Sekte atau Agama Baru? Stereotip negatif dan kesalahpahaman tentang Kepercayaan Alternatif
Tinjauan yang komprehensif dan berimbang mengenai sejarah, kepercayaan, dan praktik gerakan agama baru, serta tantangan yang mereka hadapi dalam masyarakat yang majemuk.
Istilah "kultus" merujuk pada kelompok kecil yang didedikasikan untuk seseorang, ide, atau filosofi, dan sering kali digunakan sebagai istilah yang merendahkan untuk kelompok agama yang berada di luar arus utama dan terlibat dalam kegiatan yang dipertanyakan.Â
Dalam historiografi, istilah ini digunakan tanpa konotasi negatif, dan masyarakat Mediterania kuno merupakan rumah bagi berbagai kultus misteri yang terintegrasi ke dalam masyarakat sekitarnya. Istilah ini telah digunakan untuk menggambarkan kelompok-kelompok yang memperkuat dominasi tatanan agama dan sosial, seperti kultus orang suci dalam Gereja Katolik Roma.Â
Tidak ada konsensus tentang apa yang membedakan kultus dari kelompok agama lain, dan beberapa sekte agama berasal dari kultus sebelum diterima secara budaya.Â
Beberapa ahli mendefinisikan kultus sebagai kelompok agama dengan pemimpin karismatik yang memegang kendali penuh, visi apokaliptik, isolasi dari masyarakat, penekanan pada pengalaman spiritual transenden, aturan kaku yang mengatur perilaku, dan eksploitasi anggota.Â
Dalam penggunaan populer, istilah ini memiliki konotasi negatif yang kuat karena tindakan sekte-sekte baru yang berkembang di AS pada tahun 1960-an, dan sekte-sekte yang kejam seperti Peoples Temple dan Keluarga Manson.Â
Gerakan anti-sekte muncul pada tahun 1970-an, dan teori cuci otak digunakan untuk membenarkan pemrograman ulang secara paksa terhadap anggota sekte.
Mantan anggota sekte sesat telah mengajukan tuntutan hukum terhadap mantan kelompok mereka, beberapa menuduh sekte sesat melakukan pencucian otak, sementara yang lain menuntut para pemrogram ulang mereka atas pemaksaan yang kejam. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa tuduhan pencucian otak dan bujukan paksaan tidak memiliki bukti faktual.Â
Praktik pemrograman ulang secara paksa sebagian besar dihentikan setelah seorang anggota sekte memenangkan gugatan terhadap deprogrammernya pada tahun 1995.Â
Penelitian akademis telah mengungkapkan bahwa banyak orang yang bergabung dengan sekte sesat memilih untuk meninggalkannya, dan tidak semua anggota menjadi sepenuhnya terisolasi dari masyarakat. Oleh karena itu, para sosiolog dan peneliti lebih suka menggunakan istilah gerakan keagamaan baru (NRM) daripada kultus untuk memisahkan NRM dari konotasi negatif yang terkait dengan istilah kultus.
Memahami Perdebatan tentang Sekte dan Gerakan Keagamaan Baru
Diskusi tentang apa yang mendefinisikan "sekte" atau "gerakan agama baru" sering kali kontroversial dan sarat dengan emosi. Sebagian orang menganggap agama-agama ini berbahaya dan menyimpang, sementara yang lain menganggapnya sebagai pandangan sekilas yang menarik tentang konstruksi makna dan organisasi keagamaan. Namun, sudut pandang yang berbeda ini semakin diperkuat oleh agenda berbagai kelompok kepentingan.
Satu kelompok berusaha untuk menantang legitimasi gerakan-gerakan keagamaan baru dan meyakinkan para penganutnya untuk meninggalkan keyakinan mereka.Â
Sebagai contoh, Bob Larson, seorang apologis kontra-sekte Evangelis, menganggap agama-agama ini mencurigakan karena penyimpangannya dari pemahamannya tentang Kekristenan.Â
Demikian pula, ketika keyakinan utama dari sebuah agama baru berbeda dengan tradisi agama yang dominan dalam masyarakat tertentu, mereka sering dipandang dengan skeptis. Namun, dinamika ini bervariasi dari satu negara ke negara lain. Sebagai contoh, Gereja Metodis Bersatu adalah badan keagamaan yang dominan di Amerika Serikat, tetapi pemerintah Yunani menyebutnya sebagai sekte yang merusak.
Aktivisme antikultus sekuler, di sisi lain, didorong oleh keprihatinan terhadap kesejahteraan psikologis para pemeluk agama baru, bukan oleh konflik teologis atau perbedaan doktrinal. Namun, kedua gerakan perlawanan ini memiliki isu-isu yang sama, seperti menunjukkan bahaya sekte-sekte sesat, memperingatkan orang-orang untuk tidak memeluknya, dan membujuk orang-orang untuk meninggalkannya.
Perdebatan mengenai sekte sesat dan gerakan keagamaan baru sangatlah kompleks dan memiliki banyak sisi. Memahami beragam sudut pandang dan motivasi kelompok-kelompok kepentingan yang terlibat dapat memberikan wawasan tentang topik kontroversial ini.
Media dan Kesalahpahaman tentang Gerakan Keagamaan Baru
Kebanyakan orang hanya memiliki sedikit pengalaman pribadi dengan gerakan-gerakan keagamaan baru dan sangat bergantung pada media untuk mendapatkan informasi. Sayangnya, istilah "sekte" telah menjadi label yang merendahkan yang digunakan oleh media untuk menggambarkan kelompok agama apa pun yang dianggap aneh atau berbahaya.Â
Media cenderung berfokus pada agama baru hanya ketika terjadi sesuatu yang drastis, seperti bunuh diri massal atau pembunuhan. Liputan ini dipandu oleh prinsip negativitas, di mana cerita-cerita negatif menarik lebih banyak perhatian. Akibatnya, kebanyakan orang terpapar pada gerakan-gerakan agama baru dalam konteks "mengancam, aneh, eksploitatif, menindas, dan provokatif".
Meskipun sebagian besar gerakan keagamaan baru tidak mengalami peristiwa dramatis, mereka sering digambarkan secara negatif oleh media. Hal ini menciptakan kesalahpahaman tentang kelompok-kelompok ini dan mengarah pada stigmatisasi lebih lanjut.
Media memainkan peran penting dalam membentuk opini publik tentang gerakan keagamaan baru. Sayangnya, representasi negatif dari kelompok-kelompok ini dapat berkontribusi pada kesalahpahaman dan informasi yang salah. Sangat penting untuk mendekati informasi tentang agama-agama baru dengan pikiran terbuka dan mencari sumber-sumber terpercaya yang memberikan liputan yang seimbang dan akurat.
Masalah Definitif dengan Gerakan Keagamaan Baru
Definisi gerakan keagamaan baru, yang umumnya dikenal sebagai "sekte," penuh dengan masalah. Kelompok kontra-sekte injili mendefinisikan kelompok agama apa pun selain kelompok mereka sebagai sekte, yang menunjukkan keangkuhan teologis.Â
Di sisi lain, kelompok antikultus sekuler menggunakan metafora "pengendalian pikiran" atau "pencucian otak" untuk menjelaskan mengapa orang bergabung dengan agama baru. Mereka berpendapat bahwa sekte-sekte sesat menampilkan serangkaian stereotip karakteristik dan praktik-praktik organisasi yang negatif.Â
Para ahli menantang kegunaan dari daftar periksa definisi semacam ini dengan tiga alasan utama. Selain itu, pemberitaan media hadir untuk mewakili stok pengetahuan budaya tentang kelompok-kelompok tertentu, yang menjadi dasar bagi "pengetahuan umum tentang sekte-sekte sesat."Â
Penggambaran negatif, Stereotip negatif dan kesalahpahaman tentang Kepercayaan Alternatif terhadap satu gerakan keagamaan baru sering kali dengan cepat, mudah, dan sekali lagi secara tidak akurat digeneralisasi untuk menggambarkan semua agama baru.
Mempertimbangkan Kembali Definisi "Sekte"
Para ahli yang mempelajari gerakan keagamaan baru menentang pelabelan kelompok-kelompok tertentu sebagai "sekte", dengan menunjukkan bahwa banyak dari kelompok-kelompok ini memiliki karakteristik yang sama dengan organisasi konvensional yang dianggap dapat diterima atau diperlukan. Contohnya adalah komune, masyarakat religius dengan komitmen tinggi, organisasi pemasaran berjenjang, dan unit militer.Â
Gerakan antikultus sekuler telah berusaha untuk mengatasi masalah ini, dengan beberapa anggota mengakui perlunya memperjelas penggunaan istilah tersebut. Namun, para ilmuwan sosial dan sarjana studi agama lebih tertarik untuk memahami agama-agama baru dalam konteks sosial, budaya, dan sejarahnya.Â
Mereka berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kemunculan, perkembangan, kesuksesan, dan kemunduran gerakan-gerakan ini, serta proses rekrutmen, afiliasi, dan disafiliasi. Alih-alih membujuk para anggota untuk mengubah kesetiaan mereka, para sarjana ini bertujuan untuk menentukan mengapa orang bergabung dan meninggalkannya, dan untuk menilai apakah gerakan-gerakan keagamaan baru benar-benar berbahaya seperti yang sering digambarkan media.
Kesulitan dalam Mendefinisikan dan Memahami Gerakan Keagamaan Baru
Dalam beberapa dekade terakhir, para ilmuwan sosial telah berusaha mencari istilah alternatif untuk "kultus" untuk tujuan analisis, tetapi dengan keberhasilan yang terbatas karena konotasi negatif dari kata tersebut.Â
Istilah-istilah seperti "agama baru", "gerakan keagamaan baru", "gerakan keagamaan alternatif", dan "gerakan keagamaan marjinal" telah diusulkan, tetapi semuanya memiliki keterbatasan. Namun, sangat penting untuk diingat bahwa anggota kelompok-kelompok ini tidak pernah menganggap diri mereka sebagai bagian dari "sekte", dan beberapa bahkan secara aktif mendefinisikan ulang istilah tersebut untuk menghilangkan konotasi negatifnya.
Alih-alih menganggap gerakan-gerakan keagamaan baru sebagai penipu teologis atau penyimpangan sosial, para ahli lebih tertarik untuk memahami konteks sosial, budaya, dan historis dari kelompok-kelompok ini. Namun, anggapan bahwa para penganut agama baru telah dicuci otaknya, tertipu secara spiritual, atau sakit jiwa menciptakan hambatan yang signifikan untuk memahami gerakan sosial yang menarik ini. Oleh karena itu, memahami agama-agama baru sebagai upaya yang tulus untuk bergulat dengan isu-isu terpenting dalam hidup adalah pendekatan yang lebih produktif.
Kesimpulannya, meskipun mendefinisikan dan memahami gerakan-gerakan agama baru mungkin sulit, sangat penting untuk menganggap kelompok-kelompok ini secara serius seperti halnya penganut agama lain dan mendekati mereka dengan pikiran terbuka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI