lain, tapi tidak di Indonesia-sebuah negara kepulauan yang terdiri dari 17.500 pulau yang terletak di bagian barat Cincin Api yang sangat aktif. Ini adalah zona dengan aktivitas geofisika yang intens, di mana lempeng tektonik yang bertabrakan membentuk lingkaran sepanjang 25.000 mil di sekitar Pasifik. Indonesia memiliki keunikan dalam hal geografis: tidak ada tempat lain di dunia yang memiliki begitu banyak penduduk yang tinggal begitu dekat dengan sejumlah gunung berapi aktif. Menurut sebuah perhitungan, Pulau Jawa saja memiliki 120 juta penduduk yang tinggal di bawah bayang-bayang lebih dari 30 gunung berapi. Sayangnya, kedekatan ini telah merenggut nyawa lebih dari 140.000 orang dalam 500 tahun terakhir.

Kematian akibat gunung berapi dapat terjadi dalam berbagai bentuk-lava yang membakar, lumpur yang menyesakkan, atau tsunami yang sering terjadi setelah letusan. Pada tahun 1883,
Gunung Krakatau (sering salah dieja sebagai Krakatau), yang terletak di lepas pantai Jawa,
memicu tsunami yang merenggut lebih dari 36.000 nyawa. Namanya menjadi metafora untuk bencana alam yang dahsyat. Namun, bagi Udi dan banyak orang Indonesia lainnya, gunung berapi bukan hanya sebuah sisi kehidupan; mereka adalah kehidupan itu sendiri. Abu vulkanik menyuburkan tanah, membuatnya subur untuk pertanian dan mendukung mata pencaharian jutaan petani. Gunung berapi juga memiliki makna budaya dan spiritual, karena dianggap sebagai tempat tinggal para dewa, nenek moyang, atau roh. Banyak orang Indonesia mempraktikkan bentuk sinkretisme, memadukan unsur-unsur Islam, Hindu, Budha, dan animisme dalam kepercayaan dan ritual mereka. Mereka menganggap gunung berapi sebagai tempat suci yang perlu dihormati dan ditenangkan. Mereka juga percaya bahwa gunung berapi memiliki kepribadian dan suasana hati yang dapat dipengaruhi oleh tindakan manusia. Beberapa gunung berapi dianggap baik hati dan murah hati, sementara yang lain dianggap jahat dan merusak.

Ilustrasi: Pendaki Gunung (dok.Dailymonthy)
Ilustrasi: Pendaki Gunung (dok.Dailymonthy)


Merapi adalah salah satu yang terakhir. Gunung ini sering dikaitkan dengan raksasa yang tinggal di kawahnya dan meminta persembahan dari masyarakat. Merapi juga dikaitkan dengan tokoh mitologi Prabu Siliwangi, raja legendaris Kerajaan Sunda yang menghilang ke dalam kobaran api Merapi setelah dikalahkan oleh Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16. Beberapa orang percaya bahwa Prabu Siliwangi akan kembali suatu hari nanti untuk mengembalikan kejayaan kerajaannya dan menghukum orang-orang jahat. Merapi juga terhubung dengan kerajaan Yogyakarta, sebuah kota yang terletak 20 mil ke arah selatan yang dulunya merupakan pusat kesultanan yang kuat. Sultan Yogyakarta diyakini memiliki hubungan mistis dengan Merapi, karena ia adalah keturunan raja-raja Mataram yang menaklukkan Kerajaan Sunda. Sultan dipandang sebagai pelindung dan perantara Merapi, dan ia menunjuk Juru Kunci Merapi sebagai wakilnya.

Mbah Marijan adalah Penjaga Gerbang Merapi resmi terakhir, karena sultan saat ini belum menunjuk penggantinya sejak kematiannya. Namun, banyak orang masih menganggapnya sebagai simbol keyakinan dan keberanian dalam menghadapi kemurkaan Merapi. Rumahnya di Kinarejo, yang sebagian hancur akibat letusan tahun 2010, telah diubah menjadi tempat suci dan museum oleh keluarga dan pengikutnya. Mereka telah menyimpan barang-barang miliknya, seperti pakaian, tasbih, dan tongkatnya, serta foto dan video saat ia melakukan ritual atau bertemu dengan para pejabat. Mereka juga memajang beberapa batu dan abu vulkanik yang menguburnya hidup-hidup. Para pengunjung datang untuk memberikan penghormatan, mencari berkah, atau belajar lebih banyak tentang kehidupan dan peninggalannya.

Udi adalah salah satunya. Dia mengunjungi rumah Mbah Marijan secara teratur, terkadang membawa bunga atau dupa sebagai persembahan. Ia mengatakan bahwa ia merasakan hubungan yang erat dengan Mbah Marijan, yang merupakan teman dan mentornya. Ia mengatakan bahwa ia mengagumi pengabdian dan kesetiaan Mbah Marijan kepada Merapi, bahkan dengan mengorbankan nyawanya sendiri. Ia mengatakan bahwa ia ingin mengikuti teladan Mbah Marijan dan menghormati kenangannya dengan tinggal di Kinarejo dan merawat Merapi. Ia berharap suatu hari nanti, Merapi akan membalas kesetiaan dan kesabarannya dan warga desa. "Mungkin Merapi akan berhenti meletus dan menjadi damai," katanya. "Mungkin Merapi akan memberi kami lebih banyak kemakmuran dan kebahagiaan. Mungkin Merapi akan membiarkan kami hidup selaras dengannya."

Harapan Udi mungkin terlihat naif atau tidak realistis di tempat lain, namun tidak di Indonesia - sebuah negara di mana gunung berapi tidak hanya menjadi sumber ketakutan dan bahaya, namun juga sumber harapan dan keajaiban.

Yang Sakral dan yang Profan: Bagaimana Gunung Berapi Membentuk Budaya dan Ekonomi di Indonesia.

Indonesia adalah negara yang beragam dengan sekitar 300 kelompok etnis dan lebih dari 700 bahasa dan dialek. Agama resmi yang dianut adalah Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu, namun banyak juga yang menganut kepercayaan mistik dan animisme. Gunung berapi memainkan peran sentral dalam kepercayaan dan ritual berbagai komunitas di seluruh nusantara. Di Sumatra, orang Batak, yang memeluk agama Kristen pada abad ke-19, masih memuja Gunung Pusuk Buhit sebagai tempat di mana manusia pertama turun dari surga di atas tiang bambu. Di Jawa Timur, masyarakat Tengger, yang menganut agama Hindu, secara teratur mendaki Gunung Bromo untuk mempersembahkan kurban ke kawahnya. Di Pulau Flores, orang Nage, yang sebagian besar beragama Katolik, dimakamkan dengan menghadap Gunung Ebulobo, yang menjulang tinggi di atas lanskap mereka.

Di Bali, pulau dewata, gunung berapi sangat disakralkan. Yang paling dihormati adalah Gunung Agung, yang berdiri di ketinggian 10.000 kaki dan dapat dilihat dari hampir semua tempat di pulau ini. Banyak orang Bali yang mengarahkan kehidupan dan rumah mereka ke Gunung Agung, karena mereka percaya bahwa gunung ini adalah tempat tinggal para dewa dan leluhur. Pada tahun 1963, Gunung Agung meletus dengan dahsyatnya, menewaskan seribu orang dan menghancurkan tanaman serta desa-desa. Masyarakat Bali menafsirkan hal ini sebagai tanda kemurkaan Tuhan, namun kemudian melihat ada hikmah dari bencana tersebut. Material vulkanik yang dimuntahkan oleh Gunung Agung dan Gunung Batur menjadi sumber pendapatan bagi banyak penduduk setempat, yang menggunakannya untuk membangun hotel, restoran, dan vila bagi para wisatawan. Sejak saat itu, pariwisata menjadi industri utama Bali, menarik jutaan pengunjung setiap tahunnya.

Namun, tidak semua orang Bali mendapatkan keuntungan dari pariwisata. Di Desa Trunyan, sebuah komunitas terpencil di dekat Gunung Batur, sekitar 700 orang tinggal di rumah-rumah sederhana di sepanjang danau di dalam kaldera² yang besar. Mereka adalah bagian dari suku Bali Aga atau Bali Mula², yang menelusuri jejak nenek moyang mereka sejak abad ke-11. Mereka menangkap ikan dengan sampan kayu dan bertani di lereng kaldera. Mereka memiliki tradisi pemakaman yang unik, yaitu dengan membiarkan orang yang meninggal di tanah di bawah pohon beringin raksasa. Pohon ini mengeluarkan aroma harum yang menutupi bau busuk. Penduduk desa percaya bahwa hanya mereka yang meninggal karena sebab-sebab alamiah yang dapat ditempatkan di bawah pohon tersebut. Yang lainnya dimakamkan di pemakaman terdekat.

Ilustrasi: Penghuni Gunung Berapi (Dok.Dailymontly)
Ilustrasi: Penghuni Gunung Berapi (Dok.Dailymontly)

Desa Trunyan tetap terisolasi dari pengaruh modern karena lokasi dan budayanya. Penduduk desa memiliki legenda yang menjelaskan asal-usul mereka: seorang bangsawan Jawa menikahi seorang dewi yang tinggal di pohon beringin dengan syarat bahwa ia tidak akan mengungkapkan jejaknya kepada siapa pun dari Jawa. Sementara pariwisata telah membawa pembangunan dan kemakmuran ke sebagian besar wilayah Bali, Desa Trunyan mengalami marjinalisasi ekonomi dan berkurangnya jumlah penduduk. Banyak anak muda yang pergi ke daerah perkotaan untuk mencari kesempatan yang lebih baik. "Di sini tidak ada pekerjaan, tidak ada kesempatan," kata Made Tusan, seorang guru di satu-satunya sekolah di Trunyan. Desa ini juga menghadapi bencana pada tahun 2020 ketika badai menumbangkan pohon beringin kuno mereka, yang telah memberi keteduhan dan perlindungan selama berabad-abad. Pohon tersebut merobohkan pura mereka, namun tidak merobohkan patung suci Dewa Ratu Gede Pancering Jagat, dewa setempat. Tetua desa I Ketut Jaksa menyalahkan beberapa politisi dan pengusaha Bali yang membuat marah dewa gunung berapi dengan berdoa untuk kepentingan mereka sendiri dan mengabaikan Trunyan.

Perubahan Iklim dan Takhayul: Tantangan Bencana dan Politik di Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia, dengan risiko tinggi terhadap gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. Indonesia terletak di Cincin Api Pasifik, sebuah wilayah di mana banyak gunung berapi aktif dan lempeng tektonik berada. Indeks risiko bencana alam di Indonesia untuk berbagai bahaya juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain¹. Selain itu, pemanasan global telah memperburuk dampak dari bencana-bencana ini dengan menyebabkan hujan badai yang lebih lebat, peningkatan banjir di daerah pesisir, dan kebakaran hutan yang lebih sering terjadi². Dengan lebih dari 260 juta penduduk yang tinggal di daerah berisiko bencana alam di Indonesia, pengurangan dan manajemen risiko bencana menjadi sangat penting untuk meningkatkan ketahanan negara.

Namun, aktivitas manusia juga telah berkontribusi terhadap memburuknya situasi bencana di Indonesia, terlepas dari kebijakan dan peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi krisis iklim. Beberapa faktor yang meningkatkan degradasi lingkungan dan menurunkan ketahanan iklim antara lain ketidaksesuaian prioritas antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam tata kelola iklim, eksploitasi sumber daya alam di daerah rawan bencana, dan korupsi politik. Faktor-faktor tersebut juga telah mempengaruhi persepsi dan respons masyarakat terhadap bencana alam, karena banyak masyarakat Indonesia yang masih percaya bahwa perilaku buruk manusia dapat memicu terjadinya bencana dan kekuatan supranatural dapat melakukan intervensi untuk mencegah atau menanggulanginya.

Sebagai contoh, Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang mulai menjabat pada bulan Oktober 2014, menghadapi serangkaian bencana pada masa jabatan pertamanya, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kecelakaan pesawat. Beberapa orang mengaitkan kejadian-kejadian ini dengan tanggal lahirnya yang sial atau kurangnya legitimasi spiritual sebagai seorang pemimpin. Yang lain menyarankan agar ia melakukan ritual atau pengorbanan untuk menenangkan roh-roh atau leluhur. Jokowi sendiri telah dikenal sering mengunjungi situs-situs keramat dan mencari berkah dari tokoh-tokoh spiritual sebelum dan sesudah pemilihannya. Dia juga telah berpartisipasi dalam doa bersama dan upacara keagamaan untuk menenangkan ketakutan publik dan menunjukkan solidaritas kepada para korban bencana.

Politisi lain juga telah menggunakan mistisisme sebagai cara untuk mendapatkan popularitas atau legitimasi di antara para pemilih. Sebagai contoh, Prabowo Subianto, saingan Jokowi dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019, dilaporkan beribadah di sebuah gunung berapi di dekat Danau Toba sebelum mencalonkan diri, tetapi gagal memenangkan pemilihan. Politisi lain, Arief Koesno, yang mengaku sebagai reinkarnasi presiden pertama Indonesia Sukarno, mengadakan ritual di Gunung Merapi untuk mencegah letusannya, namun gunung ini meletus tiga hari kemudian. Beberapa politisi juga meminta nasihat dari dukun atau peramal untuk memandu keputusan atau strategi politik mereka.

Masih kuatnya kepercayaan mistis di kalangan politisi dan masyarakat Indonesia mencerminkan lanskap budaya dan agama di negara ini yang kompleks dan beragam. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri dalam mengembangkan pendekatan yang rasional dan ilmiah terhadap manajemen risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim. Dengan tetap menghormati kearifan lokal dan tradisi masyarakat yang berbeda, para pemimpin politik Indonesia perlu mengadopsi kerangka kebijakan yang lebih berkelanjutan dan berjangka panjang yang berfokus pada transisi menuju energi hijau, meningkatkan partisipasi publik, dan memperkuat kapasitas kelembagaan. Mereka juga perlu meningkatkan kesadaran dan mengedukasi masyarakat mengenai penyebab dan konsekuensi dari bencana alam dan perubahan iklim, serta praktik-praktik terbaik untuk mengatasinya.

Benturan Keyakinan: Sultan, Penjaga Gerbang, dan Gunung Berapi Mistis.

Ketika Merapi, salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia, meletus berulang kali pada tahun 2023, mengirimkan awan panas dan lahar hingga tujuh kilometer, sebuah benturan kepercayaan terjadi antara Marijan, sang penjaga gerbang Merapi yang menantang, dan Hamengku Buwono X, sultan modern Yogyakarta. Marijan, yang mewarisi perannya sebagai juru kunci Merapi dari ayahnya, menolak untuk mengosongkan desanya meskipun ada perintah dari pemerintah dan risiko terkubur di bawah abu panas setinggi enam meter. Ia percaya bahwa ia memiliki tugas suci untuk menenangkan raksasa penjaga gunung berapi, Sapu Jagat, dan bahwa desanya dilindungi oleh campur tangan ilahi. Kepercayaannya menarik perhatian media dan simpati publik, menjadikannya pahlawan rakyat dan simbol perlawanan.

Marijan menerima bayaran bulanan yang sangat kecil, hanya satu dolar dari kraton, istana berbenteng sultan di Yogyakarta. Menurut kosmologi tradisional Jawa, keraton terletak di garis tak terlihat antara Gunung Merapi dan Samudera Hindia di dekatnya. Sultan, yang digambarkan dalam sebuah publikasi keraton sebagai "orang yang dipilih secara ilahi", menjalani penobatan yang didahului oleh "pesan supranatural". Selain memerintah Yogyakarta, sultan juga ditugaskan untuk menenangkan Ratu Kidul, dewi laut yang sakti, dan raksasa penjaga Merapi, Sapu Jagat. Namun, Hamengku Buwono X, yang namanya berarti "pemelihara alam semesta", tidak memiliki kepercayaan yang sama dengan Marijan terhadap roh-roh yang tinggal di gunung berapi. Sebagai seorang sarjana hukum dan seorang Muslim yang progresif, beliau mendesak masyarakat Yogyakarta untuk melihat letusan Merapi dari sudut pandang ilmiah. Ia mendukung seruan pemerintah untuk melakukan evakuasi dan menganggap pembangkangan Marijan sebagai tindakan yang tidak rasional dan tidak bertanggung jawab. Potret resminya menggambarkan dirinya dalam pakaian adat Jawa lengkap, dengan keris melengkung yang terselip di dalam sarung batiknya yang indah. Untuk pakaian sehari-hari, ia lebih memilih setelan jas berwarna gelap yang disesuaikan dengan sempurna, lebih disukai oleh Armani. Selama wawancara di kantornya, sambil mengisap cerutu Davidoff yang tebal, sebuah lukisan gunung berapi besar tergantung di dinding di belakangnya. Dengan santai, ia berkata, "Bukan Merapi, tapi Fuji."

Perselisihan antara Marijan dan Hamengku Buwono X mencerminkan ketegangan antara tradisi dan modernitas di Indonesia, negara yang memiliki lebih dari 120 gunung berapi aktif¹ dan rentan terhadap gempa bumi dan aktivitas gunung berapi karena terletak di sepanjang Cincin Api. Sebagian orang memandang Merapi sebagai entitas mistis yang menuntut penghormatan dan ritual, sementara sebagian lainnya memandangnya sebagai fenomena alam yang dapat dipahami dan diprediksi oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaannya adalah: siapa yang memiliki otoritas untuk menentukan nasib Merapi dan penduduknya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun