Mohon tunggu...
Dailymonthly
Dailymonthly Mohon Tunggu... Freelancer - Just Another Blog

Budayakan Membaca Dailymonthly | Prima H. I have been writing for over 10 years. I have written on various topics such as politics, technology, and entertainment. However, my true passion lies in writing about comprehensive analysis and from various points of view. I believe that writing from multiple perspectives allows me to explore my subjects, settings, and moral gray areas from a wider variety of perspectives, which sustains complexity and keeps the reader interested. I have written several articles on this topic and am considered an expert in the field.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Keyakinan dan Ketakutan: Dimensi Spiritual dan Sosial Gunung Berapi Teraktif di Indonesia

17 Mei 2023   06:05 Diperbarui: 17 Mei 2023   06:17 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dimensi Sprititual dan Sosial Gunung Teraktif di Indonesia

Ilustrasi: Pendaki Gunung (dok.Dailymonthy)
Ilustrasi: Pendaki Gunung (dok.Dailymonthy)


Merapi adalah salah satu yang terakhir. Gunung ini sering dikaitkan dengan raksasa yang tinggal di kawahnya dan meminta persembahan dari masyarakat. Merapi juga dikaitkan dengan tokoh mitologi Prabu Siliwangi, raja legendaris Kerajaan Sunda yang menghilang ke dalam kobaran api Merapi setelah dikalahkan oleh Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16. Beberapa orang percaya bahwa Prabu Siliwangi akan kembali suatu hari nanti untuk mengembalikan kejayaan kerajaannya dan menghukum orang-orang jahat. Merapi juga terhubung dengan kerajaan Yogyakarta, sebuah kota yang terletak 20 mil ke arah selatan yang dulunya merupakan pusat kesultanan yang kuat. Sultan Yogyakarta diyakini memiliki hubungan mistis dengan Merapi, karena ia adalah keturunan raja-raja Mataram yang menaklukkan Kerajaan Sunda. Sultan dipandang sebagai pelindung dan perantara Merapi, dan ia menunjuk Juru Kunci Merapi sebagai wakilnya.

Mbah Marijan adalah Penjaga Gerbang Merapi resmi terakhir, karena sultan saat ini belum menunjuk penggantinya sejak kematiannya. Namun, banyak orang masih menganggapnya sebagai simbol keyakinan dan keberanian dalam menghadapi kemurkaan Merapi. Rumahnya di Kinarejo, yang sebagian hancur akibat letusan tahun 2010, telah diubah menjadi tempat suci dan museum oleh keluarga dan pengikutnya. Mereka telah menyimpan barang-barang miliknya, seperti pakaian, tasbih, dan tongkatnya, serta foto dan video saat ia melakukan ritual atau bertemu dengan para pejabat. Mereka juga memajang beberapa batu dan abu vulkanik yang menguburnya hidup-hidup. Para pengunjung datang untuk memberikan penghormatan, mencari berkah, atau belajar lebih banyak tentang kehidupan dan peninggalannya.

Udi adalah salah satunya. Dia mengunjungi rumah Mbah Marijan secara teratur, terkadang membawa bunga atau dupa sebagai persembahan. Ia mengatakan bahwa ia merasakan hubungan yang erat dengan Mbah Marijan, yang merupakan teman dan mentornya. Ia mengatakan bahwa ia mengagumi pengabdian dan kesetiaan Mbah Marijan kepada Merapi, bahkan dengan mengorbankan nyawanya sendiri. Ia mengatakan bahwa ia ingin mengikuti teladan Mbah Marijan dan menghormati kenangannya dengan tinggal di Kinarejo dan merawat Merapi. Ia berharap suatu hari nanti, Merapi akan membalas kesetiaan dan kesabarannya dan warga desa. "Mungkin Merapi akan berhenti meletus dan menjadi damai," katanya. "Mungkin Merapi akan memberi kami lebih banyak kemakmuran dan kebahagiaan. Mungkin Merapi akan membiarkan kami hidup selaras dengannya."

Harapan Udi mungkin terlihat naif atau tidak realistis di tempat lain, namun tidak di Indonesia - sebuah negara di mana gunung berapi tidak hanya menjadi sumber ketakutan dan bahaya, namun juga sumber harapan dan keajaiban.

Yang Sakral dan yang Profan: Bagaimana Gunung Berapi Membentuk Budaya dan Ekonomi di Indonesia.

Indonesia adalah negara yang beragam dengan sekitar 300 kelompok etnis dan lebih dari 700 bahasa dan dialek. Agama resmi yang dianut adalah Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu, namun banyak juga yang menganut kepercayaan mistik dan animisme. Gunung berapi memainkan peran sentral dalam kepercayaan dan ritual berbagai komunitas di seluruh nusantara. Di Sumatra, orang Batak, yang memeluk agama Kristen pada abad ke-19, masih memuja Gunung Pusuk Buhit sebagai tempat di mana manusia pertama turun dari surga di atas tiang bambu. Di Jawa Timur, masyarakat Tengger, yang menganut agama Hindu, secara teratur mendaki Gunung Bromo untuk mempersembahkan kurban ke kawahnya. Di Pulau Flores, orang Nage, yang sebagian besar beragama Katolik, dimakamkan dengan menghadap Gunung Ebulobo, yang menjulang tinggi di atas lanskap mereka.

Di Bali, pulau dewata, gunung berapi sangat disakralkan. Yang paling dihormati adalah Gunung Agung, yang berdiri di ketinggian 10.000 kaki dan dapat dilihat dari hampir semua tempat di pulau ini. Banyak orang Bali yang mengarahkan kehidupan dan rumah mereka ke Gunung Agung, karena mereka percaya bahwa gunung ini adalah tempat tinggal para dewa dan leluhur. Pada tahun 1963, Gunung Agung meletus dengan dahsyatnya, menewaskan seribu orang dan menghancurkan tanaman serta desa-desa. Masyarakat Bali menafsirkan hal ini sebagai tanda kemurkaan Tuhan, namun kemudian melihat ada hikmah dari bencana tersebut. Material vulkanik yang dimuntahkan oleh Gunung Agung dan Gunung Batur menjadi sumber pendapatan bagi banyak penduduk setempat, yang menggunakannya untuk membangun hotel, restoran, dan vila bagi para wisatawan. Sejak saat itu, pariwisata menjadi industri utama Bali, menarik jutaan pengunjung setiap tahunnya.

Namun, tidak semua orang Bali mendapatkan keuntungan dari pariwisata. Di Desa Trunyan, sebuah komunitas terpencil di dekat Gunung Batur, sekitar 700 orang tinggal di rumah-rumah sederhana di sepanjang danau di dalam kaldera² yang besar. Mereka adalah bagian dari suku Bali Aga atau Bali Mula², yang menelusuri jejak nenek moyang mereka sejak abad ke-11. Mereka menangkap ikan dengan sampan kayu dan bertani di lereng kaldera. Mereka memiliki tradisi pemakaman yang unik, yaitu dengan membiarkan orang yang meninggal di tanah di bawah pohon beringin raksasa. Pohon ini mengeluarkan aroma harum yang menutupi bau busuk. Penduduk desa percaya bahwa hanya mereka yang meninggal karena sebab-sebab alamiah yang dapat ditempatkan di bawah pohon tersebut. Yang lainnya dimakamkan di pemakaman terdekat.

Ilustrasi: Penghuni Gunung Berapi (Dok.Dailymontly)
Ilustrasi: Penghuni Gunung Berapi (Dok.Dailymontly)

Desa Trunyan tetap terisolasi dari pengaruh modern karena lokasi dan budayanya. Penduduk desa memiliki legenda yang menjelaskan asal-usul mereka: seorang bangsawan Jawa menikahi seorang dewi yang tinggal di pohon beringin dengan syarat bahwa ia tidak akan mengungkapkan jejaknya kepada siapa pun dari Jawa. Sementara pariwisata telah membawa pembangunan dan kemakmuran ke sebagian besar wilayah Bali, Desa Trunyan mengalami marjinalisasi ekonomi dan berkurangnya jumlah penduduk. Banyak anak muda yang pergi ke daerah perkotaan untuk mencari kesempatan yang lebih baik. "Di sini tidak ada pekerjaan, tidak ada kesempatan," kata Made Tusan, seorang guru di satu-satunya sekolah di Trunyan. Desa ini juga menghadapi bencana pada tahun 2020 ketika badai menumbangkan pohon beringin kuno mereka, yang telah memberi keteduhan dan perlindungan selama berabad-abad. Pohon tersebut merobohkan pura mereka, namun tidak merobohkan patung suci Dewa Ratu Gede Pancering Jagat, dewa setempat. Tetua desa I Ketut Jaksa menyalahkan beberapa politisi dan pengusaha Bali yang membuat marah dewa gunung berapi dengan berdoa untuk kepentingan mereka sendiri dan mengabaikan Trunyan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun